Menulis omong kosong yang ada apanya

Mau ke Mana Lagi, Manusia Malang?

kemal fasas

11 min read

Siang kali ini sangat terik. Di jalanan, matahari menjadi satu-satunya musuh yang perlu kaupercayai, sedang bayang-bayang gedung perkotaan adalah teman yang tidak dapat kauandalkan. Seharusnya aku tidak perlu keluar, sebab ada beberapa persoalan yang harus diselesaikan. Beberapa saat yang lalu, saat kabut masih menyelimuti—atau mungkin asap kendaran pagi—kantor menelepon, mengabarkan bahwa klien tidak senang dengan desain yang kukirim.

“Kurang… apa, gitu. Pokoknya, bisa diubah lagi tidak? File kamu kirim malam ini. Bisa, kan? Saya tahu kamu bisa.” Kata atasan kepadaku dengan nada seperti ia tengah berbicara dengan anak berumur 5 tahun.

Fakta bahwa hari ini hari Minggu membuatku ingin menuju kantor dan meledakkannya hingga ke tanah. Tapi aku segera menyimpan niat itu untuk kapan-kapan, jika suatu saat aku sudah siap secara finansial dan tidak ada lagi penyesalan yang menanti setelahnya.

Kau tahu, rasanya ketika berada di ambang yang tidak jelas betul di mana ketika berpijak, walau di antara yang ada dan tidak ada itu sudah jelas? Itu yang aku rasakan sekarang. Dan, dari perasaan itu tadi, entah dorongan dari mana, aku memutuskan menuju taman siang ini. Tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan setelahnya.

***

Aku memakai pakaian seadanya: celana training hitam yang biasa aku pakai jika ke warung, kaus polosan, dan jaket yang aku lupa kapan terakhir kali dicuci. Dengan meninggalkan laptop tetap menyala menghadap kamar yang berantakan, aku mengambil kunci, dan keluar dari indekos. Dan tidak ada yang menarik untuk diceritakan setelahnya.

Tentu aku bisa saja berbohong bahwa ketika di tengah jalan menuju taman aku berpapasan dengan petinju kelas teri yang sudah gantung sepatu dan secara tiba-tiba mengajakku berduel satu lawan satu. Ia bercerita ini akan menjadi petarungan terakhirnya. “Gantung harapanmu. Kita adu tinju sekarang.” Kata sang petinju. Lalu jotos pun beradu, dan aku benar-benar remuk sehabis itu.

Jap pertama yang dilontarkan dan membuat sedikit luka di pipi kiriku, lalu kujawab dengan uppercut yang melesat tanpa menyetuhnya. Sebagai lelaki yang terlihat begitu bapuk, ia masih saja lihai. Pengelihatanku semakin pudar, dan ancaman semakin terang. Setelah beberapa kali bertukar pukulan—walau hanya 3 dari 10 tonjokan yang berhasil mengenainya—pada akhirnya, kami berdua sudah tahu sejak awal siapa yang akan terakhir berdiri.

Dengan badan yang tergeletak di tanah, aku memejamkan mata dan merasakan denyut-denyut yang menggeliat dari pipi kiri, tangan kanan, dan perut beserta sekitarnya. Mungkin ada tulangku yang patah atau retak. Sebelum aku sempat bangun, ia menggapai tanganku dan mengangkut seluruh badanku sambil berkata, “kau cukup hebat, Bocah.” Senyumnya yang aku artikan sebagai ejekan itu dilempar sembari bernapas dengan tergopoh-gopoh. Aku menerka, di dalam pikirannya, jauh di dalam dirinya, ia masih ingin bertarung lagi.

Tapi itu semua tidak terjadi. Tidak ada gempa, tidak ada alien datang, tidak ada revolusi yang terjadi; tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan. Seharusnya, sejak awal, lebih baik aku menyiram tanaman tetangga, menyapu halaman depan mbok warung seberang, dan melakukan hal lain yang lebih berguna—atau mungkin mengerjakan pekerjaan yang seharusnya aku kerjakan. Setidaknya ada hal yang cukup membuatku terjaga hingga esok pagi. Entahlah. Ada perasaan yang tetap menggiringku untuk pergi ke taman.

