melihat kembali
buat—
dulu, ingin kujegal jalan takdir yang telah berlalu ini,
tetapi kemampuan ingatan, seperti kabut pagi,
tak selalu kuat untuk bertahan.
kini terperangkap dalam mimpi
kau pernah jadi tetes bara yang selalu menitik jatuh
guna menghanguskan luasnya samudra di dalam diriku,
juga mampu mengeringkan seutuhnya,
cintaku yang telah mengakar tumbuh.
(2023)
–
bertahan di dalam ingatan
buat—
dari jauh,
dari ruang tunggu
yang lampulampunya tak pernah penuh,
aku pernah memandangmu
dengan mata yang lenyap
dalam angin musim
akhir tahun yang lembab.
dinginnya wajahmu mempunyai
binar yang bagai pualam di malam
yang gelapnya bayangbayang pun
tak sanggup untuk tumbuh.
kata, jadi hal terakhir untuk kau tahu,
bahwa sebelum masa lalu, aku
pernah tertuju dengan ketakutan,
menahan agar jantungku tak runtuh terungkap.
“aku tidak sedang membuat cinta yang jelas,”
tetapi sungguh,
degupku menangis
hingga pada akhirnya pun jatuh
tertindis oleh matamu yang berlapislapis.
“juga tidak berpurapura saat itu. memang cinta
mungkin telah tumbuh, dan lebih gesit menjerat diriku.”
(2023)
–
into dust
ternyata, kita telah menemukan tempat masingmasing
mungkin itu takdir, mungkin
tahun lalulalang di antara bulanbulan
setapak demi setapak, pelanpelan melangkahi
waktu yang hanya punya satu musim untuk berlalu
hingga di ujung, tiada lagi yang basah di dalam jantungku.
kesepian adalah diriku
menyisa kenangan yang telah jadi liang lahat
dan sepenuhnya berkalang tanah
tanah yang kering,
yang sedang menelan perlahan
sesuatu yang sulit hilang.
(2023)
–
I gave you all my love, and all you gave me was goodbye*)
dirimu. ah, kini hanyalah sisa bayang yang tak terbentuk,
yang pelanpelan terkikis, serupa pasir direnggut ombak.
dirimu, yang tak pernah bosan menatap mataku, pernah
menelantarkan kembang yang pernah kutanami dulu.
dan memang,
kau tak pernah menyiraminya selagi bersamaku
meniti barisan gerimis, dingin telah menembus mantelku
dari seberang kenangan (yang belum jauh tentunya)
masih kuingat katakatamu yang bagai kabut subuh:
kasih, cinta yang mengalir ini telah berhenti.
aku tak bisa lagi merasakan gemuruhnya seperti dulu
namun, aku masih tetap bisa merasakannya.
gemetar yang kukira adalah gempa kecil ini
ternyata berasal dari jantungku
yang belum mampu melenyapkanmu dengan penuh,
dengan sempurna.
(2023)
*) puisi ini diilhami dari lagu ‘Back to December’ – Taylor Swift.
–
i know (i know)
kuletakkan kau di sini
di dalam sajak yang tak mampu
menggerakkan sepatah angin.
suara tak lagi mengenal diriku
dan hidup ini,
telah mengaliri banyak ketidakpastian.
dan semoga,
kita tidak akan bertemu kembali
untuk apa aku siasia menunggu hujan,
yang ternyata tak mampu meluapi dirimu?
aku pun hanya bisa bergeming
melihat tanah yang basah ini luput,
menunggunya kering dan retak,
seolaholah itu adalah waktu
yang pelanpelan menjauh,
berlalu.
(2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA