Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Malam Dingin di Cigigir

Rafael Yanuar

11 min read

Setelah menyusun setumpuk boneka, lego, buku-buku, dan puzzle di sudut ruangan, Dita mengajak Sofia duduk di halaman. Gadis kecil itu langsung mengiyakan. Lagipula, Sofia sudah bosan bermain. Sudah tidur siang juga. Sebelum menutup pintu, Dita memandang jam Mikimos di dekat jendela. Hampir pukul 17.30. Biasanya jam segini Pak Hasan, ayah Sofia, sudah datang. Tapi kok telat, ya?

“Ke ruang guru, yuk. Mau naruh kunci. Ibu takut kalau sendirian. Gelap soalnya.”

“Ibu guru ‘kan sudah gede. Kok takut?”

“Orang gede enggak boleh takut, ya?” Dita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lucu juga disebut orang gede. Padahal tubuhnya mungil. “Tapi kalau sama Sofia, Ibu berani, kok.”

“Masa?”

“Hu’um. Soalnya Sofia kuat.” Dita tersenyum sambil mengangkat dua tangannya—berpose seperti binaragawan.

“Iya, deh, Sofia temani.”

Dita mengembuskan napas lega. Dengan menggandeng Sofia, Dita memasuki ruang guru.

“Benar, kan? Gelap. Sakelar, mana sakelar.” Dita meraba-raba dinding sampai dia menemukan benjolan persegi di samping pintu. Ceklik.

“Nah, begini ‘kan terang.” Dibukanya kotak di pojok ruangan, lalu digantungkannya kunci yang dibawanya di bagian yang ditandai kertas bertuliskan “ruang tunggu”—ruangan yang disediakan khusus untuk anak-anak TK yang terlambat dijemput orang tuanya. Sofia pelanggan tetap ruang itu.

“Nah, sekarang tinggal tunggu Papa. Yuk.”

“Yuk!”

Dita memadamkan semua lampu. Di lorong. Di ruang kelas. Di ruang tunggu. Di ruang guru. Gelap semua. Hanya lampu taman yang menyala. Dita tidak tahu cara memadamkannya, sebab lampunya menyala otomatis. Kalau suasana mulai gelap, dia nyala sendiri.

Seketika saja, ketika gelap membuana, lampu langit menyala satu per satu. Kelap-kelip bagai kunang-kunang.

“Twinkle, twinkle,” Sofia bergumam lirih.

Dita menepuk sisi kosong di sebelah tempat duduknya. “Sini, sini,” katanya.

Sofia pun duduk di sampingnya, di tanah lapang berumput hijau—di bangku bambu yang dinaungi pohon mangga berdaun lebar.

Karena suhu mendingin dengan cepat, Dita membungkus Sofia dengan jaketnya. Menyeletingnya pula.

“Aduh, kedodoran, ya. Sampai kaki. Lucu. Hehe.”

Sofia risih, tapi akhirnya luluh juga. Masih ada sisa hangat dari tubuh Dita di dalam jaket. Gadis kecil itu jadi merasa seperti dipeluk. Nyaman sekali. Mungkin begini, ya, rasanya punya Mama.

Kok dingin banget, ya? Untung pakai baju lengan panjang. Dita mengambil ponsel di tasnya. Astaga, sudah dua puluh derajat Celsius. Mungkin sebentar lagi jatuh di belasan. Dita mengetikkan sebaris pesan kepada Aya.

— Cici pulang telat lagi. Hiks.

Balasannya langsung datang.

— Enggak apa. Sofia kan?

— Iya.

Hujan yang turun hampir sepanjang hari membuat rerumputan jadi basah berkilauan, pun menggugurkan daun-daun di sepanjang jalan—bunga-bunga juga. Di mana-mana kamboja kuning berleraian. Syukurlah, jelang pukul empat sore, hujan mendadak reda dan tidak turun lagi hingga sekarang.

Seperti biasa, sehabis hujan turun deras, langit terlihat terang-benderang. Cerah sekali. Ribuan bintang berkilau bagai titik-titik permata. Sofia yang menyukai bintang-bintang memandangnya takjub. Matanya jadi ikut berkilau-kilau. Beda dengan yang ada di buku, ya.

Tentu saja.

“Yang itu seperti malaikat ya?”

“Yang mana, Bu?”

“Itu, sebelah sana—itu, itu. Rasi malaikat.” Dita menunjuk dengan jarinya. Namun, meskipun Sofia sudah menyipitkan matanya, tetap saja tidak terlihat di mana letak malaikat yang dimaksud Bu Guru.

Tunggu. Rasi malaikat? Memangnya ada rasi malaikat?

Dita mengeluarkan buku sketsa di tasnya, lalu membuat peta bintang dengan secepat kilat—tik tik tik, tuk tuk tuk. Hanya diterangi lampu taman, hebat juga Dita masih lihai menarikan pensilnya, tanpa sedikit pun ragu. Sat set sat set. “Nah, yang ini.”

“Oh.” Sofia masih tidak mengerti, tapi pura-pura paham.

Dita turun mendekati lampu taman. Sofia mengikutinya. Ditariknya garis, dari satu titik ke titik yang lain, dari satu bintang ke bintang yang lain, lincah sekali. Tadaaa—tiba-tiba saja ada gambar malaikat di atas kertas, lengkap dengan sayapnya yang indah.

“Ini ‘kan aku!”

Wajah si malaikat memang mirip sekali dengan Sofia.

“Jangan-jangan Sofia malaikat?”

“Masa?”

“Kayaknya, sih, iya.” Dita menarik Sofia dalam pelukannya.

Karena bintang-bintang di langit tambah semarak, Dita jadi ingin bernyanyi.

Twinkle, twinkle, little star,

How I wonder what you are.

Up above the world so high,

Like a diamond in the sky.

Sofia ikut bernyanyi, bahkan berdiri segala di depan Dita. Lagaknya seperti artis di panggung teater. Dita bertepuk tangan senang, lalu menopang pipinya. Dinikmatinya suara Sofia yang jernih dan tinggi.

When the blazing sun is gone,

When he nothing shines upon,

Then you show your little light,

Twinkle, twinkle, all the night.

Si artis kecil mengangkat tangannya naik dan turun, lucu sekali. Apalagi dengan mengenakan jaket Dita yang kedodoran. Lalu berputar-putar lembut seperti kupu-kupu. Kok jadi kupu-kupu? Dita tertawa dan mengirim fotonya kepada Aya.

— Jadi pengin punya anak.

— Dasar.

— Sofia imut banget ya.

Ketika itulah terdengar suara perut, menggemuruh. Sofia langsung menghentikan penampilannya dan duduk di samping Dita. Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya yang merona dengan tangannya. Aduh, malunya.

“Sofia sudah makan?”

“Sudah, Bu Guru.” Sofia menjawab sambil tetap menyembunyikan pipinya yang memerah.

“Kapan?”

“Tadi siang, jam dua belas.”

“Aduh.” Harusnya tidak perlu tanya, ‘kan aku bersamanya seharian ini.

Dita mengambil buras dan combro yang siang tadi dibelinya di warung Bi Iis.

Tadinya, untuk bekal makan siang, Dita hanya ingin membeli nasi uduk, tapi ternyata buras dan combro yang selalu laris-manis itu masih ada. Sisa satu-satu. Asyik. Jadi, dia membelinya juga. Hampir saja dia lupa.

Ketika ditanya apa tidak bosan tiap hari makan makanan yang sama, Dita selalu menjawab, “Nasi uduk Bu Iis itu nasi uduk terenak di dunia. Best of the best, pokoknya!”

Dibungkus daun pisang, dilengkapi dadaran telur yang diiris tipis tapi buanyak, dibubuhi seiris cabai merah, dan ditaburi sejumput bawang goreng yang gurih. Disantap dengan kerupuk yang sudah agak berangin—entah kenapa, untuk pelengkap nasi uduk, aku lebih suka kerupuk yang melempem—aduh, aduh. Siapa yang tahan, coba?

Ya ya ya.

Kalau soal mengomentari makanan, Dita tidak kalah dengan Pak Bondan idolanya. Maknyus!

“Enggak mau. Enggak suka.” Sofia menolak buras di tangan Dita.

“Coba dulu. Ini enak, lho. Makan, ya?”

“Mau itu saja, yang gorengan.” Sofia menunjuk combro.

“Aduh, jangan. Combro suka ada cabainya. Cepliknya.”

Dengan ragu, Sofia mengambil buras pemberian Dita dan membuka bungkus daun pisangnya—dan langsung melotot pada gigitan pertama. Nah, kan? Dita sudah terbiasa dengan ekspresi orang-orang ketika pertama kali merasai buras Bi Iis. Pasti enak sekali. Lebih gurih daripada buras pada umumnya. Selalu laris-manis. Dita sering tidak kebagian.

“Masih enak, kan? Belum bau. Ibu cicip sedikit, dong.”

“Enggak boleh!”

Dita tertawa. “Katanya tadi enggak suka?”

“Itu kan tadi!”

Padahal Bi Iis tidak menggunakan zat-zat pengawet sama sekali, tapi buras dan combronya masih legit, tidak basi.

Pak Hasan baru datang pada pukul setengah tujuh malam. Langkahnya cepat, setengah berlari, dan terlihat kepayahan dengan tas map dan bungkusan kentaki di tangan kanan dan jas di tangan kiri. Sofia segera menyambutnya, sampai lupa pada Dita, bu guru yang sejak siang menemaninya. Ayahnya mengingatkan Sofia untuk mengucapkan terima kasih.

Thank you, Miss Ditaaa!”

Nah, di depan papanya, Sofia selalu menggunakan bahasa Inggris tipis-tipis dan memanggil gurunya “Miss” atau “Mister”. Dita tersenyum.

Same-same, Sofia!”

“Ih, Miss Dita bagaimana, sih? Harusnya jawab you’re welcome!”

“Iya, iya. You are welcome, my angel.”

Pak Hasan menunduk hormat kepada Dita, lalu mengucapkan terima kasih. Ketika Sofia dan papanya menjauh, Dita mendengar sepatah percakapan disampaikan angin.

“…Sofia sudah makan, kok. Pakai buras.”

“Buras?”

“Enak banget, lho. Lebih enak dari Kentaki.”

“Masa?”

“Hu’um.”

“Gurih. Enak. Pokoknya best of the best.

“Maknyus?”

Sofia memeragakan chef kiss.

“A–ah, padahal Papa sudah beli Kentaki. Buat si Empus saja, deh?”

Sofia buru-buru mengadang papanya. “Jangan! Duh, apa boleh buat, Sofia makan lagi, deh.”

Papanya tertawa, lalu mengemban Sofia. Hampir saja dijatuhkannya jas, tas map, dan bungkusan Kentaki yang dibawanya.

Aduh, Dita menepuk tangannya sekali, jaketnya masih dipakai Sofia.

Ya, sudahlah.

Dita menggosok tangannya dan meniupnya sekali-dua kali. Sebelum pulang, dinyalakannya dulu satu-dua lampu di lorong kelas. Kalau tidak, gelap sekali nantinya. Tapi langkahnya tertahan ketika melihat seekor kunang-kunang menyala di dekat bangku. Dita tersenyum memandangnya. Tak lupa difotonya juga kunang-kunang itu, lalu dikirimkannya kepada Aya.

— Cici sudah selesai, nih. Tapi ada kunang-kunang. Aya sudah makan?

— Belum, kan katanya mau makan di luar. Kunang-kunang masih ada, ya?

— Ada tuh.

— Cici capek, enggak?

— Enggak, kok. Laper saja.

Aya biasa bertugas memasak di rumah. Tapi tadi pagi Dita mengajaknya makan malam dengan nasi goreng, jadi tidak perlu memasak. Aya mengiyakan. Tapi sepertinya Dita berubah pikiran.

— Makan Mi Gareng saja, yuk.

— Mau. Mau mau mau.

— Oke sip. Cici pulang, ya.

— Hati-hati di jalan, Cici.

— Oke, Mei Mei.

Berjalan sendiri dalam naungan pohon-pohon ketapang, daun-daun berguguran di sepanjang jalan, berkilauan dibasuh embun hujan. Angin berembus pelan dan kabut mulai merabun. Setelah meninggalkan kompleks TK, satu per satu Dita melewati lapangan basket, SMP-SMA, dan gedung SD.

Di pos satpam, Dita memandang langit. Di luar sana, tiang-tiang lampu menghiasi setiap sudut dan menghalangi bintang-bintang yang hendak memancarkan sinarnya. Ada cukup banyak mobil dan motor yang melintas, tapi lebih banyak becak, pesepeda, dan pejalan kaki. Meski tidak hujan dan langit cerlang benderang, orang-orang berjalan sambil membawa payung.

Dita jadi ingin menulis sajak.

***

Segera setelah menerima pesan terbaru dari Dita, Aya menyusulnya dengan sepeda. Cicinya tidak membawa sepeda. Kalau jalan kaki, lama, bisa lima belas menitan baru sampai. Keburu laper.

Ketika Dita melewati pos satpam, dia terkejut melihat Aya melambai-lambaikan tangannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Ngos-ngosan. Pasti ngebut.

“Halo, ciciku sayaaang.” Aya berkata riang.

“Halo, Aya.”

“Mau pulang dulu, atau langsung cus ke Mi Gareng?”

“Langsung saja, yuk. Cici laper.” Padahal tadi sudah makan combro. Tapi kayak menguap begitu saja sebelum masuk perut. Combronya enak, sih. Makanan enak enggak bikin kenyang. Nagih, iya.

Ya, itu logika Dita.

“Oke.” Aya menepuk-nepuk sadel belakang sepeda, menyuruh Dita menaikinya.

“Padahal aku yang lebih gede.”

“Lebih tua, kali, bukan gede.”

Dita menjitak lembut kepala Aya. Dasar. Aya yang umurnya enam tahun di bawah Dita, memang berpostur tinggi bongsor, tapi langsing. Dulu sering berenang. Kalau pakai baju bebas, bukan seragam SMA, tidak jelas lagi mana yang Cici mana yang Mei-Mei.

Mi Gareng adalah warung dondangan mi goreng yang mangkal di depan toko material Bima Sakti, jalan Lesu Bungkuk. Disebut Mi “Gareng” soalnya yang masak mirip Gareng—berhidung besar mancung, berperut bulat, berkumis baplang, dan selalu mengenakan topi lemas tukang becak. Menurut Dita, lebih cocok disebut Mi Nietzsche. Hehehe. Bukanya pukul 18.00, setelah toko materialnya tutup. Mi-nya digoreng dengan areng, tapi dikipas pakai kipas angin listrik kecil, bukan kipas sate. Curang.

Rasanya? Uenak, apalagi kalau dimakan pas lagi panas-panasnya, masih mengepul, dan ditemani udara dingin 20°C kota Cigigir. Beuh! Mandom. Enggak ada duanya.

Mi-nya pakai mi telur, dibaluri sayur caisim dan kol yang diiris tipis-tipis. Seiris tomat. Balungan ayam yang masih banyak dagingnya. Tidak lupa dilengkapi pula dengan kerupuk kulit sapi yang mengeriput kala terkena panas mi. Tapi tidak pakai telur. Kalau mau pakai, bisa, tapi telurnya bawa sendiri, ya. Pilihan menunya: mi goreng, mi nyemek (mi goreng tapi ada airnya sithik), dan mi rebus. Semuanya ada varian bihunnya. Tinggal pilih, mau mi atau bihun, terus dimasak apa.

Dita suka mi nyemeknya. Kalau Aya mi goreng campur (maksudnya mi dan bihun dicampur). Ketika ditanya kenapa, jawabnya, “soalnya porsinya banyak, padahal harganya sama.”

Mau bagaimana lagi, ekonomis sudah menjadi sifatnya. Tapi, harga per porsinya memang tidak murah. Dua puluh ribu. Yah, selama rasanya enak, yang beli pasti banyak! Sudah terkenal di seantero kota. Bahkan sampai ke luar kota segala. Makin ramai semenjak Youtuber makanan Next Bolos mengulasnya. ENGGAK ADA OBAT! komentarnya. Makin menjadi-jadilah antreannya.

Segera setelah Aya memarkir sepedanya, Dita turun untuk memesan. Ayo, ayo, Ci, jangan sampai keduluan orang itu! Aya memberi semangat. Dita berlari-lari kecil. Gemas juga lihatnya.

Ternyata di pinggir jalan raya sudah banyak mobil yang diparkir. Platnya B dan D, dari luar kota. Ada yang E juga. Jauh banget! Untung kalau malam, jalan di daerah ini sepi, jadi tidak mengganggu lalu lintas.

“Cici tumben ngajak makan Mi Gareng. Lagi banyak duit, ya?”

“Komisian Cici sudah cair, nih. Kemarin kan Cici dapat orderan gambar.”

“Asyik! Selamat ya, Ci.”

Selain guru TK, Dita juga bekerja sebagai ilustrator buku anak. Dia sering diajak kerjasama oleh penulis dan penerbit—baik besar maupun kecil, baik major maupun indie.

“Dapat antrean berapa, Ci?”

“Hehe.”

“Berapaaa?”

“Dua puluh.”

“Buset.”

“Ah, dua puluh doang, kok.”

Iya, mereka pernah mendapat nomor antrean 40. Itu setara dengan durasi nonton film di XXI.

Karena hanya ada satu kompor dan masing-masing porsi dimasak satu per satu, urutan dua puluh cukup membuat senewen dan mengharu biru. Bisa satu jam antrenya. Lebih lama lagi kalau nomor di atasnya tambah-tambah porsi seenaknya. Aduh. Tapi bisa lebih cepat juga, itu kalau banyak orang yang pesan-tinggal, alias diambil nanti. Bisa diselipin, dicurangi. Apalagi Dita sudah lama kenal dengan Bu Nining, anak Pakde Gareng.

Aya sempat bertanya, apa enggak mau makan di tempat lain saja? Tapi Dita merajuk, “aku maunya Mi Gareng. Mi Gareng! Mi——Ga——reng!”

Iya, iya. Aya mengiyakan saja.

Mungkin karena keseringan bergaul dengan anak-anak, Dita jadi ikut manja seperti anak-anak. Aya sampai ingin mengelus kepalanya. Tapi menahan diri. Enggak sopan. Padahal Dita tidak keberatan. Enak, lho, diusap-usap rambutnya, tuh.

“Ke Indoapril saja, yuk. Beli minum. Sambil buang waktu,” kata Dita.

“Naik sepeda?”

“Iya. Cici yang bonceng ya?”

“Aku saja. Cici kan capek. Belum rebahan, kan.”

“Iya, ya.” Dita mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Terdengar suara keletukan dari bahunya. Baru dirasani pegel-nya. Hotin mana Hotin. Diolesnya seujung jari Hotin ke lehernya. Ah, enak.

Dingin!

Letak Indoapril ada di pojok jalan sana, di seberang Gereja Santo Ignatius. Terlihat kok papan tandanya dari sini, biru kuning merah warnanya, tapi tidak terlalu dekat juga. Sekitar 500 meter, lah.

Setelah meninggalkan pesan kepada Pakde, atau Pak Gareng—koki andalan Mi Gareng—Aya mengayuh sepedanya. Dita yang duduk di sadel belakang, mendekatkan hidungnya di punggung Aya. Geli, Ci. Aya menggeliat. Ah, bau jeruk. Baunya Aya. Bukan jeruk Stella, apalagi jeruk mobil travel. Seperti jeruk Sunkist. Enak sekali. Bikin nyaman. Hmmm—

Sesampainya di Indoapril, sebelum memasuki pintu minimarket Dita berdiri menghadap Gereja Santo Ignatius. Gereja yang sudah ada sejak zaman Belanda itu terlihat megah dengan arsitektur klasiknya, tapi patung Santo Ignatius di pelatarannya mengesankan kerendahan hati. Dita selalu suka memandangnya berlama-lama. Apalagi suara loncengnya bergemerincing jernih. Cring, cring. Di pelataran, terlihat Kakek Eros menyapu daun-daun rontok.

Sudah menjadi kebiasaan, setiap berdiri di depan Gereja, Dita setengah bertelut dan membuat tanda salib. Sebagai tanda hormat, katanya. Aya jadi ikut terbiasa.

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus—Amin.

Begitu Dita mendorong pintu, pramuniaga di belakang kasir berteriak lantang. Terlalu lantang, malah.

“SELAMAT datang di Indoapril! ADA yang bisa saya bantu!”

Dita kaget.

Aya menahan tawa.

“Halo, terima kasih.” Dita tersenyum, lalu berjalan ke lemari es. Dia mengambil dua botol Teh Pucuk less sugar, satu botol Aqua, dan bermangkuk-mangkuk puding yang sedang diskon. Aya mengejar dengan membawa keranjang belanja, sebab Dita mengemban semua barang di lengannya.

Aduh, duh, duh.

Nah, kan. Jatuh.

Dita penggemar berat puding. Di kulkasnya puding harus ada. Wajib. Dan puding kesukaan Dita adalah puding buatan Aya. Ada-ada saja ide Aya. Puding lumut, lah, puding jagung, lah, puding Doraemon, lah. Semuanya enak. Tapi sudah beberapa hari ini Aya tidak membuat puding. “Kurangi gula! Nanti diabetes!” katanya, judes, tapi tetap manis, sih. Jadi, Dita kembali membeli puding tiap kali belanja di Indoapril.

Puding juga sering didiskon, mungkin karena kurang laku—lagipula, siapa yang mau makan puding di kota Cigigir yang dingin ini?

Ah, ada telur juga. Dita mengambil sekotak untuk dimasak dengan Mi Gareng. Isinya enam. Dua untuknya dan Aya. Sisanya bisa buat sarapan. Aya jago membuat omelet setengah matang. Omurice, katanya. Rasanya enak sekali. Apalagi kalau dimakan dengan nasi goreng menteganya.

Aya tidak mengambil apa-apa, padahal sudah ditawari Dita.

“Ini untuk Aya, katanya belum makan. Buat ganjel-ganjel perut.” Dita memberi sesuatu kepada Aya. Bentuknya oval seperti telur.

Aya bengong saat sadar itu Kinder Joy. Otak praktis Aya langsung berputar. Aduh, ini kan mahal. Tahu gitu aku ambil roti saja.

“Itu kan kesukaanmu.”

“Itu kan dulu. Aku sudah SMA, lho. Bukan anak SD lagi.” Aya cemberut.

“Ah, di mata Cici, Aya tetap Aya.”

Dita berlari ngibing sambil tertawa, puas sekali kelihatannya. Hahaha. Aya menggembungkan pipi. Tapi dibuka juga Kinder Joy-nya. Disimpannya mainan yang nirfaedah itu ke dalam saku celananya, lalu disantap isi cokelatnya. Enak. Enak. Enak.

Dita mengajak Aya duduk di depan Indoapril. Ada meja di situ. Masih bersih. Biasanya ada bekas rokoknya, tapi yang ini bersih, tidak ada abu rokok, tidak lengket oleh minyak, sepertinya baru dilap. Aya menyantap Kinder Joy-nya pelan-pelan, takut habis. Dita sudah menyantap semangkuk puding dan siap membuka yang kedua.

Padahal makannya banyak, kok badannya tetap kecil ya. Aya mengemut sendok Kinder Joy-nya.

“Cici minta, dong. Aaa—”

Aya mengambil sisa cokelat, lalu menyuapi Dita.

“Hmmm, enak ya.”

Aya tersenyum. Iya, jawabnya dalam hati.

“Aya minta pudingnya, dong, Ci. Aaa—”

“Enggak boleh. Ini punya Cici.”

Aya menggembungkan pipi dan memanyunkan bibirnya. Dita tertawa, dia selalu senang ketika Aya bersikap kekanak-kanakan.

“Iya, deh. Ini. Aaa—” Dita menyuapi Aya.

“Enak.”

Sepertinya sedang ada latihan paduan suara di Gereja. Lagu-lagu Natal. Jadi tambah terasa nuansa Desember-nya. Syahdu. Lagu-lagunya pakai bahasa Latin. Pasti permintaan Romo Paulinus. Beliau selalu merayakan Natal dan Paskah dengan lagu-lagu berbahasa Latin. Kalau Romo Frankie, sih, tidak.

Dita menopang pipinya, mendengarnya lamat-lamat. Dilatari suara percikan lampu petak-petik yang mengusik sunyinya malam, juga termometer yang mulai jatuh ke angka belasan—19,5°C—Dita mendengar lagu-lagu Natal. Hatinya jadi damai. Dita melihat Aya. Dia juga hanyut oleh paduan suara yang indah itu.

Sancta nox,

placida nox!

Nusquam est ulla vox;

Par sanctissimum vigilat,

Crispo crine quieti se dat

Puer dulcissimus,

Puer dulcissimus. 

 

Sancta nox,

placida nox!

Certior fit pastor mox

Angelorum alleluia;

Sonat voce clarissima

Iesus salvator adest,

Iesus salvator adest.

 

Sancta nox,

placida nox!

Nate Dei, suavis vox

Manat ex ore sanctissimo,

Cum is nobis auxilio,

Christe, natalibus,

Christe, natalibus.

Dita kembali memasuki Indoapril, meninggalkan Aya yang duduk termangu di depan. Dari balik jendela, Aya melihat Dita tergopoh-gopoh mengambil setumpukan barang di salah satu rak. Tanpa keranjang belanja. Tak berapa lama, Dita keluar dengan membawa satu kresek besar roti, snack, telur, dan Aqua. Lalu berlari-lari kecil mengejar bapak pemungut sampah yang baru saja lewat dengan gerobaknya. “Pak, punten, ini buat Bapak,” katanya.

Ada gadis kecil yang duduk di antara timbunan sampah. Dita menggendongnya sebentar, lalu mengecup pipinya, tanpa peduli coreng-moreng noda di pipi gadis kecil melekat di bibirnya. Jika saja ada waktu, Dita pasti memangku gadis kecil itu, lalu membacakannya cerita—atau mengajarinya membuat kapal-kapalan kertas. Ada saja idenya kalau sudah berhadapan dengan anak-anak.

Aya tersenyum. Dia melihat adegan itu dari balik pelataran parkir. Tidak mau mendekat. Takut mengganggu.

Yah, Ci Dita memang begitu.

Kalau ada orang gila yang lewat depan rumah, Ci Dita akan buru-buru membungkus nasi dan lauk apa saja yang tersaji di meja, lengkap dengan seplastik teh hangatnya. Lalu berlari mengejarnya. Ketika memberikan bungkusan nasinya, Cici tidak ragu menyentuh tangannya pula.

Kebiasaan itu menular ke Aya juga, jadinya.

Seperti Ibu Teresa saja.

Nama babtis Dita memang Teresa, tapi bukan Teresa dari Kalkuta, sebab beliau belum dikanonisasi menjadi Santa ketika Dita dibaptis, tapi Teresa dari Avila.

Yah, sama saja, kata Dita.

Aya membonceng Dita ke warung Mi Gareng. Ternyata masih antre, tapi tidak banyak, tiga lagi. Dita duduk di tempat biasa: samping selokan. Aya mau tidak mau, ikut duduk di sebelahnya. Dari lubang selokan, sering mengintip anak-anak tikus, kadang ibu tikus juga. Jika orang lain akan berteriak geli saat melihatnya, Dita malah gemas, “Lucunya!” katanya, selalu.

Aya yang semula takut, jadi tidak takut lagi. Kenapa, ya?

“Karena cinta.”

“Cinta?”

Dita mengangguk. “Awalnya kan Aya takut sama tikus, tapi sejak Aya mencintai mereka, rasa takut itu hilang, berubah jadi cinta. Cinta itu sumber kekuatan, lho. Yang terbesar, malah. Karena hidup butuh banyak keberanian, cinta selalu mampu memberi kita kekuatan.” Dita tersenyum. “Cici sayang Aya.”

“Aku juga sayang Cici.”

“Tikus, aku juga sayang kamu,” kata Dita sebelum tertawa.

Cip, cip.

Dua piring mi pun diantar kepada Dita dan Aya.

Dita langsung menyisihkan segarpu mi yang masih mengepul untuk anak-anak tikus dan ibu tikus. Mereka makan dengan malu-malu, sesekali sambil celingak-celinguk takut. Sopan sekali, rendah hati sekali, berbeda dengan kesan rakus dan kotor yang biasanya disematkan orang-orang kepada tikus. Tidak mirip sama sekali dengan anggota dewan atau politikus.

Di situ juga ada kucing. Agar tidak mengganggu jam makan keluarga tikus, Dita melemparkan balungan ayamnya. Masih ada daging di lipatan tulangnya. Si kucing—yang satu oranye, yang satu lagi hitam putih—makan dengan lahap sambil mengeong-ngeong senang.

Meong.

Cirebon, Rabu, 7 Januari 2023

***

Editor: Ghufroni An’ars

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

One Reply to “Malam Dingin di Cigigir”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email