Mampus Kita Dikoyak-koyak Gengsi dan Puisi Lainnya

Iyad amanullah

1 min read

MAMPUS KITA DIKOYAK-KOYAK GENGSI

Akhir bulan lalu kau tunjukkan
brosur-brosur diskon menggiurkan
Skincare dan perhiasan
Hajat yang kemahalan
Itu kebutuhan atau keinginan?

Sedang lambungmu berdendang
Kuberikan bedak bayi dan ikat gelang
Dengan keki kau beranjak pergi
Selepas itu tak pernah kembali
Bila rasa tak saling memiliki
Bila cinta sebatas materi
Bila kau tak juga memahami
Bukan aku pelit untuk memberi
Lambungku juga mesti diisi
Jika nanti semua melambung tinggi
Mampus kita dikoyak-koyak gengsi!

KENANGA KUNING

Kuberikan kau kembang kenanga
Kenangan terakhir dari cinta
Jangan lagi ada yang merayu
Walau itu orang tuamu

Jika nanti ada sedan mengkilap
Jika tak suka, binasakanlah jadi asap

Dan kembalikan kenanga itu
Di bawah kibaran bendera
kuning yang membiru

SEMUT TANPA ANTENA

Terpojok tersandar sunyi
Berhenti menakar malu
Tak mampu seperti benalu
Diam seperti pengangguran
Bergerak dihenti keadaan
Hidup segan mati tak mau
Kejamnya waktu ukur sisaku.

Waktu menusuk-melukis luka
Di kaki langit diasingkan dunia
Aku meneroka tak tentu arah
Merangkak di atas serpihan kaca
Tercabik dan terkoyak masalah
Semua perjudian dan pengorbanan
Kompromi yang rusak-retak
Ini takdir, yang gigil—tak bisa mengelak.

BERITA ERUPSI KALI INI

Berita erupsi kali ini
Macan-macan saling tikam
Tersiar daun waru mewabah
Buat tunas-tunas bersemi
Berita erupsi kali ini
Siarkan tangis tanpa henti
Terkunci pintu kami dari luar negeri
Berita erupsi kali ini
Meletus di malam paling tiba-tiba
Ingar-bingar sampai ke ladang
Orang-orang bergentayangan
Patih-patih pada bungkam
Banyak serigala bertopeng dalang
Berahi cumbui wayang
Berita erupsi kali ini
Burung beo latihan bernyanyi
Untuk pentas dua tahun lagi

Semoga erupsi nanti
Yang hancur tumbuh subur
Semua tanaman bebas hama
Rakyatnya kekenyangan
Para petani kegirangan.

MENTENG-MANGGARAI

Atas nama pahlawan
di plang protokol jalan
Kami bukan yang berseragam
jingga di Senayan atau Kuningan
Melibas debu, puntung, daun,
ranjau paku, dan tahi urban.

Kami yang termenung di bantaran
Ciliwung antara Menteng-Manggarai
Di bawah gemerlapnya ibu kota
Melihat kau buang beraneka perabotan
yang tersangkut di besi-besi filtrasi
Kami bersihkan sisa-sisa ketamakanmu
itu meski kami belum makan dari pagi.

Kenang-ingatlah perjuangan kami
Menjaga kenyamanan matamu
Menjaga kenyamanan hidungmu
Menjaga supaya kau tetap nyaman
menjadi orang kaya.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Iyad amanullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email