Pedagang Martabak dari Mars

Mahmoud Darwish: Perlawanan dan Terapi Puisi

Alfian Bahri

2 min read

Dalam perspektif umum, kata melawan identik dengan upaya bergerak dengan kekuatan.  Dalam perspektif budaya, terutama sastra, kata melawan lebih condong ke arah produksi bahasa. Sifat bahasa yang lentur dan dinamis justru menjadikan jalan “melawan” lebih mudah dijajaki. Terlebih lagi, bahasa juga merupakan media utama dalam interaksi manusia. Perlawanan dalam perspektif sastra inilah yang dijalani oleh Mahmoud Darwish, seorang penyair asal Palestina. Perlawanan dalam bentuk bahasa biasanya disajikan dalam diksi-diksi kritis, menggelora, keras, dan berapi-api. Tapi Darwish tidak demikian. Setidaknya itu yang tertuang dalam kumpulan puisi “Surat dari Penjara” terjemahan Brah Muhammad (2022).

Dalam kumpulan puisi tersebut, terlihat bahwa Darwish mengajak pembaca bukan hanya untuk melakukan perlawanan, tetapi juga untuk dengan bijak menyalurkan perlawanan lewat perenungan, penyesalan, hasrat perjuangan, dan kekalahan. Ini jelas berbeda dengan konsep perlawanan yang selama ini dikenal dalam perspektif umum. Cara pandang Darwish justru lebih mengedapankan keintiman dan keontetikan yang mendasar. Perlawanan yang dimulai dari perenungan dan kesedihan lebih mempunyai kekuatan dasar yang kuat, ketimbang melawan dengan fisik dan ungkapan berapi-api. Perlawanan yang puitis itu misalnya dapat kita resapi pada penggalan berikut.

Dan kaca-kaca kami pecah
Maka kesedihan menjadi beribu-ribu
Kita kumpulkan pecahan suara
Tak ada yang kita ketahui kecuali ratapan tanah air
Kita akan menanamnya bersama dalam dada gitar
Sesuai atap kemalangan kita, akan kita mainkan

(Pecinta dari Palestina, 2022:53)

Melalui puisi tersebut, Darwish menyuguhkan kegetiran personal atas tangkapan realita di sekitarnya. Darwish ingin menyentuh bagian dalam dari perjuangan manusia, yakni perasaan. Misalnya pada larik kita kumpulkan pecahan suara // tak ada yang kita ketahui kecuali ratapan tanah air // kita akan memainkannya bersama dalam dada gitar// tampak betul bagaimana Darwish sama sekali tidak sedang berusaha berperan sebagai entitas yang menggerutu terhadap masalah sistem dan bergelora terhadap sebuah perang. Tak dia sentuh ranah politik atau kebijakan yang biasanya dijadikan bahan baku utama dalam penyusunan puisi perang. Darwish justru dengan elegan menyuarakan suara para korban perang yang luput dari pengamatan kebanyakan. Dia kumpulkan suara-suara itu, menjadikan mereka abadi dalam lagu, dan pada akhirnya tragedi yang dialaminya menjadi suatu ingatan permanen yang menjadi bahan renungan semua orang dari waktu ke waktu.

Psikoterapi Sastra

Dalam perspektif psikoterapi, perasaan sedih ialah hal yang normal dan lumrah. Itu tidak perlu dihindari. Bahkan perasaan sedih, cemas, stress dan terpuruk harus dijalani, tentunya dengan pendampingan prinsip hidup yang kuat. Jadi, apa salah jika kita merasa sedih? Merasakan sedih tentu saja  bukanlah sebuah kesalahan. Itu adalah reaksi alami kita sebagai manusia, seperti bersin atau batuk, yang sulit untuk kita kendalikan secara sadar. Namun, satu hal yang bisa kita kendalikan adalah perilaku kita ketika mengalami perasaan yang membebani itu.

Dengan perspektif psikoterapi ini, pembaca dapat melihat bagaimana Darwish begitu telaten mengemas kesedihan menjadi suatu puisi renungan. Kondisi konflik Palestina tentunya meciptakan suasana sedih, cemas, stres, lemah, dan depresi dalam diri masyarakatnya. Darwish mengajak semuanya untuk tidak larut dan mengubah keterpurukan itu lewat perlawanan. Mengajak semuanya untuk meramu dan mengendalikan kesedihannya. Bahasa sastra dijadikan media utama dalam praktiknya.

Psikoterapi sastra memang bukanlah cara utama untuk menghentikan trauma pada diri seseorang. Meski demikian, terapi mental dengan cara menulis sastra ini dapat membantu seseorang untuk memahami diri sendiri dengan lebih jernih, serta memberikan  kekuatan untuk mengatasi stres atau masalah psikologis lain dengan cara yang lebih sehat. Darwish berhasil menyalurkan psikoterapi ini dalam karya sastranya. Puncak keberhasilan itu tersirat dengan jelas pada puisi “Doa Terakhir”.

Aku membayangkan bahwa puisi sedihku
Dan ratapan ini, akan menjadi kenangan
Dan bahwa nyanyian kegembiraan
Dan lengkung pelangi
Akan didendangkan oleh lainnya
//
Aku membayangkan oh negeriku yang tersalib
Akan terbakar suatu hari

Dari penggalan tersebut terlihat jelas harapan dan pengolahan kesedihan dalam diri Darwish terhadap situasi negaranya. Darwish berhasil mengolah kesedihan dalam batinnya menjadi perlawanan yang relevan bagi banyak orang. Darwish menitipkan pesan kepada pembaca, bahwa modal untuk bangkit adalah berdamai dengan kesedihan dalam diri masing-masing. Puisi-puisi sedihnya justru merupakan jalan untuk menciptakan kedamaian yang baru dalam dirinya dan bagi pembaca. Bila kita tidak pernah merasa sedih, kita mungkin tidak akan pernah punya alasan untuk bahagia. Lewat puisinya, Darwish mencoba mengajarkan itu pada kita semua.

 

Editor: Ghufroni An’ars

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email