.

Mata yang Menenggelamkannya

Gielang Bina

6 min read

Mayat itu telah mengembung dan terbujur kaku. Seluruh tubuhnya pucat dibasahi air laut, beberapa bekas luka tembak yang menganga di dadanya sudah tidak mengeluarkan darah. Petugas Polisi Air yang berhasil membawanya ke dermaga, kini tengah mencoba untuk melepas sisa-sisa ikatan kawat yang masih melilit kain yang membungkus sebagian tubuhnya. Seluruh warga Kampung Muara yang sedari tadi telah berkumpul untuk menyaksikan kejadian itu, mencoba untuk merangsek mendekati mayat itu agar dapat melihat kondisinya dengan jelas. Mereka sama sekali tidak menghiraukan bau tak sedap yang menguar dari tubuh mayat itu.

Ketika petugas kepolisian yang dibantu oleh beberapa orang warga berhasil melepaskan kawat dan seluruh kain yang membelenggu mayat itu, ditemukan beberapa batu bata yang terbungkus bersamanya. Warga yang melihat kejadian itu lantas bereaksi macam-macam. Ada yang berulang kali menyebut istigfar, ada yang menjerit diselingi isak tangis, ada yang membisu seakan tak percaya. Namun, yang paling menarik perhatian adalah kedatangan seorang wanita yang berlari menembus kerumunan massa dan langsung memeluk mayat itu.

“Astagfirullah, Pak. Jangan pergi, Pak!” berulang kali wanita itu mengucapkan kalimat yang sama, sambil mengguncang-guncang tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

Bagai disambar petir, seketika seluruh warga yang menyaksikan kejadian itu mulai membisu. Hanya terdengar isak tangis dari wanita itu dan suara deburan ombak yang mendobrak-dobrak dermaga. Beberapa orang mulai mengelap air matanya yang tak sengaja jatuh karena terbawa oleh suasana duka yang tengah berkuasa.

***

Hari beranjak petang, lelaki itu masih terlihat di sebuah warung kopi yang lantainya becek akibat pasang air laut yang menggenang sejak siang. Dengan mata yang siap untuk menenggelamkannya, aku perhatikan lelaki itu tengah mengambil semut yang tak sengaja terendam di kopi pesanannya, lalu meletakkan semut itu di meja dengan perlahan-lahan. Setelah menyeruput kopi pesanannya, lelaki itu mulai membuka mulutnya.

“Cari ikan makin lama makin sulit. Sekarang malah ada rencana proyek reklamasi. Lama-lama kita makin terjepit,” ucapnya dengan nada yang ketus.

“Ya, mau bagaimana lagi, Pak? Sudah berulang kali, kan, kita bolak-balik ke kantor wali kota menolak proyek itu. Tapi izin pelaksanaan perusahaan itu hanya ditangguhkan untuk sementara,” ucap seorang pria yang duduk di sampingnya.

“Kita tetap mesti melawan, walau hasilnya belum maksimal. Kau tidak lihat tempat ini makin lama makin terendam?” ucapnya seraya mengentak-entakkan kaki ke lantai yang basah. Membuat sedikit cipratan dari air yang masih tersisa di sana.

“Kita cuma rakyat kecil. Apa kita masih bisa melawan perusahaan asing itu?” tanya pria yang duduk di sampingnya.

“Pokoknya minggu ini, sebelum pemerintah daerah memberikan izin resmi kepada perusahaan asing yang akan melaksanakan proyek itu, kita mesti melaksanakan aksi lanjutan di kantor wali kota. Aku akan minta bantuan kepada lembaga masyarakat agar mereka dapat memfasilitasi aksi kita,” jawabnya. “Yang penting kita mesti berani, berani, berani! Sekali lagi kita mesti berani untuk melawan,” tambahnya dengan nada yang makin keras, seakan ketika mengucap berani, dirinya dirasuki oleh kekuatan yang entah dari mana asalnya.

Sekali lagi, perkataannya itu membuat darah di dalam diriku makin mendidih. Berhari-hari aku bersama rekanku ditugaskan untuk mengawasi lelaki itu. Berhari-hari juga aku mesti menahan gejolak yang timbul di dalam diriku. Padahal, atasanku sudah berulang kali menginstruksikan kepadaku untuk segera melenyapkan lelaki itu, karena akibat kelakuannya, rencana proyek atasanku yang harusnya berjalan bulan lalu mesti tertunda karena pemerintah daerah menangguhkan izinnya untuk sementara.

Sebenarnya, orang yang bolak-balik ke kantor wali kota tiap hari Senin dengan membawa massa yang memprotes proyek milik atasanku itu hanyalah seorang nelayan kecil. Bukan hal yang sulit bagi kami untuk melenyapkan orang itu. Lelaki berperawakan pendek, kurus, dengan warna kulit sawo matang yang semakin matang akibat sinar matahari yang saban hari menyengat tubuhnya. Tetapi, orang yang biasa dipanggil Pak Dipa itu adalah orang yang omongannya selalu didengar oleh warga kampung. Sehingga, kami harus menunggu waktu yang tepat untuk melenyapkannya. Jika saja kami gegabah, bukan tidak mungkin akan mengundang amuk massa yang malah mempersulit atasanku untuk melancarkan keinginannya.

