Bar langganan kami terlalu ramai malam itu dan kami hanya memandangi orang yang lalu lalang, keluar masuk, mencari kemungkinan ada kursi kosong untuk mereka duduki bersama kekasihnya.
Di ujung ruangan terdapat meja dengan dua kursi yang kosong. Di atas meja itu berdiri vas kaca berisi tiga tangkai bunga merah, kursinya terlilit kain berbahan satin yang membentuk pita pada bagian sandarannya. Mungkin seseorang mempersiapkan kejutan untuk pasangannya.
“Kamu pernah seperti itu dengan kekasihmu?” aku menunjuk pojok itu.
“Kami tidak pernah ke bar.” Lelaki itu menjawab sambil melihat jam. Seperti memeriksa waktu yang tersisa sebelum kami sama-sama pulang.
Setelah berdiri di depan bar selama 30 menit dan mendapat kepastian bahwa orang-orang bahkan banyak yang berdiri karena semua kursi terisi, dia menawarkan apa sebaiknya kami mencari tempat lain yang lebih tenang.
Aku mengingat satu tempat yang selalu sepi karena aku lumayan sering mengunjungi daerah ini. Tapi aku tidak yakin tempat itu menjual alkohol, sementara obrolan kami akan sedikit canggung jika tanpa minuman.
Kami pernah memutuskan bertemu lalu mengobrol tanpa minuman. Tapi riwayat itu membuat kami merasa malu setelahnya. Percakapan, suara tawa, sorot mata sinis, kami tangkap lalu kami rekam dengan indera masing-masing.
Kami memiliki satu kaset imajiner yang khusus memuat pertemuan hari itu, termasuk percakapan rahasia di dalamnya. Kaset itu selalu kami putar di pertemuan-pertemuan selanjutnya, ketika kami sudah bingung ingin membicarakan apa. Ini juga cara kami mengurangi rasa malu masing-masing.
Mengingat ekspresi seseorang ketika sedang benar-benar ‘sadar’ hanya akan membuat kau sulit melupakan orang itu. Seseorang pernah berkata seperti itu.
“Seseorang pernah berkata seperti itu.” kataku, seolah aku sudah mengatakan kalimat dari orang itu kepada lelaki di hadapanku.
Lelaki itu menoleh cepat kepadaku yang berdiri di sebelah kanannya.
“Maksudnya?” ia bertanya.
Aku diam dulu, mencari-cari jawaban lain agar tidak perlu menjelaskan isi pikiranku yang tadi keluar tanpa permisi.
“Ada temanku berkata kamu tampan, setelah aku memperlihatkan fotomu.” Tentu aku mengarang cerita ini.
Lelaki itu tertawa.
Ketika dia tertawa, aku melihat pundaknya naik turun dan itu membuat bahunya terlihat lebih tegap dibanding ketika dia sedang tidak tertawa. Ia memiliki bentuk wajah lebih kotak dari bentuk wajahku yang berdagu panjang.
Aku berusaha mengingat-ingat jika ia memiliki bentuk mata seperti seseorang yang aku aku kenal, tapi aku selalu lupa itu mata siapa. Lalu bayangan seorang wanita bermata kecil mengacaukan lamunanku. Gara-gara perempuan itu aku pernah menendang polisi tidur yang mestinya bisa aku langkahi saja. Aku seperti hampir jatuh, tapi untung lebih dulu melompat. Kecerobohanku membuat lelaki itu lagi-lagi tertawa.
Kami akhirnya mendatangi tempat yang aku janjikan lebih tenang dari bar langganan kami yang biasanya. Saat memasuki tempat itu aku mengingat-ingat berapa rupiah uang yang kubawa, atau apakah kartu bank telah aku masukan ke dalam dompet.
Aku merasa selalu tidak enak hati, bukan karena selalu lelaki itu yang mentraktir, tapi karena kebiasaanku lupa membawa uang dan kartu bank mengakibatkan ia perlu mengantarku pulang, padahal aku selalu ingin datang dan pulang sendiri jika kami bertemu, seperti dia yang juga selalu datang pergi sendiri.
Jalan menuju rumahku tujuh kilometer dari daerah ini. Jika dia mengantarku pulang, berarti dia perlu kembali melewati daerah ini untuk sampai ke rumahnya. Ia menempuh jarak 25 km jika mengantar aku pulang, sebelum dia yang pulang.
Kami memilih duduk di kursi dengan sandaran yang sejengkal dari bahu. Ada kursi lain dengan sandaran yang lebih tinggi, ada juga kursi tanpa sandaran.
“Kenapa tidak duduk di sofa saja?” lelaki itu berdiri, menunjuk sofa di tengah ruangan.
Aku menggelang. “Aku tidak suka lampu di atasnya. Cahaya remang pasti akan membuat aku pusing.”
Lalu dia kembali duduk. Dia menggoyangkan tangan yang membuat karyawan restoran datang. Ia memiliki jari-jari lebih besar dan lebih panjang dariku, dengan kulit yang lebih cerah kekuningan. Aku hampir selalu merasa terintimidasi jika kami bertemu. Kulitku hampir semuanya berwarna cokelat kemerahan, kecuali bagian leher dan atas dada. Itulah mengapa aku selalu membuka dua kancing teratas dari kemejaku, dengan kerah sedikit terbuka, untuk menunjukan kepadanya bahwa tidak semua bagian tubuhku berwarna cokelat.
Tapi ia tidak pernah mengatakan apa pun tentang bentuk tubuhku dan warna kulitku. Ia membuat kesan sopan hingga pertemuan kami yang keempat pada bulan lalu. Kesan sopan itu hilang ketika aku mengucapkan “dadah!” dari teras rumah. Bukannya benar-benar pulang, ia justru turun dari motornya dan mendatangiku dengan pelukan yang rasanya hangat.
Aku tidak paham apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang dipeluk orang lain, tapi tanganku secara mandiri melingkar di lehernya, lalu turun ke bahu dan berhenti di punggungnya. Aku membuat gerakan menepuk-nepuk, seperti yang aku lihat waktu ayahku dipeluk kakak laki-lakinya ketika kakekku meninggal.
Tadinya aku mengira, keintiman kami berakhir pada sesi berpelukan saja. Tapi gemuruh napas yang aku dengar dan detak jantungnya yang aku rasa adalah penyebab besar kenapa aku berani mendaratkan bibirku pada bibirnya yang terkatup. Lalu ada seseorang dari dalam diriku yang merasa malu karena aku telah melakukan perbuatan yang keliru itu. Tapi, perbuatan apa yang keliru?
Aku menarik badanku dari badannya, napas kami terengah-engah. Aku selalu ingat tiap detik kejadian itu, karena yang pertama, aku bukan kekasihnya. Lalu yang kedua, dia milik kekasihnya.
Aku hampir menangis karena malu dan ketahuan jika saja malam itu teras rumahku tidak gelap. Tapi napas kami yang tumpah di lantai membuatku sedikit lega, kecanggungan kami terbuang di sana.
Dia lalu mengatakan bahwa dia akan benar benar pulang sekarang, aku beranjak dari hadapannya, tanpa mengucapkan selamat-selamat yang lain, aku menghilang ke dalam rumah.
Malam itu kami membekaskan riwayat yang memalukan di dalam diri masing-masing. Dan beberapa minggu setelahnya tidak ada percakapan yang mengambang di ruang obrolan kami berdua.
Kemarin malam pukul delapan ia mengatakan bahwa kami perlu bertemu lagi dan berjanji akan bercakap-cakap saja. Aku senewen dengan kata ‘saja’. Apa yang dia maksud dengan ‘saja’?
Demi menghemat tenaga, pesannya aku balas dengan “iya”. Ia lalu melakukan inisiatif yang biasa aku pelihara, menentukan kami akan bertemu di mana dan jam berapa.
***
Karyawan restoran datang membawa pesanan kami. Untunglah mereka memiliki minuman yang rasanya lumayan. Kami memesan satu drum whisky yang menurut temanku akan enak jika dicampur perasan lemon dan cola meskipun tanpa es batu.
“Kau ingat bagaimana mulanya kita berkenalan dan memutuskan bertemu?” Dia tiba-tiba saja bertanya, sembari menuangiku racikan ala-nya: satu sloki whisky dan masing-masing setengah gelas perasan lemon dan cola yang ia tuang ke gelas berkaki tinggi, sebelum diaduk dengan stirrer stainless steel.
“Seseorang menggunakan fitur sosial media untuk menyukai sebuah unggahan dan mengikuti pengunggahnya. Pengunggahnya mengikuti balik karena merasa sayang melewatkan akun perempuan. Butuh waktu berbulan-bulan untuk mereka menyadari, bahwa ada waktu-waktu yang perlu dibunuh demi menemui orang asing.” Selesai bicara, aku meneguk isi gelas dengan sekali gerakan.
Sebelum membiarkan air racikan itu melewati kerongkongan, aku menampung mereka di dalam mulutku selama sepuluh hitungan, selama itu juga mulutku seperti dibakar oleh api yang panas, pedas dan meledak ledak. Tapi ledakan di mulut membuat minuman itu terasa seperti air saja ketika memasuki kerongkongan.
“Hahaha. Lalu kau ingat kita sudah berapa kali mengadakan pertemuan? Dan siapa yang pertama mengajak bertemu?” dia selalu lebih dulu tertawa sebelum berkata-kata. Aku tahu itu hanya pertanyaan retoris. Kami hendak memutar rekaman imajiner yang selalu kami bawa dalam setiap pertemuan.
Ia semacam punya kecenderungan menanggap siapapun sedang menghiburnya. Juga ketika ia mengobrol dengan temannya melalui panggilan video. Ketika temannya tidak menggunakan jurus melucu, dia bahkan tertawa, dan aku sedikit yakin dia mudah terhibur oleh apa yang orang lain katakan atau lakukan kepadanya. Ia seperti kesepian dan butuh banyak disapa orang.
Kalimat yang aku rangkai dengan hati-hati dan kuucapkan dengan penuh kesopanan, baginya adalah dialog srimulat yang konyol dengan ekspresi penuh kebodohan, dan aku selalu suka bahunya yang naik turun, tapi enggan menangkap suara dan ekspresi kebahagiannya karena itu selalu membuatku merasa gerah dan berkeringat.
“Ini bagian yang aku suka. Bercerita.”
Ia menggeser kursinya lebih dekat dengan kursiku, tangannya meraih rambutku yang terkuncir. “Seingatku, waktu itu kamu melemparkan pertanyaan ke mana aku biasa menghabiskan waktu di malam Minggu. Dan aku membuat lompatan dengan bertanya, ‘tidak ke mana mana, mau mengajak pergi?’ Setelah itu, selama sebulan sekali aku menyisakan satu malam Minggu dan menempuh jarak 10 km lebih untuk menemuimu, dan kita sudah menghabiskan lima malam Minggu bersama-sama, dua kali kita pergi ke bar, tiga kali dengan ini, dua kali lagi kita hanya minum kopi dan satu kali kita hanya minum teh di teras rumahmu. O iya, ketika minum teh itu sore dan bukan hari Sabtu. Aku terlalu bosan hari itu, sehingga tiba-tiba berada di muka rumahmu sepulang kerja.”
Aku tertawa mendengar dia bercerita. Dia mirip guru Bahasa Indonesia-ku saat SD. Dengan wajah nirekspresi, setiap kalimat yang dia keluarkan seperti seseorang sedang menerangkan sesuatu yang genting dan menyangkut urusan seluruh umat manusia.
Sesekali aku menangkap perasaan kaget dari wajahnya, karena selalu ada jeda dari satu kalimat ke kalimat lain yang dia ucapkan, dan itu membuatnya diam. Aku juga seperti itu, ketika berhati-hati untuk terlalu terbuka dengan seseorang.
“Tapi, selama lima pertemuan selain ini, aku selalu lebih sedikit berbicara. Sampai-sampai kamu protes pada pertemuan ketiga dan memintaku berbicara. Padahal alasannya, pertama karena aku lebih suka mendengarkan, dan kedua karena kamu terlihat lebih suka berbicara.”
Aku tertawa karena dia menyebutku cerewet dengan bahasa yang memutar. Rasa senang membuat tanganku menyentuh lengannya, mungkin bukan sentuhan, sebab tanganku berdiam di lengan itu hingga hitungan lebih dari tiga puluh. Dia pernah bilang, dengan bahasa yang juga memutar, bahwa intinya aku perempuan yang dominan.
“Aku mulai banyak berbicara saat pertemuan kita di teras rumahmu. Teh kombucha yang seasam cuka seperti mendorong mulutku untuk tidak pegal-pegalnya memproduksi kata-kata. Kau bahkan sore itu tampak mengantuk karena aku mengilhamimu dengan penjelasan mengenai empati yang membuatku berhati-hati ketika berbicara kepada siapa saja, termasuk kepadamu. Tapi aku kepeleset dan merasa terbakar juga ketika mendengar pertanyaan yang menyerangku, seperti saat kamu memastikan apakah aku sudah memiliki kekasih. Aku sampai perlu memperlihatkan foto kekasihku dari layar ponsel, yang lalu membuat matamu berkaca-kaca di pertemuan keempat. Tapi waktu itu, ada rasa puas karena seseorang yang bukan keluargaku menangis karenaku. Rasanya, ibuku bahkan tidak pernah menangis di depanku, bahkan ketika aku memutuskan sekolah di luar kota dan menjadi lebih berjarak dengan keluarga. Rasa puas itu lalu berubah menjadi rasa rindu yang membuat aku turun dari motor untuk memelukmu. Aku merasakan sesuatu yang panas yang mengalir dari badanku, mungkin darahku mendidih, mungkin darahmu juga. Dan aku masih ingat bagaimana bibir seorang perempuan untuk kedua kalinya mendarat di bibirku. Sayangnya, aku belum membalas kecupannya sampai dia menarik tubuhnya, dia sepertinya merasa malu dan menghilang ke dalam rumah. Aku menduga-duga bahwa hari itu seseorang bisa saja merasa malu sudah mencium seseorang yang bukan pacarnya, seperti rasa malu yang pernah aku pelihara setelah mencium seorang wanita yang bukan pacarku. Tapi rasa malu mungkin hanya akan berpindah dan mati lalu bangkit lagi. Setiap harinya kita akan melakukan hal-hal yang membuat rasa malu hidup lagi, lalu kita melakukan hal lain yang lebih memalukan daripada rasa malu yang sebelumnya. Seperti rasa malu kedua, ketiga dan keempat, yang aku lakukan pada istri temanku. Gara-gara rasa malu itu aku memutuskan pindah tempat kerja dan bersikap seolah-olah tidak pernah berteman dengan temanku, termasuk seolah-olah tidak pernah melakukan hal yang membuatku merasa malu dengan istrinya. Dan hidupku selama bertahun-tahun dipenuhi rasa cemas, takut, marah, lalu malu lagi dengan ukuran yang lebih besar dari rasa malu yang pertama aku sebutkan. Lalu rasa malu itu mengecil ketika mendengar berita temanku dan istrinya mengalami kecelakaan pesawat pada 2021. Kini rasa malu itu menjadi rasa bersalah dengan ukuran lebih besar daripada rasa tenangku. Aku merasa lingkaran rasa malu akan terus berputar di sekitarku, aku sekarang hanya kapok dan enggan memiliki rasa malu kepada seorang teman dan istrinya, atau siapapun yang pernah mengenalku.”
Dia meneguk gelas kelima yang ia racik sambil bercerita. Kini gelasnya kosong, drum di botol sisa setengah, air cola di botol kosong karena aku meminumnya dengan air perasan lemon. Tapi di matanya ada kaca, itu adalah genangan yang tertahan, yang akan turun dan membasahi pundakku. Ia memelukku, seolah agar aku tidak melihatnya menangis secara penuh dan aku tidak mampu menakar hal apa yang membuat ia merasa sangat malu kepada temannya dan istri temannya.
Aku merasakan bahunya bergerak naik turun di atas bahuku. Ia tidak tertawa, tapi aku juga tidak mendengar tangisnya. Aku hanya yakin, ia masih cukup tampan meskipun tengah menangis. Di sela-sela ia menumpahkan air mata di bahuku, aku lagi-lagi bingung harus membuat gerakan apa selain mengusap-usap punggungnya. Namun gerak tanganku lebih lambat. Aku ingin selambat mungkin mengusap bahunya, sebelum mendorong tubuhnya agar aku bisa melihat wajahnya, sebelum aku mendaratkan bibirku di bibirnya lagi.
Aku ingin sekali lagi menciumnya lebih lama dan pelan dan penuh kehati-hatian, juga dengan keberanian yang belum pernah aku tawarkan kepada laki-laki manapun. Aku meminggirkan batas moral tentang rasa malu yang dari tadi ia sebut-sebut, sebab hanya ini kesempatanku untuk mengatakan betapa dia telah mencuri waktu tidurku dan membuat perutku lebih lama merasa kenyang, sama dengan seberapa tidak teraturnya perasaanku untuk membentak dan mengingatkan diriku sendiri bahwa seminggu lagi dia akan menikah dengan wanita bermata kecil, yang berkali-kali membuat kakiku tersandung ketika mengingat-ingat wajahnya.
***
Editor: Ghufroni An’ars