Dari sekian teman yang kukenal, mungkin hanya Linda saja yang begitu secara terbuka berani mengakui bahwa dia mencintai Paul McCartney. Dia menjabarkan banyak alasan tentang kecintaannya kepada Paul. Tapi, alasan yang paling kuingat—dan mungkin saat itu dia sedang bercanda—adalah karena istri pertama Paul bernama sama dengannya, Linda.
Aku bertemu dengan Linda yang ini ketika kami berada di tahun pertama sekolah menengah atas. Dia duduk di bangku nomor dua dari depan dan aku duduk di bangku nomor tiga atau persis di belakangnya. Hampir setiap hari aku melihat punggungnya, juga pundaknya yang ramping, juga rambutnya yang sebahu dan dibiarkan terurai.
Pada awalnya, kami berdua benar-benar tidak banyak saling berbicara hingga bulan Oktober. Itu adalah bulan ketika dia putus dengan pacarnya yang berada di kelas sebelah dan ketika hujan mulai turun perlahan setiap harinya. Seingatku, semenjak saat itu dia tidak pernah berpacaran lagi, juga tidak denganku. Bukan aku tidak menyukainya, tapi kami memang hanya berteman selama kurang lebih delapan bulan di sisa tahun pertama SMA.
Setelah tahun kedua, kami berbeda kelas dan, entah mengapa, kami tidak pernah bertemu lagi, bahkan sekadar berpapasan di lorong atau di mana pun di area sekolah. Dia tidak pindah, aku tahu lokasi kelasnya. Dia hanya seolah-olah lenyap tertelan kabut yang turun di waktu subuh.
Di bulan Oktober itu, dia yang tidak pernah benar-benar berbicara denganku tiba-tiba berbalik menatapku dan menyapaku, kemudian memulai sebuah obrolan yang tidak pernah kusangka akan menjadi titik mula keakraban kami. Jika kupikirkan sekarang, itu obrolan yang tidak biasa. Setidaknya, bukan suatu obrolan yang akan dimunculkan ketika mengobrol dengan seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita.
“Teman-temanku tidak ada yang mengenal Wings,” katanya.
Aku tahu Wings, tapi tetap mengerutkan keningku.
“Kamu tidak tahu?”
“Aku tahu,” sergahku.
“Kamu menyukainya?”
“Tidak. Tidak terlalu.”
Dia kemudian mengeluarkan gawai dari laci mejanya. Dia menyalakan layarnya, memasukkan sandi yang berupa rangkaian enam angka, dan membuka sebuah aplikasi pemutar lagu yang terhubung dengan internet. Dia kemudian memutar “Let Me Roll It” dengan nada rendah, sehingga kira-kira hanya kami berdua yang dapat mendengarnya di tengah jam istirahat waktu itu.
Lagu itu bertempo lambat, tapi alunan gitarnya mengentak. Bukan sebuah lagu yang cocok untuk didengarkan oleh seseorang yang hendak tidur, juga bukan lagu yang tepat untuk mengiringi belajar.
“Ini adalah lagu favoritku,” kata Linda. “Let me roll it, let me roll it to you,” katanya lagi menirukan suara Paul.
Aku tidak menanggapinya. Sebaliknya, aku memfokuskan diriku pada lagu itu sampai akhir. Linda terlihat tidak keberatan dengan hal itu, dia bahkan terlihat senang ketika aku antusias dengan sesuatu yang diputarnya.
Begitulah pertama kali kami mulai akrab. Selebihnya setelah itu, kami lebih sering bercakap-cakap ketika jam istirahat atau ketika jam kosong; selain di saat-saat itu kami tidak berhubungan sama sekali, juga tidak melalui chat atau telepon. Linda menyuruhku mendengarkan tidak hanya lagu-lagu Wings, tetapi juga The Beatles (terutama lagu-lagu yang benar-benar ditulis oleh Paul, meskipun di sana tertera juga nama Lennon, seperti “Yesterday”, “Let It Be”, “Ob-La- Di Ob-La-Da” dan sebagainya), dan lagu-lagu dari karier solo Paul tentu saja.
