Manusia mungkin sudah lelah ketika mendengar istilah konflik, karena istilah itu adalah momok yang menakutkan, seperti mesin penghancur bahkan tidak jarang manusia kelimpungan manakala konflik menjalar dalam sendi-sendi kehidupan. Tanpa disadari bahwa konflik adalah min lawazim al-hayah (keniscayaan hidup), ia akan selalu ada dan pasti ada selama manusia itu masih ada, karena dinamisasi kehidupan sejatinya adalah konflik, apa pun bentuk dan variasinya.
Karena konflik adalah fakta kehidupan, konflik tidak terkait dengan masalah baik atau buruk, tapi bagaimana konflik itu dikelola, mengatasi konflik tidak sama dengan menghindari atau menekan konflik. Menangani konflik berarti mendorong konflik untuk dikelola agar lebih bernilai positif, sehingga keuntungan dan proses perubahan akibat konflik dapat dimaksimalkan untuk kemajuan.
Jika konflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, tentu manusia juga tidak akan bertahan hidup dalam pertentangan atau konflik secara terus menerus. Hukum alam memiliki dialektikanya sendiri, yaitu antara keteraturan (cosmos) dan ketidakberaturan (chaos). Lihat saja fenomena kehidupan alam semesta, ketika makhluk hidup membutuhkan air terkadang terjadi kekeringan, banjir, gempa bumi dan musibah lainnya. Bisa jadi chaos terjadi di suatu tempat tapi di tempat lain tidak, jika terjadi chaos tentu manusia akan berharap pada cosmos (keteraturan). Proses terjadinya equilibirium alam semesta pasti terjadi, demikianlah sunnatullah irama alam berjalan. Jika ritme kehidupan alam tersebut ditarik ke dalam kehidupan manusia, maka konflik (chaos) dan damai (cosmos) adalah ibarat siang dan malam yang saling silih berganti.
Wujud konflik muncul dalam konteks perorangan, kelompok, komunitas yang memiliki kepentingan berbeda, bahkan dari konflik individu jika tidak dapat terselesaikan maka eskalasinya akan pindah menjadi konflik golongan dan begitu seterusnya. Perbedaan pendapat dan kemudian sampai pada titik akumulasi yaitu sikap tidak ingin menerima keberadaan orang lian yang berselisih dalam bentuk apapun, maka konflik akan terus bereaksi dengan cepat seperti virus yang siap melenyapkan pihak-pihak yang lemah dan dianggap sebagai musuh. Bahkan dalam tingkat yang sederhana antara Anda yang membaca tulisan ini barangkali juga terdapat konflik dengan argumen yang penulis munculkan.
Konflik antar kelompok atau konflik sosial jika sampai pada titik pemusnahan, maka kontiniunitas dendam sejarah akan melekat pada generasi selanjutnya, virus kebencian akan tetap bersemi seiring reproduksi dan konstruksi konflik yang terjadi mengalami regenerasi. William Chang mengatakan bahwa, trauma psikologis anak-anak korban kerusuhan akan menjadi watak konflik yang destruktif, manakala bertemu dan berinteraksi dengan pihak atau kelompok yang dalam sejarah pernah membuat mereka menderita. Konflik semacam ini sangat erat kaitannya dengan konflik yang terjadi pada masa lalu.
Karena pentingnya mengelola dan mengatasi konflik, perlu pemahaman yang komprehensif tentang konflik. Memahami berarti mengerti atau mengetahui sesuatu secara mendalam, memahami mensyaratkan penguasaan detail suatu hal, seluk beluk, bahkan sampai pada asal-usulnya. Karakteristik konflik baik konflik individu maupun kelompok (komunitas) perlu didekati dan dipahami dengan multidisiplin ilmu, sehingga pembacaan dengan multidisiplin ilmu dapat mengurai konflik dari berbagai aspek sudut pandang.
Kekuatan konflik yang berwajah ganda, yaitu destruktif dan konstruktif ini harus diarahkan pada energi konstruktif dan positif, jika tidak maka kekuatan konflik yang bersifat destruktif akan menguat dan siap untuk menghancurkan dan meluluhlantahkan tatanan kehidupan manusia.
Sumber Konflik
Jika konflik adalah min lawazim al-hayah, maka untuk membaca dan memahami konflik dengan mudah harus dipetakan berbagai entitas yang dapat menjadikan memicu atau sumber konflik itu sendiri. Pada setiap entitas pasti memiliki potensi konflik, dan akumulasi dari berbagai konflik akan meningkatkan eskalasi konflik yang terjadi.
Akar konflik secara filosofis terletak pada perbedaan (differences). Perbedaan ini bisa saja pada etnis, warna kulit, agama, ekonomi, politik, bahasa, pengetahuan, gender, kelas sosial dan seterusnya. Perbedaan semacam itu adalah wilayah yang potensial bagi awal terjadinya konflik, dan perbedaan itu pasti ada begitu juga dengan konflik yang melengkapinya. Kemudian perpedaan itu akan semakin menguat ketika watak ashabiyah mengakar dan cenderung eksklusif. Ashabiyah dapat diartikan dengan kedekatan, rasa cinta terhadap identitas kelompok dan berusaha sekuat tenaga menjalankan prinsip dan nilai yang dianut oleh kelompoknya. Karena menurutnya, rasa cinta terhadap identitas kelompok adalah fitrah, maka hal ini akan ada sepanjang manusia ada.
Baca juga: Kekerasan dalam Kotak Identitas
Dalam bentuk primitif misalnya, pola ashabiyah terbentuk dalam ikatan darah atau garis keturunan dan suku, sementara dalam dunia modern tidak lagi murni oleh ikatan darah dan suku, namun didasarkan pada kepentingan anggota kelompok. Ashabiyah dapat berfungsi destruktif dan konstruktif, ia akan menjadi destruktif manakala sebuah kelompok melakukan tindakan-tindakan di luar norma dan konsesus dalam sebuah masyarakat tertentu, melakukan tindakan kriminal dan untuk menegaskan bahwa kelompok kami yang paling hebat dan kuat. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa identitas kelompok sering bahkan selalu menjadi kekuatan-kekuatan yang selalu diperhitungkan dalam berbagai level kehidupan. Menggunakan berbagai cara untuk menjatuhkan pemerintah atau penguasa.
Ashabiyah akan menjadi konstruktif ketika ia digunakan untuk menjadi pengikat yang dapat mengintegrasikan masyarakat dalam komunitas yang lebih besar. Selain itu dapat juga digunakan untuk mengontrol dan mengawasi sekaligus mendorong pemerintah berjalan sesuai koridor dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Secara sederhana sumber konflik dapat dibagi (resources of conflict) menjadi dua bagian, pertama, sumber material meliputi kekayaan (wealth), kekuasaan (power) wilayah (territorial). Dari ketiganya saling keterkaitan satu sama lain. Kedua, sumber immaterial yang meliputi perasaan (prestiqe), harga diri (dignity) dan keadilan (justice). Sumber konflik baik material maupun immaterial memiliki kekuatan masing-masing dalam menggerakkan konflik.
Jika dicermati, akan terlihat berbagai entitas kehidupan yang dalam pemetaan sumber konflik saling bertalikelindan, artinya satu sumber akan mempengaruhi sumber lainnya, apalagi jika dikaitkan dengan konflik, dari persoalan material pastilah akan bersinggungan dengan persoalan immaterial. Jadi penyelesaian kompleksitas konflik harus didekati dengan berbagai pendekatan atau multidimensi ilmu pengetahuan.
Konflik yang diakibatkan oleh material (wealth, power, territorial) disebabkan proses benturan struktur dalam sebuah masyarakat yang dinamis, antara struktur yang dominan dengan struktur yang nominal, motifnya bisa penguasaan sumber daya dalam masyarakat, baik politik maupun ekonomi. Selain itu proses kompetisi yang terjadi akibat adanya monopoli, perebutan dan keterbatasan sumber daya adalah lahan subur bagi terjadinya sebuah konflik sosial.
Sementara konflik yang diidentikkan dengan konflik agama, yaitu agama memiliki peran baik sebagai sumber atau pemantik bahkan sebagai alat legitimasi, maka agama sebagai entitas tersendiri yang memiliki peran yang berbeda dengan entitas-entitas lainnya. Agama punya value (nilai) yang luar biasa kuat untuk menjadikan konflik lebih besar, artinya peran agama tidak dapat diabaikan begitu saja, apalagi agama sebagai way of life yang tentunya menyentuh aspek terdalam dalam aktivitas kehidupan manusia.
Upaya Pencegahan
Sudah dijelaskan dan ditegaskan pada penjelasan sebelumnya bahwa konflik adalah bagian dari kehidupan, seperti siang dan malam, silih berganti, maka dari itu hal yang harus dipersiapkan manakala konflik itu muncul adalah kesiapan mental, pemikiran dan kepekaan. Kepekaan (sensitivitas) sangat penting dalam mendeteksi konflik dalam kehidupan sehari-hari, sensitivitas bukan bertujuan menghindari konflik, hal yang mustahil dilakukan oleh manusia, dalam hal apa pun dan kondisi apa pun dialektika konflik akan selalu ada.
Dalam skala mikro sensitivitas konflik harus dimiliki setiap orang, hal ini akan mempermudah proses pengelolaan atau manajemen konflik yang ada. Dalam skala makro atau global ada dua elemen terpenting yang harus secara sedar memiliki sensitivitas konflik, yaitu pemimpin politik dan pemimpin agama. Karena secara kolektivitas dua elemen tersebut cukup besar peranannya dalam kehidupan sosial.
Pemimpin Politik
Dalam kehidupan modern dan era mulitkultural, di mana batas-batas kehidupan etnisitas, agama, cara berpikir tidak lagi dapat dibatasi tingkat persentuhan komunikasi dan interaksinya, maka kehidupan kolektivitas harus dikelola secara proporsional dan adil. Karena intensitas konflik akan sangat besar dalam sistem masyarakat multikulural dimana setiap identitas individual dan kolektif memiliki posisi yang setara dalam ruang-ruang sosial.
Kondisi yang demikian, peran tokoh dan pemimpin politik sebagai sebuah perwakilan dari berbagai kelompok yang berperan dalam mengatur arah, kebijakan, dan aturan bagi kehidupan bersama harus lebih peka pada potensi konflik horizontal maupun vertikal. Kerentanan masyarakat yang begitu mudah menggunakan tindakan kekerasan adalah bukti minimnya sensititivitas konflik yang dimiliki oleh para pemimpin politik.
Sensitivitas konflik elite atau pemimpin politik harus memahami potensi-potensi yang dapat memunculkan konflik, sehingga dapat dengan mudah mengurai ketika konflik itu muncul. Intervensi pemimpin politik pada konflik di masyarakat dimaksudkan untuk memberdaya dorong penyelesaian agar terjadi perubahan yang lebih baik, peran pemimpin dalam mengurai anatomi konflik, dan menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkonflik sangat penting agar mereka yang berkonflik dapat merumuskan solusi dengan sendirinya.
Sikap dan tindakan tokoh politik harus mengarah pada recognition, respect dignity, dialog dan consensus. Ini adalah sikap yang harus muncul sebagai bentuk kesiapan dalam mengurai konflik. Selain itu hal yang juga sangat penting diperhatikan adalah adanya akses, opportunity, fasilitas, empowerment dan budget adalah sebuah perspektif life yang juga harus dimiliki oleh pemimpin politik.
Biasanya yang sering menjadi isu pokok konflik adalah hal-hal yang terkait dengan keberlangsungan hidup, keamanan, keadilan atau kejujuran dan sampai pada persoalan yang lebih kompleks seperti kebutuhan untuk diakui, dihormati, otonomi, dan penentuan nasib sendiri. Karena itu, sensitivitas konflik wajib dimiliki oleh para elit dan pemimpin politik untuk menjaga keberlangsungan kedamaian hidup masyarakat.
Pemimpin Agama
Elemen kedua setelah tokoh politik adalah tokoh agama yang juga punya peran penting dalam sebuah komunitas masyarakat, ucapan dan tindakannya akan didengar dan dilakukan oleh jamaah atau pengikutnya. Secara lebih tegas pemimpin agama adalah mereka yang mampu menggerakkan orang, yang argumen dan pendapatnya didengar yaitu yang termasuk di dalamnya guru, orang tua, dosen, kyai, da’i, pemimpin gerakan mahasiswa, pemimpin organisasi sosial keagamaan, pemimpin politik berbasis agama.
Kesemua pemimpin elit agama tersebut ternyata sangat berpengaruh untuk menentukan kemana arah agama yang akan dibawah, apakah akan diarahkan pada kompromi, konsensus, perdamaian atau pertentangan, mutual distrust, konflik dan kekerasan. Sudah dipahami bahwa agama bersifat paradoks atau berwajah ganda (ambivalent) bisa sejuk, bisa bringas, bisa lunak, bisa keras, bisa damai, bisa perang. Karena sifanya yang ambivalent maka pemimpin agama harus ekstra hati-hati dalam menyampaikan isi pesan ajaran agama.