“Apakah Aku?”
padamu aku gapura jalan;
mengucapkan selamat datang dan selamat jalan,
tapi tak pernah mendapatkan balasan.
gapurakan aku!
foto bersama dengan ekspresi bahagia
menjadi bukti riwayat perjalanan tanpa tanda jasa.
tak bicara tak apa-apa.
tak menyapa pun tak apa-apa.
karena aku adalah tali, terikat di sepatumu.
aku bersaksi bahwa kau telah menginjak temanku.
kueratkan ikatan badanku di sepatu itu,
agar tak terlepas saat kau berlari menginjak temanku.
bisakah aku menjadi sendok makanmu?
alat bantumu menemukan jawaban
dari ketakutan tangan indahmu
terhadap kotoran karena ulahmu.
“di mana saja aku, kapan saja aku, apakah aku?”
tanyaku pada aspal malang melintang.
di depan Perguruan Tinggi Muhammadiyah kutemukan raksasa merubah rupa:
para gadis dan perempuan paruh baya mengeluarkan asap-asap liar.
diisap oleh hotel, kedai, dan mesin percetakan,
namun sama sekali tanpa restu ibunya.
(Malang, 4 Oktober 2022)
–
“Generasi Angkatan Kadang-Kadang”
dalam ajaran filsafat nilai netral diolah oleh kopi hitam pahit buatan pelayan perempuan, sehingga signifikan memengaruhi para pelanggan. dalam tradisi “ngopi-ngopian” “kabel pusaka” yang tersaji rapi merangsang otak “monyet purbakala”, yang sangat takut kehabisan daya. “generasi angkatan kadang-kadang”, angkatan es keliling tradisional yang terhimpit roti tawar berselingkuh dengan “generasi angkatan mesin uap”. mereka menapaki kehamilan sejarah fiksi dan ilusi yang mengandung banyak buaian kejayaan romantisme.
(Malang, 4 Oktober 2022)
–
Kembalian
(untuk ibu)
“kamu tak sendirian”
sering sekali aku membaca, melihat, dan mendengar kalimat itu;
di banyak cerita & ratapan naas akhir hidup para filosof,
di banyak nas-nas dogma klimaks,
di banyak bunyi-bunyi dan tayangan tontonan kekinian;
gejala kesengsaraan, kegilaan, ketakberdayaan, hingga kematian.
engkau kerap membuat gempar pedagang pasar,
menawar secara ekstrim harga bahan makanan,
tak berkesudahan menerobos panjang antrian,
merenggut iba pada penjual di warung makan.
ini belum akhir, ibu!!!
engkau akan hidup jutaan tahun lagi!!!
engkau telah memberikan sayang dan kasih padaku,
namun kembalian masih belum kau dapati.
aku tak akan menawarnya,
seperti percayaku pada kebenaran;
tak tertawar oleh ketundukan dan ketaatan
kepada perintah orang-orang kuasa,
yang tak henti-henti berdahaga
demi gemilau-gelimang harta.
(Malang, 4 Oktober 2022)
–
Lintah Kesengsaraan
aku ingin menyiram badanku dengan sinar matahari.
namun, pantai laut Alger terlalu jauh bagiku.
pun gadis-gadis di sini tak ada yang melepas busana kala makan siang.
pun pantainya di sini sudah bersatu dengan limbah dan kotoran.
tak ada buah-buahan gratis yang bisa kuambil,
tak ada tempat gratis hidup di air.
tak juga ada gadis anak raja yang rela turun tangga strata
demi merdeka hidup bersama.
pola budaya menjadi lintah kesengsaraan
menghisap habis kebahagiaan;
kita yang menciptakan,
terjerat oleh ciptaan.
(Malang, 4 Oktober 2022)
–
Kursi Empuk
sederhana sekali konsep-konsep itu;
kau hanya perlu berani lalu aktualisasi.
karena yang pasti;
kau aktif menuai tanggap,
kau pasif menuai caci.
percayalah, sebaliknya pun sama.
fatalis bila kau mencoba bunuh diri.
fatalis bila kau berserah pada keadaan.
maka cinta kepada hukum alam semesta adalah kursi empuk,
menjadikan perkaramu, keluh kesahmu lebih nyaman duduk.
rangkai kursimu!
letakkan posisinya di tempat yang tepat!
presisi pada keleluasaan gerak bebas dan merdeka!
merdeka! merdeka! jadilah merdeka!
(Malang, 4 Oktober 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA