Perempuan Madura yang sedang berkuliah di Universitas Brawijaya.

Luka Perempuan dalam Tarian Bumi

Aurelya Pratiwi

2 min read

Pada awal tahun 2000, Oka Rusmini berhasil membangun struktur fiksi yang sangat dekat dengan realita. Dalam novelnya, Tarian Bumi, Oka berhasil mengupas satu-persatu luka yang dialami oleh tokoh-tokohnya yang perempuan. Berlatarkan kehidupan sosial di Bali yang masih memegang erat sistem kasta, Oka membawa pembaca merasakan susahnya menjadi seorang perempuan.

Cinta Beda Kasta

Cinta mungkin tak pandang rupa, tetapi cinta mampu memandang kasta. Luh Sekar adalah tokoh perempuan Sudra (kasta terendah di Bali) yang dicintai oleh anak dari keluarga Brahmana (kasta tertinggi di Bali). Meskipun mereka akhirnya menikah, Ibu Mertua Luh Sekar memendam kekecewaan yang sangat besar karena dia sangat mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan.

Ternyata, kekecewaan yang sama juga harus dihadapi oleh Luh Sekar. Seperti mengulang takdir, anak perempuannya yang bernama Ida Ayu Telaga Pidada jatuh cinta dan kawin tanpa pamit dengan laki-laki Sudra bernama Wayan Sasmitha. Luka ini juga tak hanya dialami oleh Luh Sekar, tetapi juga dirasakan oleh Luh Gumbreg, Ibu Wayan.

“Seorang laki-laki Sudra dilarang meminang perempuan Brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan Sudra itu percaya pada mitos bahwa perempuan Brahmana adalah surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya?” (Hlm. 137)

Keberanian dan keteguhan hati seorang perempuan adalah bagian yang harus di-highlight. Kisah dua tokoh ini berhasil menampilkan rasa sakit yang harus dialami perempuan untuk mengejar kebahagiaannya sendiri, melawan sistem yang telah diyakini sejak lama.

Pelecehan Seksual

Dalam novel ini, pelecehan seksual terjadi pada Telaga. Ia dilecehkan oleh iparnya sendiri, Putu Sarma. Saat itu, Telaga digambarkan tidak mampu melakukan perlawanan. Oka Rusmini menampilkan bahwa sejak dalam pikiran, laki-laki mampu berpikiran bejat. Pelecehan seksual ini pun terjadi karena Putu Sarma merasa dirinya memiliki kekuatan untuk menguasai tubuh perempuan.

“Kau tetap cantik, Dayu, dalam kondisi apa pun. Sekarang kecantikanmu makin sempurna. Tubuhmu lebih indah. Kau terlihat lebih kasar dan mengundang gairah. Dulu, aku sering menonton tubuhmu di panggung dan berharap bisa menyentuh tubuh porselen itu. Sekarang tubuhmu lain. Lebih hidup….” (Hlm. 166)

Tak hanya Telaga, Kenten juga pernah mengalami hal yang sama. Ia dilecehkan oleh sekumpulan laki-laki di warung yang membicarakan tubuh Kenten. Dalam kasus ini, digambarkan bahwa meskipun perempuan tak suka dan merasa sakit hati, perempuan hanya bisa diam menerima nasibnya.

“Tubuh perempuan muda itu sangat luar biasa. Begitu kuat. Lihat dadanya. Setiap mengangkat kayu, dadanya membusung indah. Kalau saja aku bisa mengintip sedikit, gumpalan daging itu pasti sangat indah.” (Hlm. 31)

Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal juga menjadi isu yang dibawa Oka ke dalam novel ini, seperti yang dialami oleh Luh Sekar dan Telaga. Luh Sekar pernah diperintah oleh ibu mertuanya untuk mengikat kaki suaminya karena berbulan-bulan tidak pulang. Mertuanya bahkan mengatakan bahwa dia tidak pernah bisa memberi kebahagiaan pada anaknya.

“Sering juga mata Ibu terlihat kosong. Dalam kondisi seperti itu, hanya suara Nenek yang terdengar keras memaki-maki dan terus-menerus mengutuk.” (Hlm. 13)

Standar Kecantikan

Luh Kendran adalah gambaran perempuan yang berusaha dengan keras untuk mengubah dirinya agar sesuai dengan standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat kita. Kendran memutuskan untuk mengubah penampilannya seperti perempuan kota dan meninggalkan identitasnya sebagai perempuan Bali.

“Untuk jadi perempuan kota, Kendran juga harus melukis wajahnya. Kata Kendran, sakit. Tapi rasa sakit itu tak ada artinya. ‘aku bisa membeli apapun sekarang,’ katanya. Kendran juga mulai merokok. Cat kukunya mengilap. Kulitnya juga makin bening. Kendran benar-benar cocok jadi bintang iklan.” (Hlm. 141)

“Untuk menjadi cantik, perempuan-perempuan kota itu rela wajahnya ditusuk, diiris, dan dilubangi!” (Hlm. 145)

Melihat penggambaran tokoh-tokoh rekaan Oka, tampak betul bagaimana pengamatannya terhadap situasi masyarakat sekitar di sepanjang hidupnya. Hal itu mengingatkan saya pada teori mimesis yang memandang sastra sebagai tiruan dari dunia nyata. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Mochtar Lubis dalam pengantarnya pada buku Perempuan di Titik Nol:

“Sastrawan yang baik akan selalu berhasil melukiskan dan mencerminkan zaman dan masyarakatnya. Sastrawan yang baik akan dapat menampilkan pengalaman manusia dalam situasi dan kondisi yang berlaku di masyarakatnya.”

Melalui tokoh-tokoh perempuan ciptaan Oka Rusmini, saya menyadari begitu kompleksnya masalah yang dihadapi oleh perempuan. Sistem yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri sering mengakibatkan ragam ketidakadilan. Sampai hari ini, sosok Luh Sekar, Telaga, dan Kenten masih bisa kita temukan dalam dunia nyata. Mereka-mereka yang masih harus menanggung derita dalam kehidupan yang jauh dari kata adil.

Kritik tajam tentang beban fisik dan batin yang dialami perempuan dari Oka Rusmini ini hendaknya jadi bahan refleksi kita, untuk punya kesadaran membangun dunia yang lebih ramah bagi perempuan.

***

Editor: Ghufroni An’ars

 

Aurelya Pratiwi
Aurelya Pratiwi Perempuan Madura yang sedang berkuliah di Universitas Brawijaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email