Dari gerbang indekos ke taman tidak membutuhkan tenaga yang besar. Mungkin sekitar 10 menit jalan kaki, ditambah 2 menit bengong melihat anjing-anjing menyalak dari pagar rumah milik tetangga. Jalanan menuju taman terasa lenggang. Terlihat hanya satu-dua orang yang cukup bodoh ingin berjalan di bawah terik matahari yang masih panas seperti biasa. Angin yang kering berembus dan membawa daun kering.

Ketika memasuki taman hingga tempat di mana aku berdiri, ada 4 bangku taman tertanam di 4 penjuru jalan taman, dengan kolam air mancur di tengahnya tanpa air yang menyemburat dari kubangan yang terlihat mengering. Aku belum melihat ada orang yang berjalan. Mungkin ada kucing kampung yang lewat, tapi itu tidak penting. Beda lagi ceritanya jika si kucing mendatangiku, lalu dengan lucunya mengusap kepalanya di kakiku sehingga mendorongku untuk jongkok agar tanganku dapat menggapainya. Tapi, sebelum tanganku menyentuhnya, si kucing akan sigap dan menjaga jarak beberapa langkah dariku dan berkata dengan bahasa yang bisa aku mengerti dengan suara seberat dosa petinggi kantorku. Kurang lebih ia mengatakan bahwa aku akan mati ketika aku kembali ke rumah sekarang. Lalu, aku menjawab dengan pertanyaan dari mana ia mengetahuinya, berharap si kucing mengerti apa yang kukatakan.

Mengejutkanya, ia menjawab kembali. “Kebermaknaan akan gugur satu-persatu. Segalanya akan sirna, dan yang tersisa hanyalah kebenaran.” Aku mendengarkannya, sambil memperhatikan ekornya yang mengayun dari kanan ke kiri.

“Apa maksudmu? Hm…”

“Toni. Panggil saja aku Toni.”

“Nama yang cukup keren untuk kucing kampung, bukan begitu?”

“Jangan banyak tanya. Bocah-bocah gang sudah memanggilku seperti itu sejak aku kecil.”

“Hm, baiklah. Eh, jadi…”

“Segalanya akan berakhir bukan dengan ledakan besar dan semacamnya,” ia menjawab dengan pernyataan lanjutan yang tidak masuk akal.

“Lalu?”

“Dengan rengekan. Semua berakhir dengan rengekan: dari orang tua yang membungkuk hingga bayi yang merangkak.”

“Aku tidak yakin paham maksud semua ini…,”

“Mungkin, memang tidak ada yang tahu apa maksud dari segalanya. Tapi yang jelas: ketika kau kembali ke sangkarmu yang kecil itu, kau akan mati.”

“Apakah aku dapat menghidarinya?”

“Mungkin saja iya, mungkin saja tidak. Segala hal tidak perlu kau ketahui. Tidak ada tanggung jawab dalam mengetahui, pun diketahui. Kau akan mendapatkan jawabannya di sana nanti.”

“Lalu apa itu kebenaran yang kau sebut tadi?”

“Sederhananya begini: apa yang membedakan kucing yang dilindas Honda Astrea dengan Mitsubishi Pajero?”

“Hm… apakah keduanya terjadi di waktu yang berbeda?”

“Bukan.”

“Entahlah. Aku menyerah.”

“Tidak ada. Keduanya sama-sama mati menyedihkan, dan kita akan selalu terlalu sibuk memikirkan mobil apa yang melindasnya.”

“Tapi, itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, Toni.”

Sebelum aku mendapatkan jawaban yang kumau, Toni berlalu dengan mengejar burung taman yang sempat hinggap di dekat kami, dan menjauh.

Tapi tentu itu sama sekali tidak terjadi, sebab tidak ada hal menarik untuk diceritakan. Taman siang ini tidak ada siapa-siapa. Aku mencoba untuk duduk di salah satu bangku taman terdekat dan melihat sekitar. Di bawah bayang-bayang pohon yang memayungi setengah dari badanku, terdengar suara sirine ambulan menjauh, ditambah kumpulan tawa dari gerombolan anak sekolah. Segala hal terjadi dalam satu waktu, dan itu sedikit membuatku kepikiran tentang betapa sepertinya ada hal, selalu ada hal, yang terlewatkan. Tanpa aku sadari.

