Mantra Asmara

Munawir Mandjo

6 min read

Asmara memandangi sambil mengelus-ngelus perutnya yang buncit bagai Gunung Krakatau. Pancaran matanya suram, seperti tertutup awan mendung kekhawatiran. Sesekali ia memalingkan wajahnya ke depan cermin lemari yang berada di sisi kanan ranjangnya. Perutnya terlihat lebih besar. Kecemasan semakin mengisi kepalanya.

Ia berhenti mengelus perutnya ketika seorang lelaki masuk dengan wajah gusar. Lelaki itu duduk di sisi ranjang, mencengkrami rambutnya yang hampir menutupi seluruh jari tangannya.

“Aku sudah tak tahan! Aku sudah muak seperti ini!” ucap lelaki itu kesal.

“Ada apa lagi pak?” tanya Asmara dengan ekspresi datar seolah sudah membaca pikiran suaminya.

“Orang-orang itu selalu menyindir keluarga kita.”

“Ibu sudah pernah bilang, tak usah pedulikan mereka. Lagi pula mereka tak seperti yang bapak tuduhkan.”

Asmara paham jika suaminya terlalu berlebihan menafsirkan sikap orang-orang itu. Asmara yakin, orang di sekitar mereka sangat perhatian dengan kondisi keluarga mereka. Tidak sebaliknya.

Lelaki itu berdiri, menatap wajah istrinya dengan tatapan menantang kemudian berkata, “tak peduli bagaimana? Semua orang yang kutemui selalu mengolok-olok kita, bahkan dari mata mereka.”

Nasar berhenti sejenak, pandangannya jatuh ke perut istrinya. “Semua ini salahmu. Kamu yang melahirkan makhluk-makhluk mengerikan itu!”

“Bagaimanapun juga, mereka itu anak-anak kita. Aku tetap menyayangi mereka,” jawab Asmara dengan suara berat.

“Meskipun keadaan mereka seperti itu? Mereka itu monster, dan coba lihat perutmu, makhluk macam apa lagi yang akan keluar dari sana!” kata lelaki itu sambil menunjuk perut istrinya.

Air mata Asmara tumpah seketika. Melihat itu, suaminya kembali duduk di tempat semula, mencengkram rambutnya lebih kuat, dan telihat semakin frustrasi. Pandangannya kosong, seolah menyesali nasib keluarganya.

***

Sejak memutuskan menikah sembilan belas tahun lalu, mereka telah dikaruniai dua orang anak lelaki. Namun, keduanya terlahir dengan kulit hitam legam, mata seukuran buah lemon, mulutnya kecil seperti karang, dan dokter bilang, mereka juga terbelakang mentalnya.

Kenyataan itu menjadi pukulan bagi Nasar. Dan ia merasa jika keadaan itu menjadikan keluarganya sebagai bahan olok-olok bagi orang sekitar.

Saat berada di beranda rumah, Nasar merasa setiap orang yang lewat, berusaha mencuri pandang dan menertawakan dirinya. Pun saat ke luar rumah, ia merasa sekumpulan orang yang ditemuinya di sepanjang gang, sedang sibuk menyindir nasib keluarganya.

Nasar tentu saja membenci orang-orang itu, tapi tak kalah membenci keadaan keluarganya sendiri. Bahkan setelah mengetahui jika istrinya kembali hamil, membikin pikirannya semakin kalut, dan tak jarang berakhir pada pelarian terakhirnya: alkohol.

Beberapa kali Nasar berusaha membujuk Asmara agar menggugurkan janin di perutnya. Lebih tepat calon monster bagi Nasar. Beragam alasan ia lontarkan untuk meyakinkan Asmara, tetapi sedikitpun Asmara tak goyah.

Entah dengan cara apa, beberapa kali Nasar berusaha ingin membunuh janin itu tanpa sepengetahuan istrinya. Dan entah bagaimana pula semua percobaan itu gagal. Mungkin disebabkan oleh insting kuat seorang ibu yang selalu ingin melindungi anaknya, hingga membuat janin itu mampu bertahan.

Berkebalikan dengan Nasar, Asmara yakin jika apa dituduhkan Nasar tentang orang-orang di sekitar mereka tidaklah demikian. Asmara merasa mereka sangat perhatian dengan keadaan keluarganya. Tak jarang mereka membawa makanan, atau datang untuk sekadar menanyakan kabar jika seharian Asmara tak nampak di luar sekitar gang rumahnya.

***

Asmara paham betul, jika apa yang menimpa anak-anaknya, merupakan konsekuensi yang harus ia bayar untuk menaklukkan hati Nasar. Masih terang di kepalanya, bagaimana Nasar, membikin hatinya berkecamuk sejak pandangan pertama. Menjaga penampilan dan perilaku, selalu diusahakan Asmara demi menaklukan hati Nasar.

Namun, berselang beberapa bulan, kenyataan pahit bagi dirinya muncul setelah mengetahui jika hati Nasar tidak untuknya. Serasa puluhan tombak menghujam dirinya. Hatinya babak belur dan menanggung rasa sakit yang teramat dalam.