Ketika kami menjalani darma wisata, aku dan Linda pergi ke toko buku yang ada di lantai satu sebuah bangunan tinggi menjulang. Kami melihat-lihat buku. Saat itu, dalam pikiranku, membeli buku adalah sebuah hal yang mewah. Uang sakuku tidak akan cukup. Tapi, lain lagi bagi Linda. Dia, minimal, seminggu sekali datang ke toko buku di pusat kota. Meskipun tidak selalu membeli buku terbaru, dia selalu membeli buku-buku yang menurutnya bagus. Buku-buku karya Murakami Haruki adalah salah satunya. Dia memberitahuku bahwa penulis kelahiran Kyoto itu pernah menulis sebuah novel yang memiliki judul yang sama dengan salah satu lagu Beatles.
“Itu lagu yang enak didengar,” kata Linda, mencoba menjelaskan pengalamannya mendengarkan Norwegian Wood-nya The Beatles. “Ada perpaduan alat musik India juga di sana.”
“Tapi, itu ditulis oleh John. Dia ingin mengatakan kepada istrinya bahwa dia punya simpanan tanpa harus mengatakannya dengan jelas,” kataku, berusaha menjelaskan apa yang kuketahui berbekal gosip yang beredar di forum internet.
“Benar juga. Aku tidak suka John. Apa aku harus mengurungkan kesukaanku kepada buku atau lagu itu?”
“Tidak perlu sampai seperti itu juga, sih.”
Pada akhirnya, kami hanya berkeliling tanpa membeli satu pun buku. Kami kembali ke bus dan dia duduk di sampingku, mengusir teman dudukku agar duduk di tempat lain. Aku merasa tidak enak dengannya. Aku langsung menyatukan kedua telapak tanganku kepadanya. Dia berkata bahwa itu bukan masalah serius.
Linda memutar satu album Wings dan mendengarkannya melalui earphone. Dia memberiku satu bagian earphone-nya. “Band on the Run” adalah nomor pertamanya. Bus berjalan, gerimis mulai turun membasahi jendela di samping kiriku. Kami tidak bicara apa pun. Linda bersandar pada pundakku dan aku bersandar pada punggung kursi. Di dalam bus, seorang anak perempuan berkaraoke, menyanyikan lagu-lagu elektronik populer. Bus cukup gaduh. Anehnya, kami berdua tidak merasa terganggu sama sekali. Satu telinga dari masing-masing kami berdua mendengarkan Paul dan band Wings-nya, telinga yang satu lagi mendengarkan kebisingan yang ada di dalam bus.
“Kapan kita akan sampai?” tanya Linda.
“Paling lambat tengah malam. Mungkin sekitar pukul sebelas.”
Linda diam.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” kataku, tiba-tiba, mungkin agak mengagetkannya.
“Selama aku bisa menjawabnya,” jawab Linda.
“Mengapa kau begitu mencintai Paul?”
“Namaku sama dengan nama istri pertama Paul, Linda McCartney, dulunya bernama Eastman. Namaku memang mirip, tapi kurasa ayahku tidak memberiku nama berdasarkan nama itu. Dia sama sekali tidak mengenal The Beatles, apalagi Paul.”
“Baru kali ini aku mendengar alasan semacam itu.”
“Kau menganggapnya konyol?”
“Tidak. Aku menghormati alasan setiap orang, meski itu memang terdengar konyol.”
Tapi, istri Paul yang pertama itu meninggal dunia karena suatu penyakit. Kuharap, hal semacam itu tidak menimpa Linda yang satu ini. Saat itu juga, aku berdoa semoga Tuhan melimpahkan kesehatan kepadanya, menjauhkan segala penyakit darinya, terutama penyakit-penyakit mematikan. Terakhir, yang paling penting, kuharap dia menemukan kebahagiaan di dalam hidupnya.
“Mau mendengar satu hal lagi?” tanya Linda tiba-tiba.
“Apa itu?”
“Linda McCartney meninggal dunia pada tahun 1998 dan aku lahir sebagai Linda di tahun 1998. Kurasa, hal itu bukanlah sebuah kebetulan. Ini seperti sebuah takdir yang tidak terelakkan. Aku tidak tahu alasannya, tapi aku tiba-tiba merasa mencintai Paul McCartney begitu saja. Aku menemukan lagu-lagu The Beatles dari Norwegian Wood-nya Murakami, kemudian mencari segala informasi tentang The Beatles di internet. Satu per satu personelnya kubaca biografi ringkasnya. Sampai kemudian aku mendapati bahwa Paul pernah memiliki istri yang namanya sama denganku.”
