Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Memento Mori dan Puisi Lainnya

Madno Wanakuncoro

3 min read

Memento Mori

Starbucks boleh dielitisir
atau jual beli suasana ala kopi-senja-kopi-senja
silakan ingar bingar
tapi mati selalu melebihi pasar Nike dan Hermes

Karena memento mori
kafaa bil mauti waidhon
maka Carpe Diem!
dan mati adalah sahabat terdekatku

Tapi bagaimana aku bisa mengaji
pijar kunang-kunang
di saat ia punah

Sewaktu api ajal membakar takdir
tepat sebelum anak otoritas “dukun suku”
turunan ribuan tahun silam
bernama (r)evolusi agrikultur
di saat itu pula jabatan fiksi dan elite pemalas
selalu mendapat jatah paling banyak
dari serbuk sari yang tak pernah
ia semai dengan keringat sendiri

Namun karena memento mori
generasi non-suicidal yang menjerit bisu
diam-diam merapal jampi-jampi
aksaruhum dzikran lil-maut
wa asyadduhum isti’daadan lah

Tapi bagaimana jika itu aku
yang tak bisa mengaji tentang pijar kunang-kunang
sedang percepatan darah di nadi dan pembuluh aortaku
bagai minyak panas kelapa sawit
di wajan Kang Gorengan di ujung Tugu Yogya

Atau seperti sate usus melilit
dipanggang arang merah
sesajen nyadran lingsir wengi
sesudah lonceng kuil aparigraha
mendepak telinga Ki Ageng Waskita

Tapi tak mengapa
aku masih fasih mengingat
sahabat terdekatku adalah mati.

(Umbulharjo, 2022) 

Kaleidoskop di Alam Semi-Metaverse

saldo e-wallet menyelinap rembes ke alam sudut metaverse
di kesendirian jua
mitokondria dan vulva lebur
tak lagi menempuh sumpah selibat

apa yang sejatinya terkandung di dalam rahim sepi
jika pada pagi hari, komorebi menerabas celah-celah kecil
di pelupuk udel Pak Kusir

hanya penasaran, sedang apakah Uncle Jo hari ini
barangkali pelesir daring
atau menjajal game tinju dilahan metaverse di bilangan Menteng
bersama Putin dan Macron sebagai juri outsourcing 

mungkin sebentar lagi lonceng ronde akan dipukul
sewaktu anak-anak remaja Afghanistan
selesai tamasya
di danau Qargha
sembari menenteng AK-47

jangan lupa juga, tambahkan taruhan dong!
satu slot reksadana dan dua gepok seribu lot saham Wadas
naik-turunnya kelak siapa tahu
bisa membalap JP Morgan dan Rockefeller
tapi selama Rothschild masih gorosei
rezim BigMom-Kaido jatuh pun takkan mengubah apa-apa
selain pseudo-euforia

(Blandongan, 2022) 

Puisi Ambivalensi Hidup Makkarepku

apa yang ditawarkan waktu
pada anak kutilang yang basah
sehabis hujan dan induknya terjaring perangkap

riap air masih menitis pelan
ke jukut kering di sayap mentahnya
saat cekling bisu tertindih suara nyanyi berisik
yang menggiriskan

barangkali adzan di surau pojok sana
beradu keras dengan guntur
ketika pemburu pulang dengan glangsing
dan jaring kusut
bersama kutilang, decu, lede’an, manyar, jeketut, srigunting, pleci,
dan jika bejo
ketambahan cendet dan cucak jenggot

lalu apa yang dijanjikan takdir pada anak kutilang yang
jerit laparnya mulai membisu
ketika pemburu mengobral waktu dan penghuninya
demi SPP sekolah anak dan tas Winnie the Pooh

apa yang digiurkan takdir dan waktu
selain budaya sumbing yang kadung bersenyawa
di relung generasi penambang
dan iklim dystopia

(Kosan Muja-Muju, 2022) 

Jerit Eksistensial dan Deep-talk

Dialog Berlin dan Professor tentang perampokan itu
sebagai keputusan inti yang paling subtil
dari jerit eksistensial manusia yang
menolak kalah.

La Casa de Papel merekam secara filmis
dari cocot Miguel de Cervantes, “love and war are all one…”
kemudian dibibirkan ulang oleh Frank Smedley dengan lafadz lebih cetar
: “All is fair in war and love”
tapi semua ketimbun oleh lambe turah Berlin, “Do you know what five divorces are?
Five times I believe in love.”

Tak ada yang lebih epic dalam hal patah hati
selain katarsis bisu Berlin yang elegan
tak pernah sekalipun si narcissus-artistik ini masuk bui
kecuali pasca-patah hati
karena ditikung anaknya sendiri
kemarahan yang puitik
dengan alunan musik menyayat yang disetel perlahan namun menjerit
tanpa cocot dan tanpa fafifu wasweswos
dipecahkannya kaca bar dengan ember es
dipukulkannya payung dengan anggun
ke jajaran botol Wine di meja pemesan

Hanya saja, semua itu masih kalah dalam
saat Berlin berbincang seusai dijemput adiknya
di tepi danau senja itu
ia berikrar bahwa akan menghisap habis sisa hidupnya
hingga kepul asap terakhir
dan sembari mencebur teriak, “Ohh.. EL MENITO! Lord… Lorrd…”

(dan bukan Lord Loehoet)

(Blandongan, 2022) 

Hanacaraka Menuju Matiku

hana/
sejak kapan randomisme Camus masih jauh lebih seksi
dan orgasme-able
ketimbang semu jabariyah saklek ala Coelho
dan tololization ala perpindahan Ibu Kota Negara di negeri Wakanda

tentu masih jauh berkualitas Abdoel Moeis dan Marah Roesli
dengan Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan-nya
toh, 
Datuk Maringgi di novel tak secekak Datuk Maringgi aksen 1 di siaran televisi

namun permulaan zaman ini memang selalu masgul
dijejali generasi molusca
dengan magerisme mandul
tapi ingin punya Machu Picchu
dan setiap hari bisa bushcraft di alas Papua

caraka/
jadi apakah aku akan tiba pada masa di mana Trump
menjadi mummy
atau ketika Jong-Un dan Xie JinPing sudah terlanjur
hijrah ke Mars bareng Elon Musk

entah waktu akan memberi kejutan apa
kontak pandora ataukah jelaga magma
lalu ujug-ujug Tambora meletus–sebagaimana di saat Napoleon
hendak menyerbu Rusia dan ujug-ujug kalah
tapi kali ini meletusnya terfokus nyembur ke IKN
dan orang-orang teriak jamaah seperti kur, “na’udzubillah”

datasawala/
sementara di masa semakin canggih
ilmuwan Leipzig mengupload otak manusia ke komputer
komplit dengan segala bigdata-nya dan rasa ada-nya

moksa, kata orang dulu
itu diback-up di cloud, kata orang kini
kata doktor humoris causa ahli neurosains, “…’akhirat’ sudah bisa kita ciptakan sendiri kalo gitu.

manggabatanga/
volatilitas iman dan likuiditas takdir
yang diperjualbelikan di pasar fatwa
seharga seperenambelas keping bitcoin
tiba-tiba saja ramai digibahkan

tapi aku tersedak oleh ucapan bedhes sapiens cum neurosurgeon

“filsuf itu mempertanyakan hal-hal yang sangat mungkin tidak ada jawabannya,
agamawan menjawab hal-hal yang tidak ada pertanyaannya.”

dari situ aku kecumak-kecumik mempertanyakan kedok ‘dukun suku’ kontemporer
yang malih rupa menjadi gas-gus-gas-gus penyembah hantu pohon ciplukan
dan kyai-ustadz pewaris arwah samudra angan-angan
tapi jebul bin ujug-ujug melecehkan satriwatinya
memperkotok anak remaja
dengan dalih, alasan, dan ajakan ilmu ‘metafakta’
(eta metafakta barudak! Oy!)

dan aku memilih untuk menyapa isi otakku dan rasa adaku
yang sudah terupload di awan sana.

(Kosan Muja-Muju, 2022) 

Madno Wanakuncoro
Madno Wanakuncoro Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email