Lelucon Murah atas Hidup yang Tak Seberapa

Nuzul Ilmiawan

6 min read

Selamat datang! Sudah lama aku menunggu.

Duduklah! Aku sudah menyiapkan sebuah kursi untukmu. Jika berkenan aku akan menyiapkan kopi terlebih dulu untuk kita berdua. Ini bakal jadi pembicaraan yang panjang.

Kau sudah makan?

Baguslah kalau begitu. Kebetulan aku tidak memiliki makanan apapun untuk kusajikan padamu. Maafkan aku, tuan rumah macam apa aku ini. Tapi aku punya biji kopi segar, yang sekali diseruput akan membuat pikiran terngiang-ngiang selama beberapa hari. Kudapatkan dengan harga murah dari seorang pedagang ember keliling.

Waktu itu dia mengetuk pintu rumah dan menawarkanku ember-embernya. Kukatakan aku tak butuh ember. Kemudian dia bilang bahwa dia memiliki biji kopi yang didapatkannya dari seseorang entah bagaimana. Katanya dia tak punya alat untuk membuatkan kopi. Jangankan alat, mencari tempat untuk menginap saja susahnya bukan main, katanya.

Sebab aku memiliki jiwa yang terang, maka aku membelinya sekedar untuk membuatnya bahagia. Bahkan aku memberinya uang lebih, dan betapa kau harus melihat garis senyumnya dan cahaya kemilauan di kedua matanya yang jernih. Selepas aku masuk ke dalam, dia mengetuk-ngetuk embernya begitu keras saking gembiranya.

Tetapi terkejutlah aku selepas mengetahui bahwa kopi ini asli dari Hawaii yang kuperkirakan harga jualnya jauh lebih tinggi dari uang yang aku berikan padanya. Dan sekarang, kusajikan secangkir kopi Kona Hawaii kepadamu untuk sebuah lelucon murah atas hidup yang tak seberapa ini.

Omong-omong, bagaimana kabarmu?

Kesibukanmu apa sekarang?

Aku sendiri sudah lama berhenti menjadi hakim. Sebab itulah aku mengasingkan diri ke mari. Lagipula pekerjaan sebagai hakim sudah semakin sempit kian harinya. Semua orang telah menjadi hakim. Meskipun memang ruang pengadilan juga ikut bertambah banyak. Sekedar di persimpangan lampu merah pun telah berdiri ruang-ruang keadilan.

Entahlah, aku sendiri tak mengerti kenapa aku memilih tinggal di sini. Pada sudut perkotaan di mana suara bising tak lebih dari segenggam beras yang setiap hari aku kunyah-kunyah. Tetapi memang, mau seberapa bencinya aku kepada sesuatu, sesuatu itu sewaktu-waktu akan menjadi biasa kepadaku. Atau aku yang menjadi terbiasa kepadanya.

Sudah begitunya nyatanya maklumat alam. Kepada apapun aku ditimpa, ditempa, jika perlu aku dicemplungkan dalam air untuk seribu tahun lamanya pun aku tahu aku takkan mati. Bahkan diam-diam leherku menjadi robek dan menumbuhkan cecabang ingsang.

Kau mestinya meneruskan perjuanganku menjadi hakim. Ada banyak kemuliaan yang mengangkangkan dirinya sendiri di hadapan mata para hakim. Wujudnya beda-beda, bisa jadi amplop tebal, jabatan tangan, atau ditawari kelamin-kelamin kenyal serupa karet dan balon. Pekerjaannya juga gampang, kau tak perlu terlalu banyak membaca buku. Otakmu menjadi sempit apabila banyak mengetahui sesuatu. Cukup nyalakan hati nurani, dan ketuklah palumu sekencang-kencangnya, maka orang-orang dengan sendirinya akan berdiri dan bersorak-sorai kepadamu, terlebih jika kau memenangkan kaum melarat.

Tidakkah kau melihat juga bahwa di setiap persimpangan atau pojokan, selalu saja ada mata para hakim yang diam-diam mengawasi gerak-gerikmu beserta para algojonya. Seolah seseorang tidak perlu lagi sekolah hukum untuk menjadi seorang hakim. Bahkan orang yang sangat jauh sekalipun dapat menjadi hakim di tempat-tempat lain.

Mula-mula seorang hakim memerlukan meja agung dan palu istimewanya. Tetapi lambat laun, seorang hakim hanya membutuhkan jari-jari lentik dan jiwa yang sentimentil. Setiap peristiwa akan dipotret atau direkam, dan bakal ditayangkan di mana-mana. Dan rumah pengadilan tidak jauh-jauh lagi dan tidak lagi menjadi ruang formal. Selain carut-marut para preman yang tak mengerti cara menggunakan bahasa secara normatif.

Kutanyakan dengan lantang kepadamu, sedari kapan orang-orang menjadi bisu? Kenapa orang hanya berani bicara menggunakan tangan-tangan mereka? Apa karena takut mulut mereka jadi berbuih dan berbusa? Atau manusia telah menjadi amat gemar membaca hingga tak mau lagi mendengarkan kata-kata?

Aduh, maafkan aku karena terlampau banyak bicara.

Bagaimana kopinya?

Aku dengar-dengar kopi Kona Hawaii ini begitu dahsyat efeknya untuk otak kita. Meskipun semua kopi memang begitu, membikin otak menjadi kencang dan rapat, yang segala halnya jadi tertata, terurus lurus-lurus serupa kabel listrik yang menegang. Barangkali itulah kenapa kita menjadi gila. Sepatutnya kawat listrik dibiarkan mengendur sedikit supaya tegangan tidak terlalu kencang dan menimbulkan kontak api. Tetapi apa mau dikata, sekalinya berbicara, seseorang akan dibungkam dengan pengalaman orang lain yang hanya sekedar bahan mentah itu. Seakan bahasa menjadi begitu enteng, dan carut-marut adalah jajanan sehari-hari yang dapat diobral, ambil lima cuma bayar satu. Bahkan terkadang tak perlu dibayar sama sekali.

Begitupula dengan cinta. Tak ada lagi yang istimewa di dalamnya tatkala kelamin pun dijajakan di pinggir-pinggir jalan. Kadangkala seseorang juga berkeliling menjajakan cinta berkedok pijit terapi. Tak sekedar itu pula, cinta pun menjadi bahan tontonan umum yang bisa didapat secara cuma-cuma, dan seseorang tidak malu-malu lagi mempermainkan cinta.

Betapa lucunya ini, meskipun telah pensiun, nyatanya aku tetaplah seorang hakim. Seorang hakim memang tak pernah lepas dari mata-mata menghakimi yang penuh dengan penilaian lihai. Setiap jentik jemari diperhitungkan sebagai poin tambahan atau minus, tergantung situasinya seperti apa.

Akan tetapi mau bagaimana lagi, di dalam hukum pun suatu nilai hanya dipandang melalui moral dan etika. Tidak lebih. Aku menduga, menetap di tengah hutan liar di mana makhluk tak mengenal keduanya tampaknya jauh lebih hidup ketimbang tanah-tanah dunia yang berputar menyala-nyala oleh penilaian terhadap makna ini. Kupikir orang sudah tak peduli lagi terhadap makna, selain yang menjadi penting hanyalah bekerja dan bekerja, tetapi nyatanya masih banyak para pengkhotbah makna di mana-mana.

Mari sini dekatkan posisi dudukmu kepadaku. Ada sesuatu yang hendak kukatakan, yang aku takut apabila hakim lain mendengarnya, kita berdua bakal mampus sebagai bahan olok-olok atau tempat buang ludah dan hajat mereka.

Kubisikkan padamu: di suatu tempat di mana ada makna, di situ ada ego yang bersembunyi. Di mana ada ego, di situ ada hasrat. Dan di mana ada hasrat, O, Tuhanku, sekedar hendak mengatakannya saja aku merasa bergemetar dan merinding.

Dekatkan lagi telingamu: di mana ada hasrat, di situ ada dosa-dosa. Duh, ngeri betul!

Apa? Aku berlebihan?

Baiknya aku jelaskan dulu sebelum kau sendiri menjadi hakim untukku hahaha.

Tak ada lagi yang murni, dan sama sekali kita tidak mengenali sesuatu yang murni. Sekadar Tuhan pun lama-kelamaan menjadi kotor oleh tangan-tangan biadab yang mengkristalkan hasratnya ke dalam pangkuan Tuhan.

Justru, apabila kita mendengar seseorang berbicara tentang kemurnian, kita sepatutnya curiga kepadanya, jangan-jangan dia sebenarnya sedang ingin mengotori sesuatu. Jika seseorang berkata tentang kemanusiaan, jangan-jangan di baliknya ada maksud kelompok terselubung, yang berkehendak agar kemanusiaan menjadi hancur lebur. Begitupula ketika seseorang berbicara tentang keadilan, harusnya kita selalu waspada, barangkali ia hanya hendak berak di ruang pengadilan.

Siapalah manusia yang lebih kejam daripada dia yang menjual-jual surga dan neraka. Tak segan-segan orang itu mengikat kita oleh suatu hasrat sekaligus ketakutan. Tetapi dengannya dia menjadi makmur, mengendarai mobil-mobil mewah, memperlihatkan cincin-cincin berlian. Sebab tak henti-hentinya pula mereka menawarkan obat-obat penenang untuk jiwa kita yang selalu merasa gundah dan tertekan, yang efeknya jauh lebih dahsyat ketimbang obat dari seorang dokter. Serupa politisi yang menjerat rakyatnya agar terus menjadi miskin, semata-mata supaya kita bersujud di hadapannya agar diberikan beras-beras atau singkong. Dia bahagia atas ketakutan dan penderitaan yang menjangkit di dalam tubuh-tubuh kita, serupa kawanan belatung yang perlahan-lahan mengikis jantung sampai habis tak bersisa.

Sebagai hakim, kita harus curiga dengan sungguh-sungguh pada segala hal. Hanya dalam keraguan itulah yang menjadikan kita makhluk yang hidup. Sejujurnya, