Kemungkinan-Kemungkinan yang Tak Pernah Kita Genggam
(1) Memeras Batas
Di batas virtual,
kita menjadi api dari sebuah temu yang disembunyikan waktu
kota-kota telah memecah kita menjadi beberapa kepingan
yang tak mungkin kita selaraskan
pada jendela keyakinan, pada tubuh yang merangkaki usia, kita senja sebelum waktunya.
Beberapa batas telah kita peras
pun meneroka benih kemungkinan yang kita usahakan
agar kelak menjadi sketsa dari tirai wajahmu
: sebab, telah ranum segala doa yang kubasuh di kepalamu tiap malam.
(2) Melapangkan Sepotong Kenangan
Di layar gawai yang setiap harinya sudah kuseduh kata-kata
dengan pelik ruai belenggu yang memasung kita pada jarak
: membawa beberapa rengekan rindu yang tak terjamah.
Perlahan kita patah menjadi larik sepotong puisi sungkawa yang meradang
melahirkan noktah dan nanah dari jeluk sukma tiap aksara
pada akhirnya, kita tak pernah menggenggam kemungkinan-kemungkinan yang telah kita rancang
: kau dan aku terlahap kefanaan di ruang virtual.
–
Membunyikan Klarinet
Kita kerap membasahi gawai dengan liur lidah
saat tiap kata yang teruntai dari mulut menjelma klarinet
yang kita derukan dalam tajuk catatan suara.
Tak ada wajah yang kau suguhkan
hanya beberapa kalut dari rintih suara klarinet yang kau dendangkan
membawa sepukal narasi yang hidup pagi ini
ia telah membelit kesedihan di mulut, telinga, dan setangkup tanganmu
hingga doa-doa yang kaurapal nyaris menjelma tangis
mencipta beberapa bias prasangka purba yang miris.
Kau adalah sebongkah doa di lorong gereja
sementara aku, sepotong ayat yang dilantukan di jantung musala
: membawamu dari Tuhanmu ialah kemuskilan yang bermuara pada nanah dan dosa.
–
Pagelaran Resah
Kita adalah kisah
dari beberapa resah yang beranak-pinak
dan berujung pisah.
Dua dunia dalam kepala
telah membawa kita pada sehimpun petuah.
Bahwasanya mencintai
seumpama kanvas putih yang dipulas warna emas,
sementara perpisahan
serupa kanvas hitam
yang membawa kita terandam
pada malam-malam yang kelam.
–
Membaca Pariwara Ruang Maya
Secarik senyum kau sajikan sore ini
dari potret wajahmu yang menjadi pariwara ruang maya
dengan mata serupa bilik kamarku yang sesak, hidung bagai pokok batang kelapa yang menculak, dan tubuh anggun membawa pernak-pernik gejolak.
Di simpang dadamu yang lapang
tersimpan beberapa pertanyaan
perihal mencintai tanpa latar, puja-puji klandestin, dan kecemasan-kecemasan yang berjurai
: membuatmu limbung dan merintis beberapa doa untuk lebih giat kau langitkan.
Dan tepatlah aku adalah doa
tanpa sadar telah kau bataskan di pucuk harap
yang perlahan hirap.
–
Di Karanganyar, Beberapa Pertemuan Tak Kunjung Kita Agungkan
Kita berada pada tanah-raya yang sama
tempat bagi setiap kisah dihamparkan
tiap keberanian terkukuhkan
hingga menyimpan bahasa-bahasa dari rahim waktu
kata-kata pun telah kita buru
agar kelak puisi yang kita susun tak membisu.
Di Karanganyar, kota di mana kau menempatkan tubuhmu untuk berlabuh
dan tempat untukku menanam umbilikus
sejatinya kita pernah bersua dalam pijakan tanah yang sama
atau mungkin kau pernah menginjakkan kakimu pada liang paling suci dari tubuhku
: namun yang pasti, kita tak pernah benar-benar menaruh temu.
Khayal yang telah beranak cucu ini
suah menjelma nanar yang memeluk kepala
dan menenggelamkannya di dasar rahasia-rahasia
yang tersimpan di palung kota.
Di keramaian aku menyimpan rimbun kemunafikan
bahwasanya mengunjungimu ialah harap yang tak beralas
sebab kini perasaanku telah bugil dan menggigil
dan menaruh harap ialah kesia-siaan yang selalu kuupayakan.