Aku duduk setengah sadar (atau setengah tertidur) pada bangku taman yang terbuat dari besi yang telah menyimpan semua panas sepanjang siang ini, sehingga bokongku menjadi tidak terasa nyaman selama 5 menit, dan 5 menit selanjutnya, tanpa perlu disuruh, ia sudah menyesuaikan dengan suhu sekitar. Manusia betul-betul ajaib, pikirku. Namun sekililingnya: jalanan aspal menjamur, rumah-rumah bertumpukan, akan selalu begitu-begitu saja. Aku membayangkan, bahwa semua yang begitu-begitu saja dapat berubah ketika kehancuran mendekat, atau, dengan kata lain, kiamat. Seperti, apa yang terjadi jika sekarang matahari mulai menggulung dengan sendirinya? Cahaya putih melipat dalam udara tipis dan mengisap kehampaan, lalu membuat gunung berterbangan bagai kapas, dan orang-orang akan berlarian mencari perlindungan dan tidak ada yang bisa diminta pertolongan? Bagaimana reaksiku ketika waktu itu datang? Mungkin hanya akan tetap duduk di sini, sepertinya.

Setelah beberapa saat, lamunanku pecah ketika seorang nenek tua, berpakaian serba hitam dengan topi berawarna coklat gelap yang menyatu dengan kulitnya; sangat modis (jarang-jarang kaudapati nenek-nenek seperti ini), melewati taman, dari satu ujung menuju ujung lainnya menggandeng 2 kantong plastik berisi penuh.

Aku memutuskan untuk kembali dan mengakhiri lamunanku. Tapi ketika menoleh sekali lagi ke nenek tadi, sebelum benar-benar pulang, aku memutuskan untuk menghampiri nenek tersebut. Aku bertanya bolehkah aku membantunya, tapi ia tidak menjawab. Ada keheningan yang membuat jarak kami menjadi dingin. Nenek itu tetap berjalan tergagap-gagap dan menoleh ke arahku. Ketimbang dikira sebagai pencopet yang mengintainya dari belakang, aku coba menawarkan kembali bantuan sekali lagi.

“Boleh, Nak.” Nenek itu menjawab, dan menyodorkan dua plastik belanjaannya. Untuk seukuran nenek serupa ranting yang ringkih, ini bawaan yang cukup berat. Ia berkata rumahnya tidak terlalu jauh dari taman di mana kami bertemu, masih satu jalan dengan rumahku.

Sesampainya kami, dengan tangan yang agak pegal dan otot yang mengencang, kami berdua berhenti di suatu bangunan, dekat dengan blok yang aku tempati, dengan model rumah muat untuk satu pasangan, tanpa gerbang dan halaman depan. Nenek itu pelan-pelan merogoh sakunya yang awalnya aku kira ia akan mengambil kunci, namun mengeluarkan telepon genggamnya. Ia menelepon seseorang, jawaban terpanggil. Suaranya serak dan kecil, hampir tidak terdengar. Si nenek memberitahu bahwa ia sudah di depan pintu, dan pintu pun terbuka.

Di titik ini, setelah pintu benar-benar terbuka, ada beberapa kemungkinan yang bisa saja kautemui: yang pertama, sedikit kemungkinan, adalah kau menemukan anak dari nenek ini yang bernasib harus merawat ibunya yang sering dianggap oleh tetangga sekitarnya antara ia sedang berbakti kepada ibunya atau ia terjebak dalam kondisi tersebut sedang kakak-kakaknya yang lain dapat hidup sebebasnya. Yang kedua, sepertinya tidak mungkin, adalah kau tidak menemukan siapapun lalu ketika kau bertanya ke nenek yang berdiri di sampingmu siapa yang membuka pintunya tadi ia mulai gemetaran dan memohon untuk tidak bertanya macam-macam. Yang ketiga, besar kemungkinan, adalah suami nenek tersebut. Kemungkinan terakhir yang benar.

Seorang kakek tua, dengan baju ketekan putih polos dengan sarung terpakai sampai ke atas pusar, membuka pintunya, dan kembali masuk ke dalam. “Silahkan masuk dulu, Nak. Nanti saya siapin teh,” kata si nenek. Aku mencoba menolak tawaran baik ini tapi di sisi lain aku tidak enakan untuk menolak sebuah wujud keramahan orang asing. Aku mengganguk, dan berkata permisi dengan pelan.

Setelah melepaskan sandal dan menaruhnya di rak yang terisi penuh dengan sepatu-sepatu berdebu (mungkin milik anak-anaknya yang pernah tinggal di sini, pikirku), aku mulai masuk ke dalam.

