Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Macan Kumbang Bayu

Katarina Retno Triwidayati

4 min read

Bayu hobi membual. Setiap hari dia selalu mereka-reka cerita. Terlalu sering dia berkisah dusta menyebabkan kami tidak pernah percaya kata-katanya.

Salah satu bualannya yang paling membuat kami jengkel adalah persahabatannya dengan seekor macan kumbang. Dia kerap mengutarakan bualannya ini. Kami jadi hafal dengan detailnya.

“Aku bersahabat dengan seekor hewan. Kalian tidak akan percaya hewan apa yang aku maksud.” Demikian Bayu memulai bualannya. Selalu seperti itu. Aku dan Ipul berpandangan.

Kami tengah berbaring nyaman di hamparan rumput hijau. Di sebelah selatan desa kami ada sebuah bukit kecil. Kami menemukan tempat yang nyaman untuk duduk atau juga berbaring. Dari situ kami masih bisa mengawasi kawanan sapi milik Pak Haji yang menjadi tanggung jawab kami.

“Aku sudah tahu, kamu mau bilang temanmu itu macan, kan?” kata Ipul. Dia masih sempat menggerakkan alis matanya saat memandangku.

Iyo to, macan kan temanmu itu? Kenapa nggak sapi, sih? Sama-sama kakinya empat. Malah sapi jauh lebih besar.” Aku tertawa setelah mengatakan hal itu. “Bisa dijual pas lebaran haji nanti,” kataku lagi.

“Kalau ndak gajah. Lebih besar lagi,” ujar Ipul tanpa repot-repot menyembunyikan rasa kesalnya karena Bayu mengulang bualan. “Cuma dia ngunyah terus. 16 jam sehari. Jadi, kamu mesti stok camilan buat gajahmu itu,” kata Ipul lagi.

 

“Mosok dia makan selama itu?” tanyaku. Aku sengaja bangun hanya untuk melihat wajah Ipul. Jangan-jangan dia terlalu marah hingga memberi informasi yang salah.

“Lha kamu pikir dia gendut karena apa? Ya, karena dia makan terus,” sahut Ipul.

Aku tertawa dan menyepak kaki Ipul. Aku jadi ingat pada Mbak Minah yang selalu mengeluh berat badannya bertambah meski katanya dia banyak mengonsumsi sayuran. Mungkin Mbak Minah sering makan camilan.

“Woooh, kalian ini ndak percaya sama aku to?” Bayu tampak tak suka. Dia duduk dan mukanya merengut.

“Percaya itu sama Gusti Allah. Kalau percaya sama kamu namanya musyrik!” Aku dan Ipul tertawa bersamaan. Aku kembali berbaring di rerumputan.

“Macan kawanku ini baik lho. Dia bisa melindungi aku. Kalau bapakku mau memukulku, macan ini jadi tameng. Badanku ndak sakit jadinya.” Bayu masih saja melanjutkan bualannya. “Tapi, macan itu memang tidak bisa sembarangan dilihat orang. Ya, kalian-kalian ini masih jadi orang sembarangan karena ndak bisa lihat macanku itu.”

Aku melirik Ipul. Ipul mengangguk-angguk meski aku tahu itu tidak berarti dia setuju kata-kata Bayu. “Lihat saja, nanti macan itu bakal aku tunjukin ke kalian,” kata Bayu. Kali ini aku merasa harus ikut-ikutan mengangguk.

“Sayangnya, sama seperti kalian, ibuku juga ndak pernah lihat macan itu,” ujar Bayu lagi. Aku melirik Ipul lagi. Topik tentang ibunya Bayu ini rada sensitif. Ibu Bayu tampaknya tak sanggup lagi menghadapi kelakuan suaminya itu. Jalan putus asa yang diambilnya membuat Bayu mesti jadi anak piatu.

“Kalau Ibu bisa lihat macan itu, dia akan berani menghadapi Bapak. Mosok dulu dinikahi baik-baik, tapi sekarang diperlakukan tidak baik. Binatang betul.” Ada nada marah yang tak ditutupi Bayu saat mengucapkan kalimat itu.

Aku dan Ipul diam saja. Kami berdua tahu, bapaknya Bayu memang temperamental. Dia bekerja sebagai sopir truk pengangkut batu. Kadang seminggu hanya pulang sehari atau dua hari saja. Dalam pertemuan yang singkat itu, ternyata istrinya bisa hamil. Lahirlah Bayu. Tak heran, bapaknya Bayu dipenuhi rasa curiga berlebihan dan melampiaskan dengan memukuli Bayu. Padahal menurutku dan Ipul, wajah Bayu mirip dengan wajah bapaknya. Persis bahkan.

Aku sering cerita pada ibuku tentang Bayu dan bualannya. Ibu selalu menanggapi dengan senyum, mengelus kepalaku, dan memintaku untuk tetap bersahabat dengan Bayu. Meski aku merasa Bayu itu aneh, tapi aku tetap berteman dengannya. Setengahnya karena disuruh ibuku, setengahnya lagi karena aku kasihan padanya.

“Im, nanti kita mandi di sungai?” Ipul bertanya padaku setelah Bayu terdiam. “Iyo. Kamu ikut juga to, Yu?” tanyaku pada Bayu.

Bayu menggeleng. “Bapakku mungkin pulang hari ini. Jadi, aku nanti langsung pulang.”

Aku dan Ipul berpandangan. Dari nada suaranya, Bayu tidak bersemangat bertemu dengan bapaknya. “Kamu ndak kangen sama bapakmu, Yu?” tanya Ipul.

Bayu menggeleng. Aku dan Ipul berpandangan lagi. Kalau aku jadi Bayu, sepertinya memang tidak akan kangen sama bapakku. Tiap pulang, selalu bikin ulah dan memukuli Bayu. Tentu saja lengkap dengan ibunya Bayu yang kurus dan ringkih itu.

“Kalian ndak percaya sama ceritaku, ya?” ada nada sedih dalam pertanyaan Bayu.

“Soal kamu dan macan kumbang?” tanyaku.

Bayu mengangguk. Ipul duduk lalu memandangi sapi-sapi yang kami gembalakan. “Bukan gitu lho, Yu. Masalahnya kami ini ‘kan ndak liat kamu punya macan di rumah. Tiap aku sama Imron datang ke rumahmu, paling banter ada tikus. Ndak ada hewan lain di rumahmu. Kalau benar kamu bersahabat dengan macan, di mana kamu kandangi macanmu itu?”

Aku ikut duduk. Lalu kucabut sebatang ilalang dan menggigitnya. Ada rasa manis samar di batangnya. Aku bertukar pandang dengan Ipul. Tiba-tiba,  tanpa berkata apa-apa Bayu melesat berlari menuruni bukit.

Aku dan Ipul menatap kepergian Bayu dengan keheranan yang amat sangat.

Ngopo yo dia lari kesetanan gitu?” tanya Ipul.

Aku menggeleng.

“Moga-moga setan ndak nemplek di badan Bayu,” kata Ipul lagi. Aku mengaminkan.

Matahari nyaris tenggelam. Aku dan Ipul menggiring sapi-sapi kembali ke kandang Pak Haji. Kepada Pak Haji kami berkata bahwa Bayu pulang lebih dulu karena sakit perut. Lalu kami mandi di sungai.

“Nanti mampir ke rumah Bayu yok, Im,” kata Ipul sambil menggosok tubuhnya dengan batu apung. Sejak dari rumah Pak Haji tadi, kami memang tidak berbicara. Entah kenapa rasanya tidak enak melihat Bayu berlari tanpa pamit seperti tadi.

Aku mengiyakan. Kami buru-buru mandi tanpa banyak bicara. Kami berjalan bersisian ke arah rumah Bayu. “Aku ndak percaya Bayu punya hewan peliharaan macan. Yang benar saja. Apa dia mau membodohi kita? Mana ada macan di rumahnya. Kalau macan-macanan mungkin ada.”

“Tapi Pul, sering banget si Bayu ini cerita tentang macan itu. Aku penasaran lho. Kalau kata ibuku, mungkin itu namanya teman khayalan. Si Bayu ini berkhayal punya teman seekor macan,” kataku.

“Lama-lama bisa gendheng bocah itu kalau kebanyakan berkhayal.” Kami berdua tertawa. Rumah Bayu sudah terlihat. Rumahnya terletak di ujung desa. Dekat rumpun-rumpun bambu. Untuk sampai sana, kami melewati jalan setapak.

Kami tercekat dan langkah kaki kami terhenti kira-kira lima meter sebelum sampai di pintu rumah Bayu. Kami bersembunyi di balik tanaman teh-tehan yang menjadi pagar rumah.

Ada suara raungan. Teriakan. Dan kemudian berbagai benda jatuh berdebam-debam. Keras sekali dan ribut bersahutan. Tak lama terdengar suara bagai lolongan. Itu suara bapaknya Bayu.

Mata kami bulat melotot. Sepertinya mata kami nyaris keluar dari tempatnya. Bulu kuduk berdiri ketika pintu rumah Bayu terbuka perlahan.

Bayu keluar. Raut mukanya tenang. Tak lama kemudian, bayangan seekor macan kumbang berjalan mengikuti Bayu.

Aku dan Ipul berpandangan. “Itu… itu…. Itu ma… can?” tanya Ipul meminta kepastianku.

Aku susah payah menelan ludah. “Rasanya bukan. Bukan macan kumbang. Itu pasti bayangan,” kataku antara yakin dan tak yakin.

Tapi, itu bayangan yang kelewat nyata. Tidak mungkin Bayu memelihara macan tanpa kami tahu. Kami menyaksikan Bayu menghilang di persimpangan dekat rumpun bambu.

Perlahan kami mendekati rumah itu. Pintunya terbuka membuat kami bisa menyaksikan apa yang ada di dalamnya. Berbagai perabotan tampak berhamburan, berserakan. Demikian juga dengan tubuh bapaknya Bayu.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email