Selama bertugas, aku biasa mengamati kondisi suatu lingkungan. Dan biasa kutemui, kebanyakan warga yang bermukim di suatu perkampungan memiliki ikatan yang solid karena mereka merasa senasib sepenanggungan. Tapi, kebanyakan dari mereka hanya bergerak mengikuti arahan dari beberapa orang yang dituakan di kampung itu. Jadi, ibaratnya seekor ular, jika kami berhasil menebas kepala ular itu, tubuh dan ekornya masih bisa memberontak. Tapi, takkan lama tubuh dan ekor itu akan kehabisan tenaga dan kehilangan tujuannya.

Setelah berbulan-bulan kami mengawasi Pak Dipa, di sisa waktu seminggu sebelum ia melancarkan aksinya, kami berhasil menemukan waktu yang tepat untuk melenyapkannya.

Waktu itu Kampung Muara tengah diterpa oleh angin yang teramat kencang. Beberapa warga yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, mengurungkan niat mereka untuk pergi melaut. Tapi, tidak dengan Pak Dipa. Malam itu ia tetap bersikeras untuk pergi melaut. Bagi orang yang hampir seumur hidup waktunya dihabiskan dengan melaut, angin hanya sebagian  kecil rintangan yang tidak akan menyurutkan nyalinya.

Sehabis berpamitan dengan istrinya, Pak Dipa berjalan ke dermaga, tempat di mana dia menambatkan perahu kayu miliknya. Dengan perlahan aku membuntutinya dari arah belakang. Waktu itu aku yakin hanya ada kami berdua yang berjalan menuju ke dermaga, karena kebanyakan warga sedang berlindung di rumah mereka yang rata-rata dinding dan atapnya berbahan seng yang memekakkan telinga ketika ditiup oleh angin malam.

Setelah dia berlayar agak jauh dengan perahu kayunya, aku menelepon rekanku yang akan menjemputku dengan sebuah perahu motor di dermaga itu. Rekanku datang dari dermaga yang berbeda agar tidak menimbulkan kecurigaan. Rencananya kami akan membiarkannya melaut agak jauh melewati perairan teluk, dan ketika dia sampai di sana, perahu kami akan merapat ke perahunya agar kami berdua bisa melompat dan menangkapnya.

Rencana itu telah kami siapkan dengan matang. Namun, laut seperti sedang memain-mainkan perahu kayu itu. Untuk waktu yang lama, perahu kayu itu masih saja terombang-ambing di perairan teluk akibat angin kencang yang kini ditemani rintik-rintik gerimis. Kami tidak mungkin membatalkan rencana itu, karena waktu itu kami sudah seperti burung hantu di malam hari yang tinggal mencaplok mangsa yang ada di depan mata. Terpaksa kami mesti menjadi burung yang sedikit bersabar dengan membuntutinya secara perlahan dari belakang, agar tidak kehilangan jejaknya yang kini semakin dikaburkan oleh rintik hujan yang mulai berintensitas sedang.

Setelah hampir dua jam, baru perahu itu melewati perairan teluk. Tanpa tedeng aling-aling, rekanku langsung menarik gas dan merapatkan perahu motor kami ke perahu kayu itu. Lalu ketika perahu kami telah merapat, dengan menggunakan topeng seibo, kami berdua lompat berpindah ke perahu itu. Waktu kami merangsek ke perahunya, Pak Dipa sudah bersiap untuk membela diri, dia menenteng sebuah golok yang biasa digunakannya untuk membersihkan sisik ikan tangkapan.

Rekanku lantas menodongkan pistol ke arahnya seraya berkata, “jangan bergerak! Letakkan golok itu, atau kami akan menembak kepalamu!”

Aku sempat melihat kakinya gemetar ketika rekanku menggertaknya. Namun, tak lama dia kembali menguasai dirinya, dan malah balik memaki, “mau apa kalian? Meskipun kalian menggertakku dengan pistol itu, tidak akan kujatuhkan golok ini sebelum berhasil mengenai leher kalian!”

Kami yang mendengar jawaban itu sempat tertegun beberapa detik, karena baru kali ini kami melihat orang yang hanya bersenjatakan golok berani menentang kami yang bersenjatakan pistol. Biasanya target yang kami temui akan memelas jika sudah kami todongkan pistol ke arahnya. Tapi tidak dengan Pak Dipa, dia tetap berdiri menentang seperti perkataan yang sering dilontarkannya, “berani! Sekali lagi berani!”