Kesakitan itu menarik pikirannya ke silam, saat harus menerima kenyataan ketika kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dengan kondisi mengenaskan. Kematian kedua orang tuanya membuatnya jadi sebatang kara, Asmara lantas hidup bergantung kepada sang Nenek.

Rasa sakit terhadap penolakan, membuat Asmara kehilangan semangat hidup. Hari-harinya suram, dan hanya sibuk mengurung diri di dalam kamar. Kian hari tubuhnya menyusut. Sang Nenek yang tidak mengetahui sebab kesedihannya, merasa khawatir akan kondisinya.

Hingga suatu waktu, sang Nenek berhasil menemui Asmara dengan kondisi memprihatinkan. Pemandangan Itu membikin hatinya ambruk. Sang Nenek tak bisa membanyangkan jika ia harus kehilangan lagi seseorang yang ia sayangi. Ia kemudian memutuskan menawarkan sebuah mantra mujarab yang bisa membuat hati lelaki takluk.

Tapi mantra ini tentu tak bebas risiko. Sebab, segalanya butuh proses dan sesuatu yang menolak proses pasti punya dampak buruk. Neneknya paham betul akan risiko itu. Namun, melihat kondisi Asmara, tentu tidak ada pilihan lain baginya. Tetap membiarkan Asmara tenggelam dalam kesedihan yang mendalam hanya akan menggerogoti hidupnya secara perlahan.

Asmara paham konsekuensi yang harus ia bayar setelah si Nenek menceritakan soal khasiat mantra itu. Ia tak gentar. Satu hal yang penting: menaklukkan hati Nasar. Syarat kerja mantra itu sederhana, hanya menyiapkan foto dan barang pribadi milik target.

***

Di atas ranjang ketika malam menyisakan kesunyian di balik tirai jendela, dan di ujung langit sana sinar bulan tampak penuh, Asmara duduk bersila sembari memantapkan niat. Sosok Nasar melintas di kepalanya: parasnya, senyum manisnya, juga kenyataan jika tak ada cinta untuknya, saling berkelebat.

Pikiran itu menumbuhkan rasa benci pada Nasar. Tapi, sebentar kemudian, rasa benci itu berbalik pada dirinya. Ia membenci dirinya yang kurang menarik di mata Nasar.

Namun, setelah menggunakan mantra ini, segala pasti akan berjalan sesuai harapan, pikirnya. Ia sangat yakin mantranya akan berhasil, karena seperti itulah cara kerja sebuah mantra. Perlu keyakinan.

Asmara mulai menjalankan ritualnya. Ia megambil posisi duduk paling nyaman. Memandangi foto Nasar di tangan kanan, sedangkan di tangan kiri memegang botol air mineral yang berisi potongan kecil bagian handuk Nasar. Handuk yang dulu ia ambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Selanjutnya merapalkan mantra dengan sangat khusyuk.

langit-langit penguasa bumi! 
langit-langit penguasa bumi! 
dengar-dengarlah! o suara ini!
demi cinta yang suci! o demi cinta yang suci! aku rela mengorbankan diri!

Hadir kembali sosok Nasar di pikirannya: wajahnya, sinar matanya, senyumnya, serta rasa ingin memiliki teramat kuat, saling berkelebat.

Dalam kekusyukannya, ia membayangkan mantra itu seperti sebuah benang halus yang menghubungkan antara dirinya dan Nasar. Ikatan kuat yang tak bisa diputuskan. Ia melakukan segalanya, persis seperti anjuran sang Nenek.

Setelah mantranya selesai, ia menaruh foto Nasar. Tangan kirinya mengambil alih botol air mineral yang sudah dirapalkan mantra. Dituangkan sedikit dengan sangat hati-hati air itu ke jari tengah dan telunjuk tangan kanannya, seolah sedang memindahkan cairan ke lubang mulut botol yang berukuran lebih kecil. Merasa takarannya cukup, Asmara membasuh kedua alisnya dengan air yang sudah ia tuangkan ke jarinya. Kemudian melakukan hal serupa kepada foto milik Nasar.

Setelah merasa yakin tak ada satupun rangkaian ritual yang terlewatkan. Ia menyimpan botol mineral ukuran sedang itu di bawah ranjangnya. Foto milik Nasar ia pandangi sebentar. Diciumnya, sebelum menaruhnya di bawah bantal tidurnya.

Asmara berbaring di bawah selimut. Matanya menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih kusam, dengan serangga kecil yang beterbangan di sekitar lampu. Pikirannya pun berseliweran hingga mengantarkannya pulas.

Di dalam tidurnya, dia melihat dirinya seperti lampu. Memberi kilauan. Dan Nasar selayaknya serangga yang tergila-gila dengan kilauan itu.

Dan benar saja, seminggu kemudian, salah seorang sahabat Nasar datang bertandang untuk menyampaikan bahwa sudah lima hari Nasar terkulai di rumah sakit dan terus-menerus mengigau, menyebut nama Asmara. Mendengar itu, Asmara khawatir sekaligus merasa bahagia setengah mati, sebab menduga mantranya sudah bekerja. Ia kemudian bergegas menemui Nasar.

Setahun sejak pertemuan di rumah sakit itu, Nasar yang sudah bekerja sebagai pegawai di kelurahan memutuskan menikahi Asmara.

***

Nasar berdiri melangkah menuju lemari cokelat yang berada di hadapan Asmara. Membuka lemari. Tangannya bergerak cepat, menyibak satu persatu dan melempar pakaian yang tersusun rapi di rak.

Nasar terus menyibak satu-persatu isi lemari

“Bapak cari apa?” tanya Asmara kebingungan.

Tangan Nasar berhenti ketika menemukan amplop cokelat, bersamaaan ketika Asmara baru menyadari akan hal itu.

“Mau diapakan uang itu? Kembalikan! Itu untuk biaya persalinku!”

Nasar berjalan cepat meninggalkan Asmara. Asmara mengejar, tangannya yang satu menopang isi perutnya dan satunya ia gunakan untuk meraih benda di sekitarnya demi menyeimbangkan beban tubuhnya.

Nasar terus berjalan tanpa memedulikan Asmara. Setiap langkahnya mengeluarkan bunyi ketukan dengan irama cepat, saat pantofel hitam yang Nasar gunakan menghantam lantai tegel putih yang hampir terpasang di seluruh bagian dalam rumah. Di ruang depan, sepintas Nasar melihat kedua monster kecil itu sedang takzim di depan layar televisi menyaksikan sebuah acara kartun, kemudian berlalu pergi. Di belakang, Asmara tetap berusaha mengejar Nasar dengan tenaga yang masih tersisa.

Pada ambang batas pintu, Asmara roboh. Ia merintih kesakitan. Cairan merah mengalir dari sela selangkangannya sementara di ujung gang sana, tubuh Nasar telah lenyap.

Kejadian itu membegal perhatian kedua anaknya lantas membuat mereka berjalan ke ambang batas pintu. Melihat ibunya yang telah bergelimang darah, keduanya menjerit dan menangis.

Asmara merintih kesakitan. Ia berteriak semampunya untuk meminta pertolongan. Orang-orang yang mendengar suara di siang tenang itu, lantas segera memberi bantuan dan membawa Asmara ke rumah sakit. Meninggalkan bau anyir dan kedua anaknya yang masih berdiri di ambang batas pintu.

***

Delapan jam lebih Asmara berjuang di kamar bersalin, hingga akhirnya dokter berhasil mengeluarkan bayi itu dengan selamat.

Mendengar tangis anaknya, perasaan bahagia sekaligus takut bercampur aduk. Jantungnya berdebar dan seperti tertarik perlahan. Ia seolah merasakan seperti sedang berdiri di sebuah bibir tebing. Rasa penasaran kian bersarang di dadanya. Kekhawatiran akan sosok anaknya tumpah ruah di kepalanya.

Ketika dokter menunjukkan bayinya. Guncangan besar itu hilang seketika. Tak ada lagi rasa yang bercampur aduk. Tak ada lagi debar jantung yang menderu. Semuanya menguap. Menyisakan rasa suka cita yang teramat dalam. Air mata Asmara menerobos tak tertahankan

Anaknya terlahir dengan kulit sebening mutiara, matanya indah, dan bibirnya semerah buah delima.

Dalam situasi berbahagia itu, tiba-tiba datang seorang tetangga Asmara sambil memasang wajah tegang. Ia memandangi Asmara, kemudian beralih ke sosok bayi manis itu. Sambil mengatur napas, bibirnya bergetar.

“Mara…,” kalimatnya tersangkut di tenggorokan. Ada perasaan tak tega di situ.

Asmara kebingungan melihat kelakuannya. Orang itu mencoba mengendalikan diri sambil mengatur napas kembali.

“Asmara…, suamimu…,” air muka Asmara mulai berubah. “Suamimu…,  kecelakaan. Tubuhnya terbakar bersama kendaraan yang ia gunakan.”

Dalam sekejap, terasa puluhan tombak menancap tepat pada jantung Asmara. Ia tak mampu mengedalikan diri, lantas segala segera berubah gelap di matanya. Di sampingnya, bayi kecil manis itu tampak tersenyum indah. Seindah pancaran sinar bulan malam itu, yang tampak penuh di ujung langit sana.

“Demi cinta yang suci! O demi cinta yang suci! Manusia rela mengorbankan diri! Tapi! O tapi! Bapak tak pernah layak mendapatkan pengorbanan seperti ini! Pengorbanan ini! Manusia seperti bapak hanya layak untuk mati! Mati! Mati!” gumam kedua bocah dengan mata sebesar buah jeruk itu, seraya menyaksikan tubuh Nasar terbakar di jalanan itu.

***

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email