Rumah yang sederhana. Aku jalan tepat di belakang nenek itu menyusuri lorong pendek yang berakhir dengan ruangan berisi TV yang tengah menyala. Sofa berada di seberangnya, sudah ditempati kakek tadi, dan meja berbentuk persegi panjang di antaranya. Ini persis dengan bayanganmu ketika mendengar ruang keluarga. Lalu aku duduk di samping kakek tersebut, dengan jarak dudukan dua orang dewasa agar tidak terlalu canggung berhadapan dengan orang asing yang mukanya sudah mencerminkan ketidaksukaanya atas kedatangan tamu tidak jelas.

Waktu siang bukan jam yang baik untuk menonton TV. Khusus kali ini, jika aku dihadapkan 2 pilihan antara saling canggung berbicara dengan kakek yang di sebelahku dengan menonton TV, opsi paling aman tentu yang terakhir. Sekarang, sedang berjalan sebuah program dengan judul besar yang menggantung di kiri bawah layar “Kodokushi: Bagaimana Orang-Orang Tua Mati Sendirian” dengan pembawa acara yang memiliki tampang seperti mas-mas yang dapat kau temui di kasir mini market. Pembawaannya ceria, namun kaku. Benar-benar tidak cocok. Ia membawakan acara itu dengan senyum lebar ditambah gigi agak berantakan dan rambut yang tersisir rapi ke kanan dengan beberapa helai yang terlihat tidak mengikuti arus sisiran.

Kalimat pembukanya kurang lebih begini: “Kejadian ini—bukan, ini sudah seperti penyakit—berakhir dengan menumbuhkan kesadaran dalam diri kita masing-masing betapa hidup kita mau bagaimana-bagaimana selalu ada kemungkinan bahwa kita akan tua dan mati sendirian: tergeletak di lantai dapur yang dingin, lalu selama 5 menit kau berusaha memanggil seseorang yang kau tahu tidak akan pernah datang seperti istrimu yang sudah mati, atau keempat anak-anakmu yang meninggalkanmu dan berpikir lebih baik kau ditempatkan di panti jompo, dan tidak ada yang menyadari kematianmu sebelum satu minggu, kurang lebih.”

Aku tidak mengatakan bahwa acara itu benar-benar terjadi, akan tetapi selama aku duduk di sebelah kakek ini yang ada hanya aku menahan napas sesekali, menelan ludah sesekali, membenarkan tempat duduk sesekali, dan menutupnya dengan lirikan tipis ke kakek di sampingku yang romannya terlihat semakin kusam. Kami berdua hening, dan hanya ada ocehan dari dalam TV, detak jam dinding dan air mendidih dari kejauhan yang mengisi ruangan terkutuk ini. Sebelum sempat datang pikiran untuk berteriak “aku tidak tahan lagi!” si nenek datang dengan seperangkat alat minum teh. Suasana mencair.

Kami bertiga duduk bersama dengan 4 gelas kosong dan 1 pot yang terletak di hadapan kami. Nenek menuang untuk tiga gelas, dan aku mengambil satu karena dua sepertinya terlalu banyak. Dan gelas satunya lagi, kau tanya? Aku juga tidak begitu yakin, untuk diam bertiga selama minum tanpa mengetahui yang aneh-aneh sudah lebih dari cukup bagiku. Selesai meminum dengan beberapa kali tegukan, aku mengutarakan niatku untuk pamit.

“Mau ke mana, Nak? Kau tidak punya tujuan juga, bukan?” Tanya si nenek, dan si kakek hanya terdiam tetap menonton acara yang ada di layar.

“Nganu, Nek. Ada urusan yang harus disele—“

“Halah. Sudah. Di sini saja. Nemenin Aki Soban.” Nama yang aneh untuk lansia yang tinggal di daerah pinggiran Jakarta, pikirku.

“Iya kan, Ki?” Kata si nenek ke Aki Soban yang tidak menggubrisnya.

“Iya kan, Ki?” Kali ini agak kencang, dan Aki Soban baru menoleh. Coba saja belum menyahut, ingin aku ikut meneriakinya.

“Hah?” Aki Soban menjawab, singkat.

“Itu, si, anak muda, mending, di sini, dulu, nemenin, kita, ya?” Si nenek mengatakannya dengan terpotong-potong, dengan suara yang kencang, dan mencondongkan badannya mendekati ke kuping Aki Soban.

Aku langsung menyadari kalau dibiarkan terus begini, lama-lama aku akan keburu sama keriputnya dengan mereka berdua.