Kami berdua tidak mengira dia akan bereaksi seperti itu. Memang, sebelum atasanku menyuruh kami untuk melenyapkannya, kami sudah melakukan serangkaian teror kepadanya melalui surat kaleng yang kami lempar ke teras rumahnya. Di surat itu kami menggunakan kata-kata yang mengintimidasi, dan mencoba mengancam akan membunuhnya jika dia tidak memberhentikan aksinya itu. Tapi, surat itu baginya hanya sekadar kertas lusuh, dan teror yang kami lakukan hanya dianggap angin lalu.

Setelah memaki, dia mulai melangkah menghampiri kami. Dia mengacungkan golok miliknya, dan membuat gerakan seakan ingin menyabet leher kami. Cerobohnya, rekanku yang terpancing dengan gertakan itu mulai menembak tepat di dadanya. Tidak hanya sekali, berkali-kali dia menembaknya, tapi luar biasanya Pak Dipa tidak mau roboh juga. Malah dia masih sempat melempar golok miliknya yang berhasil mengenai dada rekanku. Untungnya, hanya bagian gagangnya yang terbuat dari kayu yang mengenai dada rekanku. Setelah melakukan perlawanan terakhir yang tidak berarti itu, akhirnya dia roboh dengan luka yang menganga di dadanya, yang telah mengucurkan banyak darah.

“Goblok!” kumemaki rekanku. Karena noda darah di perahu itu dapat menimbulkan jejak yang dapat tercium oleh petugas Polisi Air yang biasa berpatroli di perairan sekitar teluk. Untungnya, air hujan segera menyapu noda darah itu. Dengan segera, jasad itu kami angkat menuju kapal kami. Lalu setelah rekanku berhasil membersihkan sisa-sisa noda darah di perahu kayu itu—yang dengan mudah dihapus oleh air hujan—kami lantas menjauh dari lokasi perahu itu. Kami membawa jasad itu berlayar menuju laut lepas.

Namun, rencana itu mesti kami batalkan. Angin yang awalnya berpihak kepada kami, kini malah berbalik arah menyulitkan kerja kami. Karena tidak ingin mengambil risiko, kami terpaksa membawa jasad itu ke perairan gugusan pulau tak berpenghuni yang terletak jauh dari teluk. Sesampainya di sana, ditemani angin kencang dan hujan yang makin deras, kami mulai membungkus jasad itu dengan kain putih, dan menyisipkan beberapa batu bata dalam kain itu sebagai alat pemberat. Lalu, kami melilit sekujur tubuhnya dengan kawat agar kain yang membungkus tubuh itu tidak mudah lepas. Menurut rekanku, selain memiliki ikatan yang erat, kawat baja juga dapat memberi beban tambahan untuk menenggelamkan jasad.

Setelah terbungkus dan terikat dengan rapi, aku menyuruh rekanku untuk mengangkat bagian tubuhnya, sedang aku mengangkat bagian kakinya. Kami berdua bersiap-siap untuk melemparkannya. Dengan badan yang sudah kuyup seluruhnya, kami berhasil melemparkan jasad itu pada hitungan ketiga. Seketika bunyi byur dan cipratan air laut mengenai pinggiran perahu kami. Dan dari atas perahu aku masih sempat mengawasi jasad itu dengan mata yang baru saja menenggelamkannya.

***

Matahari mulai merekahkan sinarnya. Membelai laut yang tenang setelah semalaman suntuk tak bosan-bosannya mengamuk. Sebuah perahu kayu terombang-ambing tanpa awak ditemukan oleh petugas kepolisian air yang biasa berpatroli di perairan sekitaran teluk. Awalnya mereka mengira nelayan pemilik perahu itu tengah menyelam mencari ikan. Tapi ketika mereka menaiki perahu itu, tidak ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Seluruh perlengkapan untuk menangkap ikan terlihat lengkap dan tiada menimbulkan kecurigaan di antara mereka, termasuk golok yang terlihat tergeletak begitu saja. Mereka menduga pemilik perahu itu adalah salah satu warga yang tinggal di Kampung Muara. Lantas selepas mengecek seluruh isi perahu, mereka mulai memberitakan kehilangan itu ke pos polisi di Kampung Muara.

Angin laut mulai meniupkan kabar duka ke Kampung Muara. Dengan cepat berita kehilangan seorang nelayan mulai menyebar ke seluruh penjuru kampung. Di gang-gang sempit yang tergenang, di warung kopi, di dermaga, orang-orang mulai menebak-nebak identitas nelayan itu. Namun, dengan mudah mereka dapat mengenalinya dari ciri-ciri perahu yang mulai diberitakan.

Tak salah lagi, nelayan itu adalah Pak Dipa yang kemarin memutuskan untuk tetap melaut menantang angin. Mereka dapat mengenalinya dari tulisan yang ditulis menggunakan cat minyak berwarna merah di badan perahu itu. Tulisannya begini, “Berani, Berani, Berani, Sekali Lagi Berani!”

Tulisan yang tampak seperti wasiat kepada seluruh warga di Kampung Muara.

 

Cibubur, 29 November 2021

Gielang Bina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email