Perang yang melibatkan kekuatan mahabesar tidak hanya terjadi dalam epos Mahabharata. Gejolak politik kekinian selalu saja menimbulkan intrik yang menarik di sepanjang alur ceritanya, mirip kisah legendaris itu. Di Indonesia, perseteruan antara Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri dapat dianalogikan sebagai pertemuan dua kekuatan besar yang bertabrakan layaknya Pandawa dan Kurawa.
Pada awalnya, Jokowi dan Megawati Soekarnoputri berada dalam satu kubu. Akan tetapi, sama halnya dengan kisah epik Mahabharata, hubungan keduanya bertransformasi menjadi perseteruan yang kompleks. Hal ini bermula ketika acara perayaan HUT ke-50 PDI Perjuangan. Megawati, selaku Ketua Umum PDI Perjuangan, mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial, “Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga, duh, kasihan, dah,” ujarnya.
Kalimat tersebut bisa saja menjadi sumbu pemantik dendam politik Jokowi. Pada saat itu, Jokowi belum menampakkan langkah strategisnya secara terbuka. Layaknya atlet catur yang bijak, Jokowi mungkin sedang mengatur strategi taktis untuk bidak caturnya. Ketika permainan telah dimulai, Megawati tentu akan berpikir dua kali untuk meremehkan sosok Jokowi.
Dapat diakui bahwa sosok Jokowi merupakan politisi paling ulung untuk saat ini, dengan rekor tidak pernah terkalahkan pada ajang pemilihan sejak di bawah hingga ke puncak, dari Walikota Solo hingga Presiden RI. Kehadiran pengusaha mebel yang awalnya tidak diperhitungkan berubah menjadi sosok mengerikan yang dapat mengantar PDI Perjuangan ke arah yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Politik Dua Kaki
Sebagai kader PDI Perjuangan, secara rela maupun tidak, Jokowi tentu akan mendukung Ganjar Pranowo. Namun, di lain sisi, hubungan Jokowi dengan Prabowo Subianto kian rekat dan harmonis. Hal ini tentu memancing beragam spekulasi, analisis, atau bahkan caci maki, mengingat bahwa Jokowi dan Prabowo Subianto merupakan rival sengit di Pemilu tahun 2014 dan 2019.
Kompleksitas politik dua kaki Jokowi ditampakkan melalui pergerakan kedua anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Kini, Gibran menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024 nanti. Sementara itu, Kaesang Pangarep dideklarasikan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang notabene berkoalisi dengan Prabowo Subianto.
Menurut seorang pakar politik, Ujang Komarudin, teka-teki politik dua kaki Jokowi cenderung mengarah kepada keinginannya sebagai seorang “king maker” atau penentu. Posisi king maker tersebut tentu sangat sulit ia dapatkan di internal PDI Perjuangan karena eksistensi Megawati Soekarnoputri di PDI Perjuangan sangat sulit untuk digeser.
Oleh karena itu, Jokowi mencoba menempatkan bidak caturnya dalam sebuah dinasti politik dengan menjadikan kedua anaknya sebagai elemen yang strategis dalam kancah perpolitikan Indonesia. Dengan posisi kedua anaknya yang sangat strategis, sangatlah mudah bagi Jokowi untuk menggeser hegemoni PDI Perjuangan dan menempatkan dirinya menjadi seorang king maker dalam konstelasi politik Indonesia.
Baca juga:
Langkah Sakti Jokowi
Langkah-langkah politik Jokowi memang menjadi elemen pembeda di era kepemimpinannya. Keputusan-keputusan yang sering kali berbanding terbalik dengan ucapannya di masa lalu sering kali mengecoh lawan politiknya.
Siapa yang bisa menebak Ma’ruf Amin menjadi Wakil Presiden Jokowi? Di era Pemilu 2019, Koalisi Indonesia Maju menggaungkan inisial M sebagai cawapres Jokowi. Banyak yang mengira bahwa sosok M tersebut adalah Mahfud MD, yang kala itu merupakan pilihan cawapres yang tepat dan masuk akal. Namun, Jokowi melihat kesempatan yang menggiurkan dari kelompok agama sehingga ditunjuklah Ma’ruf Amin sebagai mitra politiknya.
Dilantiknya Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju juga mengguncang publik. Seorang rival dalam dua ajang pemilihan terakhir justru menjadi rekan kerja selama lima tahun mendatang. Meskipun terkesan inklusif dalam mengupayakan rekonsiliasi politik, langkah Jokowi dalam menggandeng Prabowo Subianto dianggap sebagai upaya untuk menggembosi oposisi sekaligus mencederai demokrasi.
Kecenderungan politik Jokowi sesuai dengan yang tertera dalam buku karya Levitsky dan Ziblatt yang berjudul Bagaimana Demokrasi Mati (2019). Argumentasi mereka ialah ketika oposisi digembosi dan dipecundangi, pada saat itulah demokrasi telah runtuh dan mati meskipun pemilihan umum tetap ada. Keputusan itulah yang diambil oleh Jokowi, keputusan yang sangat berani dan berisiko.
Politik ekspansionisme penuh teka-teki milik Jokowi tidak dapat dipandang remeh oleh barisan militan PDI Perjuangan, terutama oleh Megawati Soekarnoputri. Singgasana kekuasaan bisa saja terguncang oleh kekuatan tak terduga yang sempat diremehkan. Apabila PDI Perjuangan tidak berhati-hati dalam mengeksekusi taktiknya, maka kejatuhan atau downfall akan menanti di depan mata.
Dengan kondisi yang demikian, mungkin sekali khazanah perpolitikan Indonesia nantinya akan diisi oleh peperangan tak kasat mata antara dua tokoh dengan pengaruh yang luar biasa: Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Rakyat Indonesia akan menjadi saksi pertarungan yang melibatkan kebijaksanaan, strategi, dan taktik dari kedua belah pihak—peperangan yang sangat sulit ditebak bagaimana alurnya, peperangan yang akan melegenda dalam konstelasi politik Indonesia.
Editor: Emma Amelia
Membaca tulisan ini seperti sedang menyaksikan dua petinju yang sedang bertarung di ring tinju. Dan kita bertepuk tangan menyaksikan siapa yang lebih jago di antara mereka. Dan–kita terhibur. Padahal mereka tidak sedang berdiri di sana: Mereka menggandakan jutaan dirinya dan bertarung di dalam rumah-rumah kita. Menghancurkan perabotan-perabotan. Melukai tubuh-tubuh pemiliknya.