Aku diam mendengarkan ceritanya, tidak berkomentar apa pun. Saat itu, aku mendengarkan tiga hal secara bersamaan: lagu “Let Me Roll It”, cerita Linda, dan kegaduhan anak-anak lain di dalam bus. Tapi aku sama sekali tak terganggu atau keberatan.
***
Aku memutar album Ram di mesin pemutar musik di mobilku yang terhubung dengan jaringan Bluetooth dari gawaiku. “Another Day” berputar ketika aku sampai di pinggiran laut. Suara Paul mengingatkanku kepada Linda. Sebagaimana yang telah kuceritakan di awal, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi setelah tahun pertama SMA selesai. Dia menghilang begitu saja, seperti ditelan kabut. Meskipun sama-sama memiliki gawai, kami tidak pernah saling bertukar nomor telepon. Aku tidak meminta dan dia juga tidak menawarkan diri. Kami menjalin hubungan hanya ketika berada di sekolah, mengobrol secara langsung, bukannya melalui ketikan chat atau melalui jaringan telepon. Kami berdua merasa cukup berhubungan dengan hal semacam itu. Mungkin jika terjadi yang berlebihan, kami malah akan bermusuhan, alih-alih mengobrol panjang lebar.
So sad, so sad
Sometimes she feels so sad
Alone in her apartemen she’d dwell
‘ Til the man of her dreams comes to break the spell
Ah, stay, don’t stand around
And he comes and he stays
But he leaves the next day
So sad
Sometimes she feels so sad
Kalau aku tahu alamatnya sekarang, aku akan mengirim surat kepadanya. Aku akan menanyakan kabarnya dan memberitahu kabarku. Akan kukatakan bahwa aku selalu mendengarkan Paul sejak berkenalan dengannya. Atau, jika aku memiliki uang lebih, akan kuselipkan juga tiket untuk pergi ke Liverpool. Kami bisa bertemu di sana, kemudian berjalan-jalan di sebuah kota pelabuhan yang telah melahirkan salah seorang maestro dunia.
Namun, apa pun itu, ini hanyalah hari sebagaimana hari yang lain, tidak ada yang spesial. Kurasa, tidak masalah menjalani hari-hari yang biasa sebagai orang biasa. Linda mungkin juga menjadi orang biasa yang menjalani keseharian yang juga biasa. Kalau ingatanku tidak mengecohku, dia pernah berkata soal mendengarkan lagu-lagu Paul setiap harinya.
“Aku tidak pernah bosan mendengarkan lagu-lagu Paul. Baik sekarang, nanti, atau di masa depan yang jauh.”
Aku hanya mendengarkan saat itu, tidak menanggapi apa pun.
“Bahkan, jika suatu hari nanti ada jalan ke Mars, aku akan mendengarkan lagu-lagu Paul di Mars. Pasti rasanya berbeda. Aku akan berbicara dengan anak-anak yang lahir di Mars, ‘Hei, ini adalah lagu yang dibuat di bumi, jauh di masa lalu.’”
It’s just another day.
It’s just another day.
Dan Linda, di mana pun dia berada sekarang, pasti masih mendengarkan lagu-lagu yang sama seperti katanya dulu. Tak peduli seberapa konyol alasannya menyukai idolanya itu. Sekarang baru bisa kupikirkan, betapa orang memang tak butuh alasan muluk-muluk, hanya untuk menyukai sesuatu, dan mungkin untuk menjaganya seumur hidup. Seperti ingatanku tentang Linda, yang menyatu dalam lagu-lagu McCartney. Sayang aku tak pernah jadi seberani Linda, untuk mengungkapkan apa yang benar-benar mengusik perasaanku, apa yang kusuka dan apa yang tidak. Linda pasti mengatakan semuanya, termasuk bila dulu dia juga memahami perasaanku meski aku tak pernah mengatakannya.
Mojokerto, 10 Mei 2022
Editor: Ghufroni An’ars