“Nganu, Nek, maaf banget. Tapi emang harus ada yang aku kerjakan. Kerjaan kantor.” Aku menyela, dan berbohong, tentunya, sebab aku tidak benar-benar ingin menyelesaikannya.

Si Nenek menyipitkan matanya, seperti curiga, dan berkata: “Yaudah. Nanti kapan-kapan main ke sini lagi, ya?”

“Iya, Nek.” Ucapku, kebohongan yang sudah tidak terhitung untuk hari ini.

Aku beranjak, pamit kepada dua lansia ini, lalu keluar dari rumah mereka. Dan tidak ada hal menarik untuk diceritakan setelahnya.

***

Dalam perjalanan menuju indekos, aku berpikir bagaimana jika aku tidak ke rumah dulu? Dalam sepersekian detik muncul, siasat-siasat apa lagi yang dapat menahanku untuk tidak ke rumah lagi. Syarat pertama, tentunya, adalah hal yang menarik. Sekarang, matahari tidak seterik saat pertama aku keluar. Cahaya-cahaya kesorean sudah mulai merayap dari balik bangunan-bangunan yang tidak terselesaikan.

Tidak jauh dari tempat aku berdiri, terdapat halte bus. Terlihat satu penunggu yang tengah membaca buku dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya terduduk di bangku halte. Entah apa yang mendorongku, aku coba beranikan diri untuk duduk di sampingnya. Ia menoleh ketika aku mulai mendekat. Kami bertatapan. Lalu setelah 3 detik aku menjawabnya dengan senyuman tipis, ia kembali dengan bacaannya. Usaha awal yang buruk.

Hanya butuh lirikan barang 5 detik untuk mengetahui bahwa orang yang di sampingku adalah seorang perempuan cantik, mungkin berusia di pertengahan 20, berambut pendek, bermata sendu dan wajahnya dapat menenangkan ributnya jalanan Jakarta saat ini.

Aku memutuskan untuk berhenti melirik, lalu duduk diam saja, hanya diam dan melihat kendaraan yang bergantian sahut-sahutan. Akhirnya bus datang, dan perempuan di sampingku beranjak, lalu menjauh. Selesai.

Tidak. Tidak. Ini sangat payah.

Aku memutuskan untuk berhenti melirik, lalu mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengannya. Tapi, melihat ia begitu terhisap dengan bacaannya dan sesekali mengangguk atas musik yang didengarnya, niatku langsung ciut. Kemudian, aku memilih untuk mengubur niat tadi dalam-dalam. Akhirnya bus datang, dan perempuan di sampingku beranjak, lalu menjauh. Cerita selesai.

Bukan, itu bukan akhir cerita yang aku inginkan. Seharusnya ada sesuatu yang terjadi di sini.

Aku memutuskan untuk berhenti melirik, lalu mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengannya. Hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah percakapan basa-basi yang tidak perlu. Tapi yang keluar dari mulutku sebatas memanggilnya saja.

“He—, Hei,” kataku, gugup. Dan ia masih sibuk dengan dunianya sendiri.

“Hei!” Cobaan kedua dengan suara agak dikeraskan. Ia menoleh, kebingungan, dan aku panik. Dalam sepersekian detik aku cepat-cepat mencari topik yang tepat.

“Lagi baca apa, Mba? Kayaknya menarik.” Tanyaku. Agak mengatur napas dari dada yang semakin berdegup.

Perempuan itu membuka earphone-nya dengan lembut—atau biasa saja, sebenarnya—dan menanya balik, “kenapa, Mas?”

“Ahaha. Nggak. Itu lagi baca apa? Kok, kayaknya seru.” Bodoh. Kenapa aku tertawa dulu seperti orang sok asik.

“Oh, ini. Lagi baca novel aja.”

“Wah, saya juga suka baca novel.” Tahi. Ini betul-betul pernyataan yang tidak perlu.

“Judulnya apa, ya?” Sambungku.

“Nggak terlalu menarik, sih. Tahu Ernest Hemmingway?” Katanya, sambil menaruh buku itu di pangkuannya, dan menutupnya.

“Ah, saya tahu. Old Man and the Sea, bukan? Penulis hebat.” Kataku, asal sebut saja. Walaupun tidak pernah aku baca juga, setidaknya masih bisa nyambung tipis-tipis.

“Betul. Tapi yang saya baca ini Sun Also Rises. Masih setengah jalan.”

“Dan saya minta maaf sudah ganggu membaca.”

