Merupakan sejarawan dan penulis independen yang mendalami riset seputar kajian dekolonisasi, pascakolonial, sejarah anak, dan seni kontemporer.

Memasak Sikap di Pawon Bu Mar

Mohamad Ichsanudin A

3 min read

Risiko menjadi penduduk negara berkembang adalah kita dibuat maklum terhadap gelombang invasi Pizza Hut, KFC, dan restoran cepat saji lainnya yang berjejalan di sudut jalan.

Gelombang invasi tersebut tampak tak terbendung, apalagi disaring. Bahkan, menjamurnya UMKM lokal yang direspons secara optimis nyatanya tak juga lepas dari ketergantungannya terhadap sistem cepat saji.

Menjadi cepat saji sejatinya menawarkan keuntungan bagi rezim percepatan hari ini. Kita tak perlu merasa kehilangan waktu, apalagi repot menawar ayam di pasar, lalu memasukkannya ke minyak panas. Semuanya tersedia secara praktis. Selagi saldo aman, rasanya problem perut bukan lagi persoalan serius.

Akan tetapi, menjadi “cepat saji” justru membuat kita terputus dengan bahan, bahkan terhadap makanan itu sendiri. Ritme dan pasokan tubuh kita yang cepat membuat kita tak punya waktu untuk memikirkan nasib hidup ayam atau ikan yang kita konsumsi, nasib cabai dan minyak yang kita cocol, hingga nasib tanah dan petani yang merawatnya hingga menjadi makanan.

Sekilas, mengonsumsi makanan cepat saji terasa sebanding dengan uang yang kita keluarkan, pajak yang kita tanggung, hingga celotehan swasembada yang kerap disodokan ke kita. Namun, di balik itu, harga tanah yang digusur hingga nasib anak ayam yang dipisahkan dari induknya senyatanya tak sebanding dengan nominal yang kita bayarkan untuk membawa mereka ke meja makan. 

Proses panjang produksi makanan jadi terputus. Keterputusan ini menjadi kewajaran yang diam-diam sedang mengepung kita. Sekadar untuk memikirkannya rasanya hanya menjadi beban yang melelahkan. Padahal, menjadi “cepat saji” berarti mengeksploitasi habis-habisan ketersediaan bahan pangan dan meroketnya limbah yang dihasilkan industri pangan.

Merayakan Dua Nila di Dapur

Ketika cepat saji kadung mengakar dengan kebutuhan kita sebagai masyarakat percepatan, kita perlu menyempatkan berkunjung ke Pawon Bu Mar. Meskipun berkedok sebagai rumah makan yang berada di Kecamatan Pakem, rumah makan satu ini tidak hanya memejeng makanan di atas meja, kemudian membayarnya dengan rating puas. 

Rumah makan satu ini menawarkan alternatif bagi sistem pengelolaan wajarnya rumah makan. Sebisa mungkin, operasional Pawon Bu Mar meninggalkan sistem pengelolaan rumah makan yang kerap mengabaikan proses penyediaan bahan pangan dan efek limbah yang dihasilkan dari sana. 

Pertama kali mengetahui Pawon Bu Mar, aku dibuat kaget karena keberadaan rumah makan yang beroperasi secara tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut muncul karena tidak semua orang berkesempatan menjadi konsumen di rumah makan tersebut. Minimal, calon pelanggan perlu reservasi dan menegosiasikan waktu santap dengan pemilik rumah makan. Beruntung, aku punya kawan yang kebetulan terlibat merawat keberlangsungan rumah makan tersebut.

Tidak banyak pikir, keesokannya aku memutuskan untuk bertandang ke rumah makan tersebut. Bermodalkan kendaraan matic yang lampu seinnya kerap berkedip sendiri, aku melaju dari Condongcatur menuju ke arah utara dalam perjalanan yang memakan waktu setengah jam. Sepanjang perjalanan, sudah pasti banyak korban yang dibuat geram oleh kelakuan motorku itu.

Setibanya di tempat, aku justru dibuat tak yakin dengan rumah makan yang lebih layak disebut sebagai penyewaan rumah. Tidak ada plang nama di depannya, resepsionis yang tersenyum sesuai ketentuan operasional pun tidak ada. Yang menyambutku setiba di sana hanya gonggongan dua anjing manis berbulu lebat, seorang ibu paruh baya yang tersenyum sembari menguleni roti, serta suaminya yang lekas menawariku susu kambing dan semangkuk salak pondoh.

