Aku ingin sekali bercerita kepada semua orang bahwa selama ini ada peti mati terkubur di antara sel-sel otakku. Peti mati itu berisi hantu. Hantu itu begitu menyeramkan. Saking menyeramkannya, kubiarkan peti mati itu lapuk dalam ingatan.
Sudah lima belas tahun lamanya.
Seharusnya peti itu telah hancur menjadi debu. Aku tidak ingin mencoba-coba untuk menyentuhnya kembali. Karena seandainya jika peti itu hancur, hantu itu malah akan semakin hidup dan mencabik-cabik seisi otakku.
Namun, beberapa hari yang lalu peti mati itu malah tersentuh oleh orang lain. Peti yang rapuh itu hancur berantakan. Hantu itu bebas dan terbang di antara setiap syaraf otakku. Ia merusak segala kedamaian dan kebahagiaan. Ia mencabik-cabik dinding tempurung kepalaku. Ia melolong panjang di kala malam. Ia begitu menakutkan.
Aku tidak berhenti menangis selama seminggu. Enggan makan. Enggan tidur. Kini, aku sudah seperti mayat hidup. Hantu itu menyerangku. Ia menyerang memori-memori indah, melahapnya, dan membakarnya. Kini yang kulihat adalah gelap yang tidak pernah berakhir. Setiap kilau cahaya yang masuk ke dalam retina perlahan-lahan redup dan mati.
*
Awal mula peti mati itu terbuka adalah saat aku dan Aryo pergi liburan ke sebuah pantai di pinggir selatan Jawa. Pantai itu tak bernama, terasing, sepi, magis, sekaligus romantis. Ada dinding karang yang tumbuh tinggi di sebelah kiri. Lautan begitu biru. Ujung riak ombak di atas pasir menyisakan buih putih yang halus. Tak ada satu pun perahu yang mengambang di lautan. Pokoknya, semua yang kulihat adalah warna biru. Tenang. Bersama Aryo di sisiku.
“Rasanya kayak déjà vu. Aku kayak pernah lihat pantai ini. Entah di mana,” kalimat itu terucap begitu saja dari bibirku.
“Perasaanmu saja,” Aryo mencium keningku.
Kami menata kursi lipat dan mengeluarkan beberapa botol bir dan es krim dari cooler box. Lalu kami menatap lautan tanpa batas itu. Matahari sudah bersinar setinggi dada. Aku selalu senang ketika cahaya matahari sore itu membasuh wajahku. Lantas Aryo menepis poniku yang menghalangi wajah.
“Sebentar lagi kita akan menikah, Lea,” gumam Aryo sambil menoleh padaku.
Aku sayang Aryo. Ia sungguh berarti dalam hidupku. Bagaimana rasanya hidup tanpa Aryo? Sebuah ketidakmungkinan. Aryo adalah harta harun. Aku tidak bisa menyia-nyiakan setiap kebaikan yang terukir dari balik jari-jemarinya. Sudah empat tahun kami merajut kenangan bersama. Aku tidak mampu menghempaskannya begitu saja, memulai hidup baru, dan hidup begitu hancur dengan cara-cara yang indah. Hatiku sudah Aryo curi sepenuhnya sejak pertama kali kami berjumpa di koridor gedung itu.
“Jangan pernah sembunyikan sesuatu,” nasihatnya suatu hari.
Bagiku, Aryo adalah seorang penyelamat. Aku pernah salah jatuh cinta berkali-kali. Setelah patah hati yang ketujuh, Aryo membuatku bingung dengan keberaniannya. Di antara cahaya sore yang murung, Aryo masih tersenyum. “Kamu nggak akan menyesal sama aku.”
Ah, masa-masa itu begitu menenangkan. Aku kembali menatap Aryo dengan hangat. Angin yang berhembus kemudian mendekatkan kami berdua. “Aku nggak sabar menikah denganmu.”
Dia tersenyum. Jemarinya menyentuhku perlahan. Aku sedikit tertawa. Geli. Namun, Aryo menatapku berbeda. Pandangannya terasa begitu dalam dan tak berujung. Dia semakin mendekatkan badannya padaku. Jantungku berdegup begitu kencang dan aku bisa rasakan setiap tetes darah dalam nadiku berdesir. Aku tak kuasa menolak. Dia menyentuh bagianku yang lain.
Lalu, klik. Peti mati yang rapuh itu terbuka begitu saja. Lima belas tahun aku menguburnya kemudian terasa sia-sia. Hantu itu keluar dan bebas.
Aku bangkit berdiri dengan begitu cepat, menatap Aryo seperti orang kesetanan, dan menamparnya begitu keras. “Kamu tuh nggak pernah ngertiin aku, Aryo!”
Sementara Aryo yang terkejut dengan responku pun menatapku kebingungan.
*
Apa yang baru saja terjadi? Mengapa aku mendorong Aryo agar menjauh dengan begitu kasar?
Aku dan Aryo bukanlah pasangan konservatif. Kami banyak melakukan hal bersama-sama bahkan kami senang membuat pasangan lain iri. Kami senang panjat dinding, camping di hutan, jalan-jalan ke mall, mengobrol di sudut kedai kopi, atau berjumpa dengan teman-teman hingga larut malam. Namun, dengan kejadian yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu, aku merasa heran sekaligus bingung pada diriku sendiri.
“Kamu kenapa, sih, Lea? Kok tiba-tiba marah-marah tanpa alasan? Aku kan, nggak ingin menyakitimu?” Aryo membentakku.
Sore itu sudah berganti petang. Kami berdua duduk di dalam mobil di sebuah sisi jalan yang sunyi. Deburan ombak tidak lagi terasa menenangkan sekarang. Suasana kian canggung. Deru nafas Aryo membuatku ngilu. Gilanya lagi, ada yang bersenandung di otakku. Hantu yang baru bebas itu.
“Kamu kok nyentuh aku nggak minta izin dulu, sih? Aku kaget, Yo!”
“Aku kan sayang kamu, Le. Kenapa reaksimu berlebihan seperti itu?” balasnya tak kenal ampun. “Selama ini kan kita pegangan tangan biasa saja?”
Aku menggeleng-geleng kepala. “A-aku nggak t-tahu….” Air mataku jatuh.
Aku mencoba meraih wajahnya dan hendak menciumnya. Namun, ia segera menolak dan malah mendorongku menjauh. “Aku nggak ngerti sama kamu. Sudahlah, kita pulang ke Bandung saja. Kita bahas lain kali.”
Hantu itu menertawakanku. Gemanya membuatku ingin muntah. Dia berbisik-bisik di benakku, kamu tidak pernah layak untuk siapa pun.
*
Hari demi hari, hantu itu bertingkah semakin gila. Bisikan hantu yang semakin buas itu membuatku merasa begitu menyedihkan. Lamunanku membawa ingatanku pada sebuah mimpi singkat yang telah kulupakan sejak lama. Entah mengapa, mimpi itu terasa begitu utuh. Tidak ada satu keping pun yang hilang. Aku berbincang dengan hantu itu di beranda rumahku. Di sana, aku bisa menatap wajahnya dengan sangat jelas.
“Andai saja kamu sudah besar,” ujar hantu itu.
“Andai saja aku tidak pernah berjumpa denganmu,” balasku dengan sinis.
“Aku tercipta dari tanah,” gumamnya.
“Aku juga. Lantas, mengapa kamu begitu hina? Apa tanahmu itu tercampur dengan tahi?” ejekku.
Dia berlari menghampiriku dan hendak mencekikku. Kurasa ia hendak menghabisiku. Begitulah percakapan singkat antara aku dan hantu di alam mimpi yang membuatku langsung terbangun seketika. Aku lupa kapan aku mengalami mimpi itu. Mungkin di malam saat keesokan paginya aku mendapati bulan tumpah di atas ranjangku untuk yang pertama kalinya.
*
Seminggu setelah pulang dari pantai, aku masih terus sibuk bergelut dengan hantu itu. Dia tertawa-tawa mengejekku penuh kemenangan. Lantas aku memandang diriku sendiri di depan cermin dengan perasaan jijik. Ada angin dingin yang berhembus setiap kali aku menangis. Hal-hal abstrak itu berbaur semakin acak. Perasaan tak layak, motor tua, kemarahan, pria berjari sebelas, tanda tanya, dan seragam merah putih. Semua itu membuatku nyaris gila.
“Say it!” bentak Aryo tak tahan lagi.
Bibirku bergetar. Telapak tanganku dingin. Lima belas tahun itu berlalu bagai kaleidoskop. Bagaimana aku harus menjelaskannya?
Sementara itu, Aryo sudah jengah dan ia menatapku dengan marah. “Lea, aku lagi nggak bicara sama patung, ya!” teriaknya sambil memukul setir mobil.
Aku memejamkan mata. Kilas balik itu begitu menyiksa. Hantu itu semakin tertawa.
“Lea!”
“Aryo, kumohon jangan desak aku. Ini sulit buat aku,” balasku dengan seruan keras.
Aryo tertegun ketika akhirnya mendengarku berbicara.
Bibirku masih bergetar. Lidahku kelu. Gema tawa hantu itu terdengar lagi.
Aku memejamkan kedua mata, “Yo,” gumamku pelan. Akhirnya. “Ini hal sulit yang sedang kuhadapi. Terserah padamu apakah kamu akan menganggap cerita ini khayalanku atau sesuatu yang memang pernah benar-benar terjadi padaku.”
Aryo mengangguk paham.
Aku menunduk di hadapannya dengan gugup.
“Tahun 2006,” bisikku. “Kejadiannya saat aku duduk kelas tiga SD, Yo. Dulu, jadwal sekolahku selalu rolling tiap minggu. Jika minggu ini aku masuk sekolah pagi, maka minggu depan aku akan masuk jadwal siang. Kamu tahu sendiri, orangtuaku sudah sibuk sejak aku masih kecil. Mereka menitipkanku pada seorang tukang ojek langganan agar aku bisa pergi dan pulang sekolah tepat waktu. Namanya Mang Ugun.”
Menyebut namanya saja aku merasa enggan. Wajah itu terlintas kembali. Aku muak. Nafasku naik turun. Aku marah. Hantu itu menertawaiku dengan puas.
“Setiap dia menjemputku pakai motor, d-dia sering menyuruhku untuk duduk di depan. Katanya, supaya aku dapat merasakan hembusan angin. Tapi dia berbohong,” aku menghela nafas berat. Ada perasaan malu yang bercampur dengan kekecewaan saat mengatakannya, “Dia terus menyentuhku di bawah sana. Di bawah sana. Bayangkan, Yo! Aku kelas tiga SD. Kejadian itu terjadi setiap hari selama berbulan-bulan!” seruku lalu menangis ketakutan.
Hantu itu terus bergema. Aku masih ingat setiap detail wajahnya. Bagaimana bisa aku lupa dengan hantu itu?
Aryo menatapku datar, tidak ingin menghakimi. Tapi dari raut wajahnya aku bisa menangkap segurat kecewa.
Tangisku pecah dengan begitu menyedihkan. “Dan kamu tahu yang lebih gilanya, lagi?” aku menatapnya nanar dan melanjutkan, “Aku baru mengerti tindakan Mang Ugun itu ketika aku kelas sembilan SMP! Saat Pak Dadan mengajari aku mata pelajaran biologi!”
Aryo segera memelukku sebelum aku benar-benar meledak.
Lima belas tahun yang lalu itu, aku belum paham apa yang terjadi padaku. Aku hanya ingat, bahwa duduk di bagian depan motor itu menyenangkan. Rambut basahku setelah keramas akan kering dengan begitu cepat karena angin bertiup kencang. Aku nyaris lupa jika pria dewasa itu pernah menyentuh sesuatu di antara kedua pangkal pahaku. Dia menekan-nekannya. Memainkannya seperti sesuatu yang lucu. Jemari salah satu tangannya yang berjumlah enam itu selalu menyelinap di balik rok merah baruku yang kedodoran. Sungguh, aku ingin dia tahu bahwa aku merasa kebingungan tentang apa yang kurasakan saat itu. Tapi, aku pun merasa bingung. Bagaimana cara menyampaikan perasaan bingung itu? Kebingungan itu terus berulang selama berbulan-bulan setiap harinya.
