Kulkas itu menjulang di hadapanku. Aku merunduk buat meraih karet rambut yang menggelinding ke kolongnya. Waktu tinggalnya di sini tidak lama lagi. Ia akan digusur pergi.
Kemarin sore, saat aku sedang mandi dan Mama mengadon nugget, terdengar suara letupan keras, hampir bersamaan dengan teriakan, “Allahuakbar!” yang tak kalah menggetarkan. Aku buru-buru keluar toilet dan mendapati Mama sudah bengong.
“Ma?” kataku setelah dia termangu cukup lama. Mama menatapku, lalu kulkas itu. Kemudian tangannya yang berkelupasan adonan terigu menceraikan steker kulkas dari stop kontak.
Setelah mengelap tangan, aku membuka pintu freezer perlahan, “bismillah.” Lalu asap dari dalam kulkas yang lampunya mati menghambur keluar seperti adegan pocong Mumun di pekuburan. Tapi bukan bau melati yang tercium, melainkan bau tembaga dan bau tutung. Segera Mama mencari tanda-tanda kehidupan pada permukaan lemari es itu dengan punggung tangannya, seakan kulkas itu adalah anaknya yang sedang demam.
Dengan telunjuknya Mama mengisyaratkanku untuk memasang kabelnya lagi. Lalu kami menunggu apa yang akan terjadi. Aku membayangkan kulkas itu meledak mementalkan aku dan Mama lalu Kakak yang sekarang cuma memerhatikan kami dari meja makan. Kakak akan kelimpungan dan akan kutertawai dia dari langit kesembilan. Tapi sayangnya si kulkas tiga pintu ini hanya mematung, tidak meledak dan tidak mengeluarkan gerungan khasnya yang mirip dengkur Ayah ketika tidur setelah marah-marah.
Satu jam berikutnya hanya ada air yang menggenangi kulkas. Menyusul juga bongkahan es seukuran telapak tanganku tergelincir dari freezer, ruangan kecil yang — kalau kutebak — memberikan perasaan nyaman di hati Mama. Selanjutnya kulkas itu terus membersihkan diri hingga dia tidak dingin sama sekali.
Ah, akhirnya, setelah dua belas tahun ikhlas dijejali bermacam-macam urusan dunia (berekor-ekor ayam sampai obat kumur), kulkas kami menyerah. Dia telah meninggal.
Sekarang, ketika kudapati bayang-bayang langkah berderap perlahan seperti menahan suatu yang berat, aku tahu Mama tidak punya waktu untuk berkabung. Buru-buru aku duduk dan membenahi kausku yang tersingkap memamerkan perut. Tampak dua orang bapak-bapak menggotong sekardus besar persegi panjang. Aku menjauh. Mereka menyingkirkan kulkas lama kami, mengungkap apa-apa saja yang tersimpan di kolong sana: karet rambutku sampai tengkorak ayam. Mama buru-buru menyapu harta karun itu sembari tersipu.
Sehabis mengupas dus tadi, dua laki-laki itu mendudukkan (atau memberdirikan?) sebuah kulkas boks berwarna putih bersih. Dibanding si kulkas tua yang bertaburan stiker bintang dan warna kusam di sudut-sudutnya, dia lebih mungil dan tampak anggun. Benar, tidak ada waktu berduka karena berloyang-loyang adonan nugget terancam asam. Bisa-bisa Mama mendapat komplain karena pelanggan mengira bukannya dikirimi nugget ayam, mereka malah mendapat nugget belimbing wuluh.
***
“Ma, kulkasnya mau diapakan?” tanya Kakak, akhirnya merespon pemandangan yang ada. Sudah 8 hari bangkai kulkas Toshiba itu teronggok di tengah ruangan, tampil dan diam saja seperti murid jangkung yang gugup di acara panggung setelah paginya tidak menghabiskan sarapan, sementara hadirin menunggunya pidato atau terjun ke kolam ikan.
“Diservis terus dijual saja, gimana?” lanjut Kakak lagi. Tidak mungkin, kulkas itu sudah tewas, pikirku.
“Kata Mang Sukari pipa kapilernya yang meledak, terus korslet ke mana-mana. Mahal kalo mau diganti semua. Lagian dia nggak jamin bakal bener lagi. Udah tua banget sih ini,” aku yang sedang istirahat dari mengerjakan soal latihan UN, menyahutinya.
“Ya udah besok aku rongsok,” balas Kakak.
“Enggak,” kata Mama seketika. “Jangan macem-macem.” Dia arahkan matanya pada Kakak, lalu aku. Matanya tajam menusuk. Aku juga jadi merasa gugup.
Lalu pandangan Mama menjadi bersahabat dan diusap-usapnya kulkas bongsor itu seakan dia sedang membaluri kehangatan yang menggumpal di telapak tangannya. Setelahnya, dia terembus ke kamar meninggalkan aku dan Kakak yang saling memandang. Tak lama, Kakak tersapu ke kamarnya juga setelah mengatakan, “serah dah.”
Baiklah, inilah waktu sendirianku. Saatnya menonton Extravaganza. Kutuju single-bed beralas kasur palembang di depan TV. Ah, kasur yang empuk. Inilah ruang utama sekaligus kamarku.
Remot… di mana ya? Oh itu…. Kuraih benda itu dan dari genggamanku, ia lepas berkelotak nyaring, oh… dan seketika keheningan menumburku. Dua pintu kamar di hadapanku bagai mulut besar yang mengatup, menelan dua perempuan yang paling dekat sekaligus jauh dariku. Tidak begitu kuingat kapan percakapan mulai susut dalam keseharian kami. Keluarga kami memang bukan orang yang banyak bicara, sih, kecuali Ayah. Tapi dulu rasanya tidak sesunyi ini.
Tiga tahun lalu Ayah pergi. Aku tidak tahu kenapa. Tapi yang jelas, itu masa-masa terberat buat Mama. Aku ingat mendapatinya muntah-muntah sambil berlinangan air mata setiap malam. Aku yang tidak tahu bagaimana cara meringankan hatinya, cuma menahan diri dari menonton Aming dkk. dalam Extravaganza demi menghormati perasaan Mama. Setelah memeras habis dirinya dari tangis, Mama beraktivitas seperti sedia kala. Tak lama, dia memulai usaha nugget ayam.
Kini kulkas tampak tua dan lelah, seperti Ebiet G. Ade menggambarkan Mama. Sebelum dia meletup seminggu lalu, aku tidak menyadari hal ini karena karetnya masih rekat dan watt-nya tak bermasalah. Kini aku penasaran, apakah Mama masih cinta Ayah sehingga menolak berpisah dengan benda ini?
Kulkas ini memang hadiah dari Ayah di hari ulang tahun Mama, ketika mereka masih terlihat muda. Modelnya memang incaran Mama karena waktu itu dia sedang semangat memasak. Ayah juga baru naik jabatan. Ayah banyak membeli perabotan yang tidak kami perlu-perlu amat seperti kursi santai dan akuarium besar itu. Dan yang paling menonjol adalah kulkas ini. Aku selalu menganggapnya sebagai monumen kestabilan finansial keluarga. Tentu jauh sebelum Ayah pergi, jauh sebelum Mama menjual nugget enak untuk menunjang kebutuhanku jajan mi ayam.
Sejujurnya, aku tidak pernah merasa begitu terdampak oleh perpisahan mereka. Tapi malam ini, merasa diperhatikan sebuah kulkas yang diam saja, aku terdorong buat berpikir bahwa ada kemungkinan Ayah pergi karena kebisuan Mama.
Dari dulu Mama memang jarang bicara sih. Mungkin Ayah tak tahan. Kadang-kadang ketika bersama Mama menggiling ayam, hatiku juga ingin meledak saking pendiamnya dia. Pertanyaan gosip seperti, “Pak Darmaji nyolong duit arisan, Ma?” dariku cuma ditanggapi anggukan atau kalau dia lagi ingin, dibalas, “Iya, Pak Darmaji nyolong duit arisan,” mengulang kata-kataku dengan suara pelan. Itu menyebalkan. Tapi dia selalu mengakhirinya dengan senyum sehingga aku bingung harus bagaimana.
Biasanya, kubiarkan kebisuan itu membanjiri kami. Tapi kadang kalau sedang tidak kuat, sengaja kutekan tombol blender bahkan sebelum isinya penuh untuk membuat alat itu berdenging buat memecah hening. Cuma kadang di sela sepi yang kusadari seperti sekarang, aku berharap Ayah alias Pak Anton, yang rajin ronda dan hafal gosip tetangga, masih bersama kami. Setidaknya, bersamanya aku bisa diskusi soal kelakukan Pak Darmaji.
Aku berhenti memikirkan Ayah ketika pintu kamar Kakak terbuka. Dia mendelikkan mata padaku, lalu menuju kamar mandi. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya menanggapi perpisahan itu. Masa itu dia pun sering menangis, mungkin diperparah efek menstruasi juga. Kuberi dia waktu sendiri di kamar kami dengan pindah tidur di sini, di hadapan TV. Tapi setelah air matanya habis, entah kenapa aku tidak kembali ke dalam. Aku tidak keberatan sih. Kakak sepertinya memang butuh ruang pribadi.
Jadi sekarang tidak banyak yang kutahu tentang Kakak. Kami jarang bertemu, dia mengurung diri di kamar sepanjang sisa hari sepulang kerja. Aku ke sana cuma buat menumpang salin pakaian sehabis mandi, kadang sehari dua kali, lebih sering sehari sekali. Setelah menyambar kaus, jeans, dan bra dari lemari plastik Napolly yang tutup-tutupnya tanggal di sudut ruangan, aku akan meluncur ke kamarnya tanpa mengetuk pintu.
Biasanya di kasur, sembari tengkurap, kulihat Kakak sedang menceritakan harinya pada pacar barunya di seberang telepon sementara aku memakai baju. Setiap melakukannya, menguping, menangkap pandangan bundar Kakak dari celah kaus, aku merasa tengah melongok ke dunianya.
***
“Nanti bantu Mama geser dia,” kata Mama, suaranya samar-samar masuk dalam kesadaranku yang masih menghimpun nyawa, genggam demi genggam, seperti bantal yang dijejali dakron.
Beringsut aku menuju kamar mandi. Mama kembali ke dapur mengukus adonan. Terlihat lampu kamar Kakak masih padam. Benar karena ini hari Sabtu, dia akan berada di rumah seharian. Nanti pacarnya akan menelepon lagi tidak, ya? Sepertinya Kakak lagi ribut dengan pacarnya.
Kalau tidak salah, pacarnya ketahuan kencan dengan rekan kantornya dan teman Kakak memergokinya. Begitu ya pacaran? Aku tidak pernah pacaran.
Habis cuci muka, kudapati sepiring nugget Mama bentuk hati di meja. Tumben? Mama tidak pernah menggorengnya untukku, biasanya kulakukan sendiri. Kusendok nasi hangat dan kutuangkan secentong saus dari panci. Ini juga Mama loh yang membuatnya. Sedap bawang goreng yang digiling kasar dengan tomat segar, kaldu ayam, dan bubuhan lada memenuhi mulutku saat kucecap suapan pertama. Rasanya begitu menyatu dengan nugget hangat Mama yang renyah di permukaan dan berserat di dalam. Apa Kakak tidak rugi ya? Sejak awal Mama menjual nugget, tidak pernah dia mencicipinya. Padahal kalau dipikir-pikir, jika ada hal yang mampu mengimbangi sifat hambar Mama, tidak lain ialah nugget dan saus tomatnya.
“Ayo,” kata Mama tersenyum, menyelaku yang baru memegang buku, berpikir masih punya waktu untuk mengerjakan beberapa soal latihan.
“Udah dikecilin apinya, Ma?”
Mama mengangguk. Aku menutup buku latihan yang tumben-tumben kutengok di hari libur. Kami bersiap mendorong kulkas ketika aku tersadar bahwa ruang utama yang menyatu dengan dapur ini sudah padat terisi. Lemari kayu, kursi tamu, sofa, rak sepatu, bufet, akuarium, mesin cuci, dan perabotan lainnya yang berbaris seperti lanskap kota dengan tata ruang yang begajulan, telah rapat memenuhi tempat. Tidak ada lahan untuk menyelipkan si jumbo itu.
“Geser ke kamar Mama.” Katanya cepat.
“Seriusan, Ma?”
Kutengok kamar Mama untuk melihat kalau celahnya cukup. Itu dia, sedikit. Terdapat ruang yang kira-kira luasnya tidak sampai 1×1 meter di antara sudut tembok dan meja rias.
Mama merentangkan tangannya ke depan, membungkuk, dan langsung menekan atas kulkas, membuat barang ini doyong. Segera kuimbangi mendorong bawahnya sehingga setelah mengerahkan seluruh tenaga, kulkas mulai bergerak. Saat itu, aku mendengar suara klik yang lemah dan dari ujung mataku, kamar Kakak bersinar.
Kami telah menggeret kulkas — yang meninggalkan jejak gurat putih di lantai — sepertiga jalan menuju kamar Mama ketika Kakak keluar sangkarnya. Meski tidak menatap balik, bisa kurasakan matanya yang jutek merambat di lenganku yang tak dilindungi kaus. Aku mungkin salah tingkah, ketika berhenti mendorong sementara Mama mengayunkan lengannya ke punggung kulkas sehingga si bongsor ini nyaris saja terguling seandainya meja itu tidak menghalaunya hingga berdecit-decit. Di mata Kakak, kami pasti mirip sepasang pencuri amatiran yang parno ketahuan. Oh, ingin kukutuk kulkas ini jadi tato permen karet yang bagian mukanya tidak menempel rata pada lengan seorang bocah, yang karakternya menyusruk batu ketika ia main Downhill PS2.
Mama tersengal ketika kami sampai pada muka kamarnya. Tangannya menempel, melungsurkan minyak ayam pada kulit kulkas. Bau ayam dan keringat dari ketiakku berputar di antara kami.
Aku mengatur napas, memusatkan pandanganku ke dalam. Meja rias dan lemari adalah barang-barang yang masih harus dikeluarkan dulu supaya si bogem ini bisa masuk.
“Masyaallah!” kata mama tiba-tiba.
“Kenapa, Ma? Masih sempat kok dikeluarin satu-sa….”
Dia sudah berlalu ke dapur.
Tampak Mama merebut beberapa potong daging ayam berkulit kemerahan dari kulkas baru. Biasanya kalau begini dia baru ingat ada pesanan tambahan. Mungkin dari outlet rumah makan depan kompleks. Untunglah dia masih punya sisa daging.
Baiklah, kutelengkan sendiri lemari kayu ini dengan seluruh tenaga. Hah, beratnya! Pasti karena papan-papannya kayu jati. Saking berat bobotnya, sepertinya bukan cuma lemarinya yang bergerak, tapi engsel bahuku juga bergeser. Pasti juga karena aku terlalu malas buat mengentaskan isinya. Begitu juga dengan meja rias. Dia langsung kutenggor dengan bokong dan alhasil, lipstik dan alat dandan Mama menggelinding ke kolong ranjang. Bedaknya pecah. Aku menghindari perintilan itu dan malah tergelincir berkat hamburan bedak yang licin. Dug! Bokongku menyosor ubin. Dari tempatku terjerembab, Kakak datang dan berkata, “ih kenapa deh?” sambil mengitar-kitarkan charger ponsel di atas kepalanya bagai cowboy nyasar tak kenal akhlak.
Setelah bengek menggeret kulkas masuk, akhirnya barang ini tinggal kutenggor dengan punggungku dan… yak, dikit lagi, loh, gelap. Apakah lampunya mati? Tidak mungkin karena ini siang hari. Aku mendongak, ah itu dia masalahnya, satu-satunya jendela di kamar ini terhalangi tengkuk kulkas. Aku merebahkan diri di kasur Mama. Meresapi kegelapannya. Baru sebentar aku berbaring, rasa panas menyelubungiku. “Edan! Padang mahsyar!”
Berlari kutuju ruang tengah dan kulesakkan tombol turbo pada kipas. Bukan saja cahaya, tapi juga jalan udara telah mampet di dalam kamar Mama.
“Ma!” kataku kemudian. “Kulkasnya nutupin jendela. Kamar Mama jadi panas banget!”
Pergi Mama memeriksa. Tak lama dia langsung keluar dengan muka ayam rebus. Lalu dengan suara pelan namun tegas dia bicara, “pindahin ke sana,” menunjuk Kamar Kakak. Tentu saja aku tahu ini misi bunuh diri.
Tapi kami tetap mengeluarkan kulkas itu. Bak ucapan selamat, azan zuhur mendengking waktu kulkas berhasil kami singkirkan dari Kamar Mama. Angin bersusulan masuk di sana sehingga seandainya jendela itu tadi berlaputkan lapisan sabun, maka kamar Mama telah berjubelan balon-balon bening sekarang.
Keringat kami terus berembesan sedangkan kulkas terus digeser maju dan dia sudah hampir menyentuh kamar Kakak. Aku dan Mama serentak mengambil jeda buat bernapas. Kalau boleh jujur, aku tidak tahu sih apa yang sedang kulakukan. Yang aku tahu pasti akan ada penolakan. Aku seperti alat giling tepung yang berputar karena Mama menggerakkan tangan pada tuasnya. Jadi kami lanjutkan mendorong kulkas dan Kakak, yang mendengar gemuruhnya semakin riuh, terdengar membanting piring makannya ke dinding. Aku merinding.
Tapi Mama tampak kebal terhadap emosi manusia. Dia malah memberi aba-aba dan pada hitungan tiga, entahlah, hatiku kagok, kami menggusur kulkas dengan kekuatan buldozer, bersamaan dengan dering melengking dari ponsel Kakak yang rupanya di-charge di sebelah TV. Sontak ke arah kami Kakak menyerbu meraihnya dan, sungguh kejadiannya cepat sekali, jidatnya menumbur kulkas. Dia terkapar tak bergerak.
Dia tak apa-apa?
Lalu mulutnya berderak-derak.
Dan dia bangkit.
Oh aku tidak ingin berada di sini.
“Anjing!!!” sembur Kakak. “Pada gak ada kerjaan apa, hah?!!!” pita suaranya seolah nyaris putus.
Hening. Jantungku meletus. Aku mencengkram daster Mama.
“Pura-pura Ayah nggak main perempuan! Brengsek! Dia kawin sama OB! Mama tau itu!”
Apa? Hah? Apa?
Kakak berjinjit-jinjit, meremas kepalanya, ia tampak kesakitan.
“Kulkas disayang-sayang, anak dianggurin. Anak gue mati lu pada diem aja, yang penting muka gue nampang di acara kantor?! Yang penting orang lihat keluarga kita baik-baik aja?! Sadar, Ma. Istigfar!”
Dadaku terbakar. Apa yang dia bicarakan? Aku ingin Ayah pulang kemari dan bilang bahwa ini tidak benar. Atau Mama. Harusnya dia membela diri. Ayolah bicara, Ma. Mukanya mengeras. Tapi dia diam saja. Sedang kuguncang-guncangkan bahunya tapi itu cuma terjadi dalam mimpi. Mama malah kemudian menelantarkan kami ke dapur. Kakak berang. Dia gulingkan kulkas itu hingga lantai yang kami injak berdebam dan kusen-kusen jendela bergeletar. Aku harap kakiku tak sedang menapak. Sementara di dekat kompor, kaldu ayam mendidih mengguyur betis Mama. Sekonyong-konyong kemudian, entah apa yang merasukinya, Mama meraung, “Anton bajingan!!!”
Mama menggerung-gerung dan tergugu merangkum lutut. Aku tak berani bergerak, ke arah Mama, atau Kakak.
***
Kepalaku pening. Sinar matahari menyengat telingaku yang tidur di sofa bersisian dengan jendela. Aku beringsut duduk, badanku terasa aneh. Di lantai, kulkas itu melintang bagai kapal karam di suatu terusan. Rupanya itu bukan mimpi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan tadi siang. Ayah sudah menikah lagi, dengan Mbak Dwi yang pernah mentraktirku mi ayam itu? Pantas dia baik padaku. Tapi kalau dia baik dia tidak akan bersama Ayah, ya? Lalu Kakak menggugurkan kandungan? Berarti dia hamil? Pantas menstruasinya terasa panjang. Lalu waktu kondisinya gawat dan butuh ke rumah sakit Mama malah gupuh ke kantor Ayah? Kenapa? Di mana aku waktu itu? Saat ini, rasanya seakan ada pisau giling di kepalaku dan alat itu berdesing hingga pertanyaan, informasi, dan rasa tersisih lumat menyatu, hingga mesinnya gosong dan kabelnya putus.
Dan pertanyaan-pertanyaan lain terus bermunculan. Ayah benar-benar selingkuh? Kakak benar-benar keguguran? Kenapa tidak pernah ada yang menceritakannya padaku? Selama ini aku seperti bocah yang terus berhitung dalam permainan petak umpet mengira anak-anak lain berlari dan bersembunyi, padahal mereka sedang sengit mengalahkan, mencurangi, satu sama lain dalam permainan kartu yang tidak kumengerti. Dan ketika kubuka mata, seluruh kompleks sudah terbakar dan kartu-kartu beterbangan.