Dari kejauhan, terdengar suara kambing yang saling bersahutan. Namun, mataku tak kunjung menjangkau keberadaannya. Lantas, aku meminta kepada kawanku itu untuk dilibatkan di dapur. Di Pawon Bu Mar, batas antara dapur dan meja makan rasanya tak lagi punya harga diri. Alhasil, siapa pun berkesempatan terlibat di dapur yang terletak di ruangan yang sama dengan tempat bersantap.

Selama bergelut dengan perkara mengupas, kawanku itu menjelaskan bahwa di dapur mereka, aku tak boleh membuang sembarangan kulit bawang, cabai, serta lemon yang lepas kuperas. Limbah tersebut masih punya nilai lantaran akan didaur menjadi kompos untuk kebutuhan tanaman mereka.

Tidak hanya mengelola keberlanjutan limbah, dapur mereka juga memikirkan ketersediaan bahan yang mereka gunakan. Pandangan mataku menangkap berbagai tanaman yang tumbuh di atas tanah mereka. Beberapa yang kudapati adalah tanaman terong, cokelat, alpukat, bayam, dan jenis lain yang tak masuk di etalase ingatanku.

Kerap kali, makanan yang tersaji di atas meja makan merupakan hasil mereka menanam, merawat, hingga memetik bahan-bahan makanan itu secara langsung dari kebun sendiri. Sekalipun kebun mereka tak terawat karena musim, tetangga sekitar kerap membantu sukarela perihal pasokan bahan pangan. 

Dua nila yang sedang kami marinasi dengan rempah kala itu pun merupakan tangkapan dari tambak tetangga. Alhasil, meskipun harga sembako terbilang tak masuk akal di pasar, mereka bisa memangkas ketergantungan terhadap pasar beserta kapital besar yang mengepungnya.

Setelah merasa cukup dengan dua nila yang tak masuk akal untuk dihabiskan hanya oleh dua orang, aku dibawa menuju peternakan kambing yang sedari tadi kudengar, tetapi tak kudapati keberadaanya. Aku kembali dibuat tak habis pikir. Selain merawat kebun dan rumah makan, mereka juga merawat kambing yang tersembunyi di pekarangan lain.

Ketika sampai, mataku lekas mendapati susunan kandang yang lebih menyerupai rumah pohon bertingkat. Di kandang bagian atas terdapat kumpulan kambing dan cempe (anak kambing) yang saling bersahutan. Di bagian bawah, kumpulan kotoran dan urin kambing berkubang dalam sebuah wadah.

Kubangan tersebut mereka manfaatkan sebagai kompos alami. Tak heran, banyak tanaman di kebun mereka dipenuhi dengan kotoran kambing. Bahkan, kotoran-kotoran tersebut kerap mereka beri percuma kepada para tetangga. Model saling memberi semacam inilah yang menjaga ritme paguyuban di sekitar menjadi hidup.

Baca juga:

Tawaran Sikap

 “Apa yang mereka masak bukanlah kudapan semata, melainkan sikap.”

Rasanya, premis tersebut cukup merangkum apa-apa saja yang diupayakan di Pawon Bu Mar. Sekalipun berkedok rumah makan, aku tak mendapati praktik pengelolaan yang sewajarnya beroperasi di rumah makan di sana. Aku jadi tak sampai hati untuk menyebutnya rumah makan.

Sistem daur kelola yang diupayakan keluarga kecil mereka rasanya membuatku tak perlu lagi merisaukan ketersediaan bahan baku di meja makannya, stok laba yang hendak dikejarnya, hingga sistem operasional yang diupayakan besar-besaran. Semuanya jadi sesederhana berkumpul dan merayakan santapan di atas meja makan.

Keterputusan kita terhadap nasib bahan yang kita kunyah beserta limbah yang dihasilkannya rasanya telah disadari dengan tepat di sana sehingga menghasilkan upaya untuk mengelola tatanan pangan yang berkelanjutan. Bahkan, sesederhana pengelolaan pangan secara mandiri oleh keluarga kecil yang hanya berjumlah tiga orang. 

Pada akhirnya, mereka bukan hanya mengelola sebuah rumah makan dengan menghidangkan kudapan berat, melainkan sikap. Sikap untuk merawat keberlanjutan pangan hingga sikap untuk bertanggung jawab atas limbah yang mereka hasilkan. 

 

Editor: Emma Amelia

Mohamad Ichsanudin A
Mohamad Ichsanudin A Merupakan sejarawan dan penulis independen yang mendalami riset seputar kajian dekolonisasi, pascakolonial, sejarah anak, dan seni kontemporer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email