morally bankrupt woman who can't even call herself a feminist

Lipstik Merah Martha

Sofiana Martha

4 min read

“Aku menopause! Oh, Martha! Senangnya! Hari-hariku sebagai budak telah selesai! Oh, Martha! Kau akan kutraktir bir termahal selama sebulan!”

Martha tersenyum, ia menyukai bagaimana wanita separuh abad itu sedang berjingkrak-jingkrak di area tengah sebuah bar di kota metropolitan yang bising. Rex, wanita itu meminta Martha untuk memanggilnya dengan sebutan Rex hanya karena ia suka dinosaurus besar yang sering dijuluki t-rex. “Kalau kau menyukai dinosaurus seperti aku, kau akan sadar bahwa mereka tak ubahnya ayam cacat dengan dua tangan kecil yang tidak bisa melakukan apa-apa.”

Itu termasuk ke dalam percakapan pertama mereka, ketika bertemu tanpa sengaja di dalam bar ini pula. Orang-orang menyukai wanita dalam bisnis dengan setelan jas yang langsing, anggun, dan berlipstik merah. Tapi mereka tidak terlalu melirik wanita dalam bisnis yang sudah reyot, mengendur, dan agaknya terseok-seok dengan heels yang menyiksa. 

***

“Aku menyakiti suamiku sendiri. Saat itu kami hanya berdua, dan ia terus meminta seks, sedangkan payudaraku masih lecet karena gigitan anak kami. Saat itu aku sudah di masa ketika membenci anakku, tangisannya, bahkan senyum di pipinya yang gembil pun aku tak selera. Aku berhenti menciuminya, lalu kunyalakan televisi dan memutar brown noise hanya agar bisa tertidur. Lalu suamiku melakukannya, memaksaku, kemudian aku menggores tangannya dengan pisau yang kugunakan untuk mengupas mangga.”

Orang-orang di sana melingkar, menyisakan salah seorang moderator yang akan memimpin dan mengatakan bahwa giliran per orangnya sudah selesai tiap sepuluh menit. Martha terduduk di salah satu bangku terbelakang, ia menyukai bagaimana rok hitamnya berpadu dengan eyeliner memanjang yang ia pilih untuk gayanya hari ini. Oh, tentu saja kawanan orang-orang sakit ini (termasuk dirinya), bukan salah satu hal yang ia pilih untuk gaya. Tapi ia harus berada di sini sekarang, agar psikiaternya tahu bahwa ia memang pernah berada di sini.

“Aku … tidak suka anak-anak. Mereka menyebalkan, tidak bisa mengurus diri mereka sendiri, dan aku tidak akan bekerja setengah mati untuk menyekolahkan mereka yang ujung-ujungnya hanya akan menjadi pemabuk. Oh, aku tahu mereka akan seperti itu, Denise (Miriam mengerling kepada Denise yang memutar bola matanya sampai mendongak). Ayahku begitu, anak laki-lakiku pun akan begitu.”

“Sewajarnya orang-orang yang akan masuk surga, aku sepertinya tidak wajar, tidak normal. Aku tidak suka kerudung, atau tidak melakukan seks, atau tidak memacari laki-laki mana pun. Kalau dipikir-pikir, aku lumayan pemabuk, hei, tapi aku tidak sepertimu, Anjing! (memaki kepada Sarah yang berdiri di atas meja dan memajumundurkan bokongnya untuk memeragakan seks).”

Brigita memasang wajah muak, kemudian duduk kembali di kursinya. Laki-laki yang berada di ruangan itu memandang Sarah dengan tidak nafsu, tentu saja di ruangan ini tidak ada laki-laki yang betulan sehat sampai merasa terangsang dengan gaya erotis serampangan dari perempuan gila.

Martha tidak memperhatikan orang-orang selanjutnya yang sering sekali mengatakan bahwa mereka membenci banyak hal. Martha tidak merasa membenci siapa pun atau apa pun asalkan hal-hal itu tidak mengeremnya untuk pergi ke pelukan pria kelaparan, dihabisi dengan belasan kali seks dalam semalam, kemudian dibuang di depan pintu hotel sampai harus berjalan mengangkang untuk pulang. Ah, apa kabar ibunya yang pernah mengatakan untuk jangan menjadi jalang? Lagi pula, menjadi jalang itu yang bagaimana? Seperti ibunya yang membuangnya di hari raya hanya karena Martha mengatakan ingin beranak anjing ketimbang menikah dan beranak  pinak dengan seorang pemuka agama yang sudah punya anak laki-laki remaja?

Martha memutuskan untuk pulang saja daripada mendengarkan orang-orang gila yang bergantian bicara. Ia menyetel musik di kepalanya, membayangkan bagaimana seharusnya presiden negara ini sekarang berada di sebuah kamar dan memainkan skenario untuk menari erotis di depannya. Oh, ya, sepertinya aku hanya terangsang pada mereka yang punya nyali, begitu pikirnya. Kemudian ia memasang senyum kepada beberapa lelaki di jalanan. Mereka terintimidasi oleh betapa Martha menyukai tubuhnya, juga riasannya, dan setelan hitamnya. Mereka marah mendapati perempuan dengan pose menantang, di satu sisi mereka terangsang juga hanya dalam beberapa detik.

Ia melihat bakmi di salah satu sisi jalanan yang mulai petang. Martha tidak menampik, tapi bau bakmi itu sebenarnya agak mengganggu. Sebagai perempuan, ia tahu lipstik merah mahalnya tidak bisa ia tumpuk begitu saja dengan kuah kaldu dari bakmi yang menggoda. Namun, takdir berkata lain, kakinya berjalan begitu saja tanpa keengganan yang pasti. Kemudian terduduklah ia di salah satu bangku yang paling dekat dengan penjualnya, seorang bapak-bapak, dengan bau keringat yang menguar dan anehnya tidak membuat nafsu makan pembelinya hilang.

“Mau makan di sini apa dibungkus?”

“Di sini saja, Pak,” Martha tidak peduli dengan lipstiknya. Ia mengangkat roknya tinggi-tinggi hanya untuk memastikan lipstik di ikatan karet yang terbelit di paha masih berada di sana.

“Pak, saya boleh sambil mengobrol?”

“Tentu, Nona. Saya juga senang diajak bicara pelanggan.”

“Di pojok sana ada sebuah klinik, entah klinik entah apa, yang pasti orang-orang gila pergi ke sana hanya untuk mencurahkan perasaan terdalamnya. Menurut Anda, jika Anda punya anak seperti saya dan saya pergi ke tempat seperti itu, apa Anda akan memarahi saya? Murka, dan mengatakan bahwa saya aib keluarga?”

Penjual bakmi itu terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia kira pertanyaan dari pelanggan hanya seputar hal remeh-temeh yang bisa dijawab dengan jawaban mekanis seperti robot, misalnya tentang harga jual bakmi yang mulai mahal, atau bumbu macam apa yang dipakai. Wanita ini, dengan penampilannya yang aneh, dan tatapannya yang serius⁠—membuat si penjual bakmi terpaksa menjawabnya.

“Saya toh memang punya anak perempuan, mungkin usianya seperti Nona. Sekitar 20-an, itu memang usia yang bajingan. Tak perlu beranjak ke soal anak perempuan saya, ketika saya umur segitu, saya juga mempunyai banyak kesalahan. Atau, entahlah, saya tak tahu apa hal tersebut bisa disebut salah. Nona, saat itu dunia agaknya lain, agak abu-abu dan warna hitam putih menjadi tidak begitu jelas.”

Penjual bakmi mulai memecahkan telur di atas wajan, mengaduknya sampai agak mengental dan ia beri sedikit bumbu semacam garam dan campuran sayur.

“Waktu itu dunia sepertinya bergerak dengan terlalu cepat, kita terengah-engah, pedahal kita baru saja mulai kesenangan akan gerbang kebebasan yang mulai tampak. Bebas dari apa pun yang sebelumnya mengikat, melempar kita ke sana ke mari seperti bagaimana saya mengaduk-aduk mi ini,” ia menunjuk mi yang sudah mulai dimasak.

Tak berselang lama setelah pembicaraan itu, tidak ada satu pun dari mereka yang menghentikan hening. Keduanya terdiam dalam benak masing-masing, seolah-olah sedang memikirkan tentang kehidupan yang sekarang dijalani. Martha tidak begitu tahu bagaimana menyikapi laki-laki dewasa, yang sedewasa sang ayah di rumah, yang kiranya akan mencambukinya dengan rotan jika tahu bahwa Martha hanyalah jalang yang dibayar untuk meneruskan bisnis toko buku sepinya. Ayah ialah laki-laki pertama yang mencambuknya seolah punya hak, mengatakannya jalang seperti Ida anak tetangga yang hamil saat masih sekolah, dan meneriakinya hanya karena ia melepas kerudung. Martha tak ubahnya wanita tak tahu arah, katanya, ingusan dan kelak akan memberatkannya saat Tuhan meminta rapor ayahnya dari malaikat pencatat dosa.

***

“Di perkumpulan kita, akhir-akhir ini aku rasa Yasmin jadi semakin malang.”

Martha kembali bertemu dengan Rex, wanita pebisnis yang sudah reyot dan selalu senang bukan kepalang sejak menopause-nya terjadi. Ia bilang tidak perlu pakai kondom jika ingin bermain dengan lelaki, lalu ia hanya tertawa atas ucapannya sendiri sebab seks sudah tidak semenyenangkan itu di saat ia sudah punya birth control alami.

“Koleganya mengajaknya tidur, big deal, been there, done that, Rex. Kita semua pernah mengalaminya.”

“Dan kita melupakannya dengan begitu cepat, kurasa,” Rex mengomentari alkohol yang diminumnya, mengoreksi kalimatnya sendiri. “Berusaha melupakannya dengan begitu cepat, kurasa.”

“Rambutmu terlihat bagus, Rex. Agaknya warna putih terlihat classy dan modern, aku tidak tahu bagaimana agar bisa menua dengan cepat.”

“Sayang, umurmu sedang cantik-cantiknya, ajak kencanlah semua orang yang kau temui, mintalah duit pada mereka, dan nikmatilah lipstik merah di bibir tipismu.”

Martha tidak mendengarkannya lagi. Bar itu selalu nampak suram, sepertinya hampir semua orang tidak pernah mendengarkan psikiater mereka dan lebih memilih terjun ke tempat temaram yang bau apak ini. Jalanan menyergap anak-anak kecil sepertinya, menjejalinya dengan alkohol, tuak, rokok, dan kenikmatan sesaat di bilik kecil ditemani tikus. 

“Rex, apa waktu berlalu dengan cepat bagimu?”

“Tidak, Martha. Jawaban ini tak pernah menyenangkan bagimu, bukan?”

“Bolehkah setiap saat aku bertanya lagi?”

“Sampai aku mati, Martha. Kau sudah menemaniku saat aku menopause, aku berhenti menjadi robot, nantinya ketika aku mati, kau juga akan merayakannya.”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Sofiana Martha
Sofiana Martha morally bankrupt woman who can't even call herself a feminist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email