“Haha. Tidak apa. Sesekali diganggu orang asing, dan membicarakannya tidak terlalu rugi.”

“Saya senang mendengarnya.” Batinku. Dalam sekejap, bebunyian jalanan kembali menguasai kami berdua.

“Apa yang Mba senang dari bacaan kali ini?” Tanyaku, kali ini, yang setelah melontarkannya baru aku sadari itu terdengar amat pretensius.

Ia sempat terlihat berpikir sejenak, dan berkata: “jujur, ya, saya tidak begitu suka Hemmingway di sini. Ceritanya, bagaimana mengatakannya, agak membosankan?”

Aku hanya mengganguk pelan.

“Kau bisa saja melompat empat sampai lima paragraf tanpa kehilangan satupun hal. Tidak ada yang menarik dari ini.” Sambungnya. “Sebelum mengambil buku ini, saya mencoba lihat beberapa ulasan di berbagai website, orang-orang menebarkan berbagai macam pujian: Indah lah, sangat mendalam lah, dan lain-lainnya.”

Aku berusaha tetap mengangguk walau tidak begitu paham juga.

“Saya rasa mereka hanya tidak berani saja untuk mengatakan kalau buku ini sebenarnya tidak semenarik itu. Padahal mereka tidak diminta sama Hemmingway untuk berkata-kata baik atas karyanya, kok.”

“Tapi, Mba tetap saja membacanya?” Tanyaku.

Ia terdiam sejenak. “Entahlah. Aku tahu aku masih membacanya. Dan, aku tahu, atau setidaknya sebatas yakin, bahwa tidak ada hal menarik setelahnya.”

“Dan, kau tetap membacanya.”

“Iya. Aku tetap membacanya.”

Kami berdua kembali terdiam. Belum semenit, perempuan yang di sampingku melanjutkan dengan nada yang agak sentimentil.

“Kau tahu, terkadang, seperti buku-buku yang membosankan, hidup di pinggiran kota tidak ubahnya seperti cerita-cerita tidak menarik yang ujungnya dapat tertebak; bangun tidur, makan kerja sampai malam, tidur kembali, dan begitu terus terulang; persoalan-persoalan yang tidak mau habis, dan kerumitan yang selalu memanjang tiap harinya, dan seterusnya, dan seterusnya.”

Perempuan itu berhenti sejenak, dan aku masih menatapnya lekat-lekat.

“Hidup akan terus begitu-begitu saja.” Gumamku.

“Namun, rasanya, melihat kesibukan jalanan kota, melihat pedagang kaki lima masih kuat untuk teriak, beradu dengan gema suara dari surau, membicarakan buku yang tidak terlalu penting juga,” katanya dengan imbuhan tawa yang tipis, yang membuatku diam-diam tersenyum, “sepertinya, di ujung hari, dengan segala cemas dan harap yang diangkut seharian, semua akan terasa baik-baik saja keesokanya, bukan? Dan kita akan terus mencoba menjalaninya.”

Aku mengangguk. Kami kembali terdiam.

Akhirnya bus datang, dan sebelum perempuan di sampingku beranjak, ia pamit ingin pergi duluan, dan aku menangguk, lalu dia menjauh. Selesai.

Ini akan menjadi hari yang sia-sia saja, bukan? Sama seperti hari-hari yang telah lalu dan akan datang, ia akan tetap bukan cerita yang menarik untuk diceritakan. Benar, bahwa sedari awal tidak ada hal menarik untuk diceritakan. Tetapi, untuk sesekali, keluar dari lingkaran setan itu bukanlah hal yang buruk.

Akhirnya bus datang, dan sebelum perempuan di sampingku beranjak, aku sempat meminta kontaknya. Ia tertawa dan berkata bahwa usahaku untuk mendekati perempuan asing tidak begitu buruk. Ia mengeluarkan telepon genggamnya, memperlihatkan nama pengguna media sosialnya, lalu masuk ke dalam bus. Bus berjalan perlahan, sambil mengeluarkan segumpal asap butek yang menyerupai ekor dan lenyap.

Hari ini, tidak ada hal yang menarik untuk diceritakan, dan, ketika membuka telepon genggam, aku mendapati ada 15 panggilan masuk dengan nama kontak “Bos Kampret”, dan tambahan nomor perempuan tadi. Cerita selesai.

***

kemal fasas
kemal fasas Menulis omong kosong yang ada apanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email