Malam Berwarna Sedu-Sedih dan Puisi Lainnya

Assifa Atsna Hanifa

1 min read

Sembilan Belas 

jauh sebelum bertudung letih
kita hanyalah sebatas bocah kecil
yang bersih, dari hitamnya tinta
yang terbebas, dari ruwetnya dunia

saat tangis mengetuk mata
akan ada peluk yang terbuka
direngkuhnya tubuh mungil kita
dihapusnya air yang menggumpal
memenuhi dua per tiga bantal

sampai waktu beralih jadi dewasa
kita berpijak di atas wajah bumi
berdesak-desakan berdiri serupa
rantau yang teriak ingin pulang

dari fajar terbentang
kita melahap yang diperlukan
memaksakan-melesapkannya
di kepala, di dada sebelah kiri
menyimpannya dengan rapi
untuk masa yang diangankan
dan masa yang mungkin
tak akan pernah ada

: belum sampai pada epilog
kelelahan itu sudah memeluk kita

(Depok, 2022)

Jeda

bukankah terlihat?
di setiap sudut
ada ribuan mata
yang memandang kita
dengan penuh harap

harap yang berat
dan kita dibuat
terus-menerus
mengeja penat
terjaga setiap malam
sepanjang malam
bersama bulan
dan bisikan angin malam

sampai tiba saatnya
tangan-waktu
menepuk kita
yang mulai goyah
dan merasa payah

dibisikkannya sebuah pesan:

“kau tak perlu terburu-buru …
untuk berbinar seperti purnama,
ataupun bersinar semegah baskara
… biarkanlah waktu bekerja …
tumbuh hanyalah perkara bahasa
yang perlu tanda koma, perlu jeda.”

(Depok, 2022)

Malam Berwarna Sedu-Sedih

aku ciptakan sekumpulan asumsi
memaku-menatap gamang sisi hati
tunggang-langgang sampai lunglai
o betapa sedu-sedan aku malam ini

keparat!
perang terus saja
berkecamuk
dengan bisingnya
di kepalaku

suara asing itu berbisik
diucapkannya padaku
bahwa kau akan pergi
kuharap kau berpura-pura
sebelum aku kembali
dikoyak-koyak sedu-sedih
yang tak sudah-sudah ini.

(Depok, 2022)

Penghuni Belantara

aku penghuni belantara
yang bergelimangan lara
menanti setidaknya satu manusia
yang mampu membawaku lari
dari gejolak histeria tiada akhirnya

namun, tiap hari pun
hanya gemeresik rerumputan
yang kudengar
hanya jejak kaki
yang tersisa pada jalan setapak

mereka tak pernah
benar-benar datang
sekalipun belantara ini habis
dirajam kobaran api
yang membahang

: pada akhirnya
aku tetap sebatang
kara

(Depok, 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

 

Assifa Atsna Hanifa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email