“Aryo, maafkan aku,” gumamku. “Itu adalah rahasiaku yang tidak pernah kuceritakan kepada orang lain, bahkan kedua orangtuaku. Aku memendamnya sendirian selama lima belas tahun.”
Aryo mengangguk paham.
“Selama ini aku merasa tidak bisa melindungi diriku sendiri dengan baik. Aku terlalu takut, Yo. Bahkan sebagian diriku menolak sentuhanmu. Itu semua sudah terjadi di luar kontrolku. Hantu itu membuatku takut. Hantu itu membuat marah. Hantu itu membuatku menanggung semuanya, bahkan hal-hal yang sulit kupahami. Aku… hanya bingung bagaimana cara menghadapinya.”
Aryo kembali menatapku sayu. Aku melanjutkan, “Lima belas tahun yang lalu. Siapa yang sangka? Ternyata itu adalah bom waktu. Aku hanya takut kamu akan meninggalkanku setelah kamu tahu semuanya.”
“Lea,” panggilnya sembari menatap kedua bola mataku lekat-lekat. “Mari kita ciptakan peti mati yang kuat, lalu kita kurung kembali hantu itu. Dia mungkin tidak akan pernah hilang dari dalam dirimu, tapi kita tidak bisa membiarkannya merusakmu terlalu lama.”
Aku kembali menangis.
Perlahan-lahan hantu itu kembali memasuki peti matinya, berbaring, dan tenang.
Untuk sementara waktu.
*
Siang itu, saat aku baru pulang dari supermarket, tak kusangka aku kembali melihat sosok Mang Ugun di pertigaan jalan menuju arah rumahku setelah dua puluh tahun lamanya kami tidak pernah berjumpa.
Rupanya ia belum mati, batinku.
Bagiku, sosoknya masih sama seperti dulu ketika ia memperlakukanku seperti boneka di sepanjang perjalanan dari atau menuju sekolah. Badannya tinggi tegap. Ia memakai jaket jins butut dan sandal jepit kumal. Aku tidak tahu di mana rumahnya dan siapa istrinya. Aku tidak pernah melihatnya menggendong seorang anak. Mungkin ia tak punya. Itulah alasan paling masuk akal mengapa ia melakukannya padaku. Dua puluh tahun lalu.
Pedofil, celaku dalam hati.
Kini ia terlihat semakin tua. Rambutnya sudah putih semua. Kulitnya terbakar matahari.
Dia masih akan terus berkeliaran di sana-sini, di sekitaran rumahku. Aku bisa berjumpa dengannya kapan saja karena dia belum benar-benar mati. Ia menjadi manusia hantu. Tak ada satu orang pun yang mampu memenjarakannya untukku. Bayangannya pulalah yang selama ini bersemayam di dalam sebuah peti mati yang terkubur di balik tempurung kepalaku. Aku terpaksa melihat wajah mesum itu setiap saat, di antara keramaian atau di antara kesendirian. Wajah itu tidak akan pernah benar-benar hilang.
Dua puluh tahun lamanya.
Ketika aku menutup pagar rumah, diam-diam aku menetaskan air mata. Kutatap anak perempuan pertama kami, Milly, yang kini telah berusia empat tahun. Anak manis itu terlihat berseri karena Aryo menerbangkannya di udara. “Mama!” panggilnya sembari tertawa. Tawanya terdengar seperti nyanyian surga.
Sebentar lagi dia akan masuk taman kanak-anak. Akan kupastikan ia selalu aman bersamaku dan tak ada duri-duri yang menusuk hatinya.
***
Bandung, 24 Januari 2022
Gila karena sih, mengangkat isu yg sering terjadi sebenernya tapi banyak orang bungkam karena dianggap hal sepele
Gila keren sih, mengangkat isu yang sering terjadi sebenarnya tapi sering dianggap sepele