Kulkas ini terasa 16 kali lebih berat untuk dibangkitkan. Aku mengangkatnya sedikit sampai dia mendongak dan mengganjalnya dengan dingklik, lalu meja kecil, lalu mendorongnya dari bawah sampai alasnya ajeg ke lantai.
Rumah ini terasa lowong. Mama tertidur di kamarnya setelah betisnya kurendam dengan air bak dan perlahan dia tenang. Sedangkan Kakak, aku tidak tahu di mana, mungkin mau menyemprotkan sisa amarahnya buat memutuskan pacarnya.
Ketika aku dan kulkas berdiri berhadap-hadapan, tanganku bergerak memeluknya. Badannya yang kotak terasa kaku di lipatan lenganku. Kurapatkan dadaku pada dadanya, berharap ia menyerap semua yang kurasakan saat ini.
Seperti daun kering aku tertiup ke sudut ruangan dan setelah meyakinkan diri melakukannya, kusisihkan satu lahan dari lemari Napolly yang sebelumnya menempatinya. Kulkas itu sekarang terasa 16 kali lebih ringan saat kusapu ke celah tersebut. Dari lemari plastik, baju-bajuku yang harum Molto kupindahkan tumpuk demi tumpuk ke dalam kulkas. Pintu tengah yang bersekat-sekat untuk kaus dan seragam sekolah; freezer yang sempit untuk celana dalam, bra & kaus kaki (supaya tahan lama?); dan sorogan bawah yang lega untuk celana-celana. Sementara melakukannya, bulu-bulu kain mengapung dalam cahaya petang. Kemudian pintu kulkas kubuka-tutup seraya berdoa warna-warni yang berlipat-lipat cembung di dalam adalah bolu gulung dan bukannya kaus-kausku, karena aku belum makan siang.
***
Minggu pagi yang dingin. Aku menghidupkan pandang dan menangkap sudut manis tempat kulkas — lemari bajuku — berada. Bau ayam melayang tipis di tengah ruangan. Mama sedang bergerak-gerak di dapur. Dia tampak mondar-mandir meletakkan gorengannya ke meja makan. Di sana, sudah terhampar selayang kemegahan.
Hatiku yang sejak kemarin terasa kecil kelabakan ketika kudapati nugget yang bersusun-susun dengan warna keemasan dan gelap di pinggiran. Ada saus tomat dan bawang goreng terpisah juga. Oh ada capcai! Terakhir Mama memasaknya adalah… coba kuingat, 111 tahun lalu. Nasi di baskom juga tampak pulen, cantik di samping seteko teh yang asapnya berkepul-kepulan. Bolehkah kalau semuanya kuselundupkan ke dalam kulkasku?
“Ma, ini buat siapa?”
Mama menjawab pertanyaanku dengan meletakkan satu piring di hadapanku, satu piring di hadapannya, dan satu piring di hadapan kursi di tengah kami. Aku mati gaya sampai dia harus menunjuk pintu kamar Kakak. Kuketuk papan kayu yang catnya pudar itu dengan lembut. Kemunculannya yang begitu saja serta sorot mata sempitnya di balik bengkak rekah dan tampak nyeri itu, membuatku kikuk. Awalnya dia seperti hendak mencercaku, sampai pandangannya berpotongan dengan pandangan Mama dan dia dengan hati-hati bergabung.
Stiker bintang-bintang pada kulkas itu gemerlap dalam remang. Dan dalam hening, kami menyendok nasi dengan canggung. Belum sempat kubuat suapan pertama, terdengar isak-isak sehalus pucuk daun-daun belimbing yang saling bergosokkan diterpa angin, hampir terlewatkan bunyinya di antara denting-denting piring. Mama bersuara. Terdengar di sela sendat-sendat itu dia merapal sesuatu. Kini mataku dan Mata Kakak saling menemui dan untuk kali pertama, pandangannya sama sekali tak menghakimi. Apa katanya?
“Ma-fin Ma-ma.”
Oh?
Apakah ini nyata? Aku bahkan belum cuci muka.
Juli 2021 – Juli 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars
bagus
bagus banget