Penyair Aan Mansyur, melalui buku puisinya, Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, mendapat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-21. Sebelumnya, buku itu juga telah meraih Penghargaan Sastra Kemdikbudristek.
Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau? Apa tebakan pertama dalam kepalamu saat membaca judul buku puisi Aan Mansyur tersebut? Luka, pilu, dan perasaan-perasaan sedih lainnya? Seperti judulnya, puisi-puisi dalam buku itu memuat banyak pertanyaan. Melalui puisi-puisinya, Aan seperti sedang melayangkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang luka dan memaafkan.
Puisi berjudul “Pertanyaan-Pertanyaan”, menjadi salah satu dari 41 puisi dalam buku itu, sekaligus menjadi puisi pemancing di sampul belakang.
apakah hatiku mangkuk dangkal yang pecah―
yang alangkah mudah diisi, namun mustahil
penuh? apakah mencintai diri sendiri berarti
menjadi batu yang dilemparkan ke lautan lepas
tanpa dasar? mengapa darah lebih api daripada api?
mengapa luka tidak memaafkan pisau―& mata
pisau bisa membayangkan dirinya sebagai cermin?
mengapa kita mesti memiliki banyak pengetahuan
untuk bisa memahami betapa sedikit pengetahuan
kita? mengapa orang kota bersandar pada humor
untuk bisa bertahan hidup & mengapa orang desa
harus bertahan hidup untuk bisa tertawa? mengapa
usia seseorang tidak dihitung dari seberapa dekat
dia dari kematian? bukankah manusia sudah terlalu
tua sekarang? (seperti puisi ini, tidakkah hidupmu
sudah dituliskan―& ditafsirkan orang lain, bahkan
sebelum kamu bisa membacanya?)
Sihir kata-kata Aan kembali bekerja di setiap bait puisinya. Diksi indah dan menyentuh sekaligus penuh ironi. Setiap halaman, sihir itu disempurnakan dengan ilustrasi guratan warna putih, hitam, dan biru oleh Lala Bohang. Pembaca dibuat terlena oleh perpaduan imaji kata dan keindahan visual. Selain itu, Aan juga menyelipkan kutipan penulis puisi lain seperti Adrienne Rich, Naomi Shibab Nye, Rebecca Solnit, Bartolt Brecht, dan Donella Meadows.
Lewat buku puisi ini, Aan seperti membuka ruang pribadinya. Sebuah pengalaman tersendiri bagiku untuk merasakan cinta, perasaan getir, luka, kecewa dan duka dalam diri Aan melalui puisi-puisinya. Ia berpuisi dengan menempatkan dirinya dalam berbagai sosok. Sebagai sosok anak dari orang tuanya, sebagai ayah, suami, pemukim di tempat ia tinggal, hingga sebagai warga negara.
Puisi berjudul “Pelajaran Menulis Dari Ibuku”, puisi itu menggambarkan peran ibu Aan dalam kepenyairannya. Dan bagaimana istri serta anaknya menjadi sumber inspirasinya. Aan menulis:
setiap pagi
lukislah satu luka dunia
yang kau temukan di tanganmu
& di mata istrimu.
malam hari
pinjamlah krayon
& mimpi anak-anakmu
untuk mewarnainya. (hlm. 21)
Sebagai seorang suami, Aan menulis beberapa puisi cinta Aan untuk istrinya, Anna. Salah satunya dalam puisi “Sajak Cinta untuk Anna”
kau perjalanan idealku: aku selalu menuju
& tak pernah hilang arah, aku selalu
berangkat lebih awal & selalu kembali
ke pangkal.
apalah cinta melainkan keyakinan kita
pada perkara-perkara yang selalu mampu
memasihkan yang pernah. (hlm. 30)
Puisi lainnya adalah “Perkawanan/Perkawinan”, dan “Rumah Tangga”. Pada babak kedua dan kelima buku itu, Aan banyak menulis puisi untuk istri, anak, dan ibunya. Seperti puisi “Dunia di Mata Anakku“, “Daras dan Sahda Menangis atau Mereka Sedang Lapar, “Ibuku―& Aku”, “Percakapan”, dan “Dan”.
Pada babak ketiga, penulis asal Sulawesi Selatan itu melukiskan perasaannya tentang kota Makassar melalui 62 bait puisi. Lewat puisi berjudul “Makassar adalah Jawaban. Tetapi, Apa Pertanyaannya?”, pada salah satu bait, Aan menulis:
semboyan makasar: “sekali layar terkembang
pantang biduk surut ke pantai.” tidak ada lagi biduk.
tidak ada lagi pantai. tersisa: layar milik bioskop
jaringan XXI yang terkembang di mall-mall. (hlm. 56)
Bagian keempat buku ini, dalam beberapa puisinya, Aan mengguratkan getir, satire, kecewa, serta kritik sebagai seorang warga negara. Seperti melalui puisi “Negara”, Aan bertanya:
hatiku tidak berhenti mematahkan hatiku.
halo, tahun berapa kamu hari ini? (hlm. 68)
Bait KAMI MASUK KANTOR DPR & KAMI HILANG & KAMI BELUM DITEMUKAN pada halaman 84 bagiku merupakan bait singkat yang dingin, kelam, tetapi meneriakkan amarah yang meledak. Tak ada guratan ilustrasi seperti halaman-halaman lain. Tak ada bait tambahan. Hanya kertas hitam yang kelam. Halaman berikutnya hanya menyisakan kertas hitam kosong. Puisi selanjutnya pun masih berisi syair duka karena kehilangan kawan.
Aan Mansyur penyair yang peka. Lewat berbagai peran sosialnya, ia bersyair. Tak heran, puisi-puisi dalam buku ini terasa personal dan menyentuh. Aan sebagai individu yang mencintai keluarga, kritis terhadap lingkungan, dan sosok yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui bait puisinya, Aan menggugah hati pembaca. Kemudian menyisakan ruang kosong di dalam hati mereka ketika halaman terakhir ditutup.
Buku setebal 98 halaman ini, rasa-rasanya bisa diselesaikan dengan waktu singkat. Namun, pengalaman membaca dan menikmati syair Aan yang menyentuh bisa tersimpan dalam benak untuk jangka waktu yang lama.