Lintah Daring

Puteri C Anasta

8 min read

“Neng, Neng,” panggil Mamah sambil mengguncangkan bahuku kuat-kuat, “hudang[1], Neng.”

Aku membuka mataku yang masih berat. “Aya naon[2], Mah?”

Mamah mengatakan sesuatu dengan nada tegang, tapi suaranya tak begitu jelas di telingaku. Ketika mataku membuka sepenuhnya, aku sudah sendirian di kamar. Suara Mamah terdengar dari ruangan sebelah dengan nada tegang yang sama. Ada sesuatu yang terjadi. Aku bisa merasakannya menggantung di udara. Ada apa, ya? Apakah tadi ada gempa ketika aku tidur?

Kakiku baru menyentuh lantai, ketika suara jeritan histeris terdengar dari luar rumah. Mamah dan Bapak sontak berlari ke luar. Dengan kepala masih pusing, aku bergegas mengikuti, tak peduli kaos dan celana pendek yang kupakai saat itu sungguh tak layak dilihat orang.

Ada banyak orang bergerombol di jalanan depan rumahku, padahal terang hari masih belum sempurna. Aku hanya bisa melihat punggung-punggung mereka mengerubuni sesuatu—atau seseorang—di seberang sana.

Aku ikut berjinjit bersama mereka yang berdiri di belakang, susah payah mengintip pusat keributan. Aku hanya melihat puncak kepala wanita berjilbab hitam bersimpuh di jalan. Aku baru saja hendak melangkah mundur dari kerumunan itu, ketika telingaku menangkap nama seseorang disebutkan.

“Neng Linda…”

Bukan sekali, nama itu disebut beberapa kali. Ada sesuatu yang tak nyaman bersarang di ulu hatiku ketika nama itu disebut dengan nada yang tidak enak didengar. Aku hanya bisa tertegun, sementara orang-orang yang menyebut nama Linda, sahabatku, kini menemukan pandanganku dan mulai menatapku dengan ekspresi yang selaras dengan nada bicara mereka. Prihatin. Sedih.

Aku urung mundur ke rumah. Kakiku terpancang di sana, mencoba menerka apa yang sedang terjadi. Rasa tak nyaman itu kini menjalari mulutku, membuatku gagal bertanya. Perlahan, kerumunan itu menipis, seakan menyadari bahwa aku menanti jawaban dari mereka dan mereka tak sampai hati untuk mengatakannya keras-keras. Ketika tak ada lagi punggung yang menghalangi mataku, tanyaku terjawab.

Mah Een, ibu Linda, sedang memeluk tubuh seseorang yang tak perlu kulihat wajahnya untuk bisa kukenali dengan baik. Tubuh yang terkulai itu terlihat lemas sekaligus kaku. Tubuh orang yang tak bernyawa lagi.

Sejenak, aku merasa ini mimpi. Tapi ketika tangan seseorang menyentuh lenganku, aku tidak terbangun. Pemandangan itu masih nyata.

Sing ikhlas, Neng[3],” ujar Bapak lembut sambil menarik tanganku menjauh dari sana.

*

Aku sering menjuluki Linda manusia amfibi. Candaan ini muncul selepas curahan hatinya yang menyayat hati, tentang kehidupannya di dua dunia yang menuntutnya untuk beradaptasi.

Linda cukup beruntung. Selepas lulus SMA, ia diterima bekerja di sebuah pabrik di Bandung. Namun, ternyata kehidupannya di kota besar itu tidak berlangsung seperti yang ia impikan.

“Saya ngerasa serba salah, Ti. Di sana, dianggap urang lembur pisan[4]. Segala kelakuan saya diketawain. Temen-temen saya mikirnya saya mah nggak tahu apa-apa. Tapi, di kampung, saya dituntut ngota. Pulang teh harus pakai baju bagus, bawa oleh-oleh banyak. Harus lebih kayak orang kota, kata Mamah saya,” tutur Linda waktu itu.

Aku yang tak punya saran apa pun hanya bisa menawarkan telinga untuk mendengarkan ceritanya. Linda berkeluh kesah tentang beban yang ia emban sebagai anak pertama. Gajinya yang tak seberapa itu setengahnya harus dikirim ke kampung, untuk membantu orang tuanya dan menambah uang sekolah adiknya. Uangnya yang tersisa nyaris tak cukup untuk bertahan hidup di kota.

“Saya kan harus bayar kosan, makan, ongkos, pulsa hape. Belum lagi, kalau temen-temen saya ngajak main, saya suka nggak enak nolak. Kalau udah akhir bulan, saya bisa tuh makan nasi cuma pakai kuah cilok.”

Aku meringis mendengar itu. “Beli kuahnya doang?” tanyaku.

Linda menggeleng. “Ciloknya buat makan siang, kuahnya buat makan malem. Pagi-pagi mah makan angin we[5].” Ia mengelus perutnya yang baru saja diisi nasi liwet buatan ibuku. “Kalau di kampung, nggak punya uang juga, segala ada. Mau makan tinggal ngala[6]. Ayam banyak, sayur banyak,” lanjutnya.

“Sabar, ya, Lin,” ujarku akhirnya, berusaha menghibur. Linda tidak menjawab, matanya menatap sendu ke langit-langit kamarku.

Selang dua bulan dari sesi curhat yang menyedihkan itu, Linda pulang ke kampung dengan mobil sewaan. Ia membawa banyak oleh-oleh untuk keluarganya, yang menyambut dengan segala puji-pujian pada Tuhan, dan serta-merta mengundang tetangga untuk syukuran. Linda menjadi bahan pembicaraan orang-orang kampung. Mereka memuji Linda yang katanya sekarang sudah sukses di kota.

Kepadaku, Linda bercerita, bahwa ia kini merintis bisnis online shop. Ia mendapat modal yang cukup untuk mulai berjualan tas dan pakaian dan memasarkannya daring. Pendapatannya ternyata nyaris dua kali gajinya dari pabrik. Linda bahkan berencana untuk mengembangkan bisnisnya itu.

“Kalau dari olshop saya bisa dapet sebanyak ini, saya mau berhenti aja kerja di pabrik, Ti.”

Aku cukup terkejut mendengar rencana Linda itu. “Kamu yakin, Lin? Memangnya kamu ada modalnya?”

Linda tersenyum, aku tak bisa membaca raut wajahnya. “Modal mah aman. Doain aja, ya.”

“Jangan terlalu gegabah, ah, Lin. Bisnis-bisnis gitu kan bisa rugi.”

Linda, lagi-lagi, hanya tersenyum. Ia merangkulku dan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, “Seblak, yuk? Saya yang bayar.”

*

Pandemi datang.

Linda dirumahkan. Kontrak kerjanya menggantung tidak jelas. Setiap hari, aku melihat sahabatku itu gelisah. Bolak-balik memeriksa ponselnya dengan cemas. Bisnis olshop-nya terkendala. Tak ada pembeli yang berkunjung untuk membeli satu-dua barang. Maklumlah, Linda menjual pakaian dan tas, yang tak begitu diperlukan orang ketika semuanya beraktivitas dari rumah.

Kupikir semuanya masih baik-baik saja, sampai suatu hari, Linda masuk ke pekarangan rumahku dengan langkah sempoyongan.

Wajahnya banjir air mata. Hidung dan matanya bengkak dan merah. Ia memasuki pekarangan rumahku dengan sempoyongan. Aku bergegas keluar begitu melihatnya dari jendela kamar, dan sebelum Mamah dan Bapak tahu, aku sudah menyeretnya ke kamarku.

Dalam pelukanku, Linda menangis sejadi-jadinya. Ia sama sekali tak bisa ditenangkan. Aku juga tak bisa bergerak untuk mengambil segelas air atau tisu. Kubiarkan saja sahabatku itu menjadikan bajuku lap ingusnya. Sesekali, kuelus punggungnya.

Air mata Linda habis pada akhirnya, namun ia terdiam lama. Matanya menatap kosong pada tembok. Aku berulang kali menyentuh pundaknya, untuk menjaga agar fokusnya tidak hilang. Selang beberapa lama, akhirnya, ia bersuara.

“Saya bikin kesalahan, Ti.”

Suaranya begitu sengsara. Aku menatap wajahnya dengan takut.

“Kenapa, Lin?”

Linda terlihat siap meledak lagi dalam tangis, tapi ia berhasil mengendalikan dirinya. Dengan tergagap, ia menceritakan segalanya. Tentang iklan yang dikirim oleh nomor tidak dikenal suatu hari, menawarkan pinjaman cepat yang hanya perlu data diri dan foto KTP. Linda terlalu kalap dengan tawaran itu. Apalagi dilihatnya bunga yang dikenakan bisa dibayar per hari dan besarnya tidak seberapa. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminjam uang sebagai modal tokonya.

Kini, ketika kondisi keuangannya merosot drastis, Linda tak lagi punya jalan untuk mengembalikan uang yang ia pinjam. Bunga dari utangnya terus bertambah. Denda keterlambatan turut menumpuk. Pinjaman Linda yang awalnya hanya sepuluh juta, dibiarkan sebulan mulai membengkak jadi belasan juta. Dan, tagihan-tagihan itu masih terus berdatangan.

“Dia maki-maki saya di SMS. Ratusan kali nelepon saya. Saya takut, Ti,” sedu Linda.

Aku hanya bisa memeluknya.

“Saya nggak tahu harus gimana lagi, Ti. Saya malu kalau harus pinjam orang tua saya. Apalagi ke teman-teman saya. Cerita ke kamu gini juga saya malu.”

Belum habis ketakutan Linda, keesokan harinya, gelombang teror yang terjadi lebih mengerikan lagi. Orang tua Linda dibangunkan dengan dering bertubi-tubi dari nomor tak dikenal, yang dengan kasar mengatakan bahwa Linda sudah berutang pada mereka dan kabur tidak membayar.

Linda mesti susah payah menjelaskan duduk perkara. Ia tak mengerti mengapa bisa orang tuanya sampai dapat teror yang sama. Belum lagi teror itu juga sampai di ponsel adiknya, Endah. Sore itu, ia muncul lagi dengan wajah tegang di rumahku. Ia berkata, firasatnya tidak enak tentang ini.

Dengan segan, akhirnya aku menunjukkan ponselku. Aku juga menerima pesan itu. Mata Linda membelalak ketakutan. Belum sempat ia pulih dari keterkejutannya, banyak pesan masuk di ponsel Linda. Bukan dari nomor tidak dikenal, tapi dari teman-temannya, mengabarkan bahwa mereka telah menerima pesan yang sama.

Linda menangis lagi seharian. Ia mematikan ponselnya, tapi ponsel orang tua dan adiknya berdering terus-menerus. Lalu tiba-tiba, tetangga sebelah rumahnya datang, menunjukkan sebuah SMS berisi pesan kasar untuk mengingatkan Linda agar membayar utangnya.

Keluarga Linda terpaksa menanggung malu. Mereka lelah meminta maaf pada orang-orang yang datang ke rumah untuk mengabari pesan yang mereka terima. Akhirnya, rumah itu dikunci. Mereka bertahan di dalam. Menolak keluar atau menggubris ketokan di pintu.

Linda mencoba segala hal. Ia mencoba mengganti nomor ponselnya. Tapi baru saja sehari ia lolos dari teror itu, keesokan harinya, ia kembali dikejar-kejar. Dan teror itu tidak hanya datang padanya, tapi juga pada keluarga dan orang-orang di sekitarnya.

Rentenir itu memang tak datang ke rumah Linda. Tak ada yang datang menggedor pintu, menyeretnya paksa ke polisi atau pengadilan. Tak ada preman yang datang dan membuatnya babak belur atau memorak-porandakan rumahnya. Secara kasat mata, keadaan Linda baik-baik saja.

Tapi rasa malu dan bersalah memenjaranya. Ia tak bisa keluar tanpa tatapan orang terhujam padanya, setelah mengetahui bahwa limpahan uang Linda selama ini didapatnya dengan cara berutang dan ia tak mampu membayarnya. Sekali lagi, Linda jadi buah bibir. Kali ini dalam narasi yang jelek.

Teman-teman kantor Linda mulai marah karena merasa terganggu. Mereka tidak terlibat urusan pinjam-meminjam uang, tapi mendapat pesan teror setiap hari membuat mereka merasa dikejar-kejar. Linda ditinggalkan oleh teman-teman kantornya, yang sebelumnya mendekat ketika Linda mulai royal. Atasannya bahkan mendapatkan pesan teror juga, dan mengirim ancaman halus pada Linda, mengatakan bahwa jika nama perusahaan mereka terseret, maka karir Linda tamat.

Linda tak punya jalan keluar. Semua orang memusuhinya. Semua orang jijik padanya seakan ia menyebarkan penyakit yang menular. Bahkan, orang tuanya tak menunjukkan dukungan berarti.

Ancaman itu menggila. Foto Linda disebarkan dengan kata-kata kasar ditempelkan. PENCURI! KABUR MEMBAWA UANG PERUSAHAAN! Segala macam makian kasar menyertai foto yang disebarluaskan daring.

Puncaknya, suatu hari, sebuah fotonya beredar. Foto itu nyaris jelas hasil rekaan. Wajah Linda ditempel di tubuh tak berbusana seorang perempuan. Bagi siapa pun yang mengenal Linda dengan baik, mereka akan tahu bahwa foto itu palsu. Tapi itu cukup untuk mendorong Linda ke titik yang paling rendah. Semua orang yang mengenal Linda mendapat foto itu dan nama baik Linda hancur sudah.

Aku terkejut ketika aku datang ke rumahnya suatu hari dan menemukan sahabatku itu berbaring miring di kasurnya, menghadap tembok, dengan wajah dan tatapan yang sama-sama kosong. Tubuhnya kurus. Dari ibunya, aku tahu bahwa Linda menolak makan berhari-hari. Ia melempar ponselnya ke tong sampah selepas foto tak senonoh itu beredar dan tak pernah keluar kamar. Ibunya berusaha menyuapinya makan, tapi semua yang masuk ke mulutnya hanya akan keluar lagi dari tempat yang sama.

Sahabatku itu tidak menjawab apa pun yang aku katakan. Aku sama saja seperti berbicara dengan tembok. Ia sepertinya tidak sadar aku di sana.

“Lin,” panggilku ketika aku hendak pamit pulang, “yang kuat, ya.”

Lalu, aku pulang. Tapi rupanya, itulah kali terakhirku melihat Linda dengan mata terbuka.

*

Aku menolak ikut menguburkan Linda. Aku memutuskan untuk diam di kamar.

Mamah dan Bapak tak memaksaku. Begitu mereka melihat wajahku, mereka tahu aku tak bisa dipaksa ikut. Mereka tahu betapa terpukulnya aku kehilangan sahabatku yang paling karib.

Aku duduk di kasur. Kedua tanganku mencengkeram ponsel erat-erat.

Linda ditemukan di sebuah kebun yang terbengkalai. Tergantung di jerat yang ia ikat di dahan pohon besar. Jerat itu merenggut napas terakhirnya. Ia melakukannya tadi malam, ketika seisi kampung sudah tidur. Linda, sahabatku yang penakut, yang pantang menyebut nama-nama hantu karena takut sompral, sendirian malam-malam ke kebun yang gelap dan memilih untuk pergi. Selamanya.

Aku menerka apa yang berada dalam pikiran Linda ketika ia melakukan itu. Perempuan yang pernah hidup di dua dunia yang menekannya akhirnya jatuh di jurang keputusasaan yang paling dalam karena keputusan yang salah. Aku memikirkan semua tangisan Linda. Aku teringat semua keluh kesahnya yang kini menyakitkan untuk dikenang.

“Rasanya kayak rasa takut itu main tarik tambang, Ti, dalam otak saya. Takut mati dan takut ketemu besok hari. Saya nggak tahu mana yang bakal menang.”

Kata-katanya waktu itu terngiang-ngiang di telingaku.

Ponsel di tanganku tiba-tiba berdering, menggugahku dari kenangan-kenangan yang berputar di kepala. Aku menatapnya. Menemukan sebaris nama di layar. Sejenak, aku hanya mampu menatap ponsel itu.

Tak ada seorang pun yang tahu aku punya ponsel ini. Ini ponsel yang sama yang kugunakan untuk mengirim pesan anonim berisi iklan pinjaman online pada Linda tempo hari. Aku tak bermaksud mengincarnya, hanya saja pekerjaan baruku menuntut untuk diiklankan pada sebanyak-banyaknya orang. Aku tak pernah mengira Linda akan tertarik. Tapi aku juga tidak mencegah. Buat apa? Toh, ia bisa mengurus pengembaliannya dengan baik waktu itu.

Aku akhirnya memencet tombol jawab. “Halo?” sapaku dengan suara parau.

“Tia? Kenapa kamu belum laporan? Sudah nagih belum hari ini?” Suara di ujung sambungan itu mencecar pertanyaan.

Ponsel ini juga kugunakan untuk mengirim tagihan pada peminjam. Jika tidak dibayar, berarti waktunya kirim ancaman. Jika masih juga tidak dibayar, berarti waktunya kirimkan teror. Pelan-pelan. Dari lingkaran terdekat, sampai lingkaran yang paling besar. Data dan ancamannya dikirimkan oleh temanku. Aku tinggal mengirimnya ke nomor orang tua Linda, nomor teman-temannya, nomor kerabat-kerabatnya yang lain, dan tentu saja, nomorku sendiri.

“Belum Pak, maaf, saya sedang… ada urusan,” jawabku tercekat. “Akan segera saya kirim, Pak.”

“Ya. Semua yang belum bayar, ya. Heri, Danu, Wita, Mirna, Linda…”

Aku tak lagi mendengar suara atasanku ketika nama Linda disebutnya sambil lalu. Aku bisa saja menyelamatkan Linda dengan mudah. Aku bisa menghentikan teror terhadapnya. Atau kalau mundur lebih jauh lagi, aku bisa memperingatinya sebelum aku mulai menjalankan tugas dengan ancaman berantai. Atau, lebih jauh lagi, aku bisa tidak mengiriminya iklan pinjaman online sejak awal.

Aku bisa melakukannya dengan mudah. Tapi tidak kulakukan. Aku butuh pekerjaan ini.

“Tia? Bisa, ya, sebelum malam beres?”

Gelagapan, aku menjawab. “Bisa, Pak.” Lalu, ragu-ragu aku akhirnya berkata, “Pak. Untuk yang namanya Linda… dia sudah tak bisa membayar lagi.”

“Kenapa?” tanya atasanku tajam.

“Sudah… tidak ada orangnya, Pak.”

Hening sejenak. “Meninggal?”

Aku mengangguk. Lalu sadar atasanku tak bisa melihatku. “Iya, Pak.”

“Kok bisa?”

Karena aku. Aku membunuhnya. Aku membiarkan sahabatku menyerahkan nyawanya di ujung tali. Aku membiarkan rasa takut hidupnya menang.

“Gantung… diri, Pak.”

Atasanku terdiam lagi.

“Ya, sudah. Hapus saja. Mau bagaimana lagi. Yang lain tetap kerjakan, ya. Saya tunggu laporannya.”

Aku menyudahi panggilan itu dengan menyanggupi perintah atasanku. Lalu, tanpa membiarkan rasa sedih dan rasa bersalah mencekikku, aku segera bekerja dengan ponsel itu. Pesan terkirim satu-satu. Ancaman demi ancaman. Teror demi teror.

PENCURI! KABUR MEMBAWA UANG PERUSAHAAN!

[1] “Bangun, Neng.”

[2] “Ada apa, Mah?”

[3] “Yang ikhlas, Neng.”

[4] Orang kampung banget.

[5] Saja.

[6] Ambil/petik.

Puteri C Anasta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email