Menonton Coffee Prince
/1/ Di Pantai
hatinya menjadi ujung daratan. galau ombak hanya menjauh-dekat di bibir pantai, seperti julur lidah yang tidak pernah berduka. Telah ia putuskan untuk memanjangkan kebohongan; kedua matanya yang jauh kian perih oleh serpih kaca dalam pasir. setidaknya malam ini, katanya, tangan itu mesti bertaut meski jodoh tak lebih panjang dari kantuk langit, dan pelukan yang ia rakit tak pernah benar-benar berlayar, hanya bermain-main dalam timangan gelombang nasib.
Ibu, ajarilah semesta cara menanak kebahagiaan
agar tawa di bibirnya tak cepat menjadi basi
/2/ Di Kedai Kopi –
matahari berkostum bunga, mengunjungi dinding yang murung. penanda tak terbaca bahwa takut benar-benar dapat dilampaui. sesungguhnya ia telah belajar bahwa kasih sayang takluk pada perhitungan. namun, ia tetap memutar roda karena telah membuat keputusan. tentang tenang mana yang ikhlas ia larung dan sakit mana yang sanggup ia tanggung. sebuah ciuman dan tangis tak terbendung.
Ibu, ajari aku cara berdoa agar Tuhan
tidak menanam mawar dalam dadaku
/3/ Di Bangku Taman
meskipun sulit, rupanya rindu tetap saling mencari. dijatuhkannya buah-buah kasta agar niat baik mendapatkan peta. prasangka tak lagi tersesat dan kemarahan berhasil dijinakkan. seolah sudah seharusnya, pelangi jatuh di mata mereka yang semula basah oleh gerimis musim cobaan. di taman itu, kesedihan punya durasi dan cerita berkawan akrab dengan akhir bahagia. sandiwara berakhir, kemudian sebuah pelukan tersisa.
Ibu, adakah sebuah episode dua belas
bagi hujan yang kian jatuh dalam hatiku?
karena tak seperti mereka, aku tidak sedang berpura-pura
(Gang Kopi, 2021)
Ke Italia
sudah berangkat orang-orang
dengan pakaian serba putih
kali ini tanpa antimo
karena tujuannya
adalah surga
masih berbaring aku
di sofa dalam piama
karena aku tak mau
pergi ke surga
aku ingin masuk
ke layar televisi
agar bisa menemukan cinta
di sebuah pulau di Italia
(Gang Kopi, 2021)
Melayarkan Kata
– untuk mewgulf
betapa terlambat kita menyadari bahwa sia-sia mengharapkan datang pesan WA dari surga, berkata ada paket nasib baik yang akan segera diantar menuju alamat kontrakan kita. betapa terlambat.
bukankah hadiah memang hanya untuk yang baik? sedangkan kita akhirnya belajar bahwa meski biru, bumi bukanlah surga. ia lebih mirip buru, tempat manusia dibuang karena difatwa berdosa. dan satu-satunya yang dijanjikan bagi kita adalah bencana yang tak pernah diturunkan untuk siapa pun sebelum kita.
kita percaya nasib baik tak pernah dibuat untuk siapa pun di antara kita. hingga suatu masa, mukjizat yang tak pernah dijanjikan menjelma berkat untuk kita. dari sepetak layar yang pada hari-hari biasa dipenuhi pengingat ancaman siksa, sepasang kekasih terbit, bersipeluk dalam cahaya–melahirkan cahaya. mata mereka saling mencinta tanpa dihujani api dari neraka, tanpa berubah menjadi batu.
kita mencatat kata-kata mereka di atas kulit dan tulang kita: wahyu yang tak pernah datang menerangi keraguan-keraguan kita, kabar gembira yang akhirnya jatuh pada tengadah tangan kita yang telah lama kemarau. setiap kali langit memendungkan hidup, kita baca ayat-ayat cinta mereka dari tubuh yang telah kita wakafkan menjelma kitab.
dari cahaya yang mereka terbitkan, kita sekarang tahu, seperti apa warna cinta yang pernah kita rasakan jika tak kita tebang batangnya, jika tak kita sembunyikan kembangnya. dari bayang semburat kasih mereka, kita ciptakan taman di hati kita, taman yang diisi pepohonan dan dialiri sungai susu, meski ukurannya mini dan warnanya sedikit abu.
sebagai tanda bakti, meski duafa, kita rogoh semua saku baju yang bisa kita temukan, demi satu atau dua koin untuk kita masukkan pada mesin penerima doa: semoga mereka berbahagia dan sepaket nasib baik diantarkan langit untuk mereka.
(Gang Kopi, 2021)
Pride 2021.xlsx
nikmat yang mana lagi yang kaudustakan?
akhirnya kita bisa merayakan kejujuran,
meski memang bukan di jalan, bukan di taman. meski memang hanya pada sepetak layar bergaris yang pendarnya berubah jadi pelangi setelah kita tekan.
ENTER!
dan kita tersenyum dalam hati
karena taring kebencian hanya punya
satu pekerjaan: memburu dan mengoyak
kebahagiaan.
begitu realita mengirimkan utusan
jendela buru-buru ditutup kemudian kita
kembali pada jubah SUM dan IF yang dingin. tetapi setidaknya bikin kita jadi tak kasatmata.
maka nikmat yang mana lagi
yang kaudustakan?
(Gang Kopi 2021)
Pertanyaan tentang Kata
Ibu, jika aku mengucapkannya
tanpa jeda, sehingga ia tumbuh
jadi rumpun penuh bunga, apakah
doa bisa membengkokkan Kata?
yang kadung dibangun jadi menara
belulangnya baja dan dagingnya bata
dari puncaknya: hujan batu menyala.
Ibu, jika aku menanamnya setekun
hatimu mengampuniku, sehingga ia
menjadi taman di halaman hatiku, apakah doa akan mampu menggerakkan Kata?
untuk berkunjung dan duduk bersamaku melihat teduh bekerja menidurkan cuaca.
(Gang Kopi, 2022)
Pengunduran Diri
mungkin ini akan sampai padamu sebagai cicit tikus di buta pagi, ketika kau mengejar awan di atas bantalmu yang lulabi. ini adalah hari terakhirku berlidah mistar berlengan palu. tak ada lagi yang bisa dibangun dari tulang dan dagingku; merahnya telah hanyut dan putihnya telah mengabu. ketika kau bangun, yang akan kau temukan adalah tanah makam yang lumpuh dan bisu. bukan dangau tempat kau pernah duduk termangu, bukan ruang UKS yang pernah kau gunakan merawat luka, bukan rumah yang pintunya selalu terbuka, tanpa pernah mengingat basah tapak kakimu.
(Gang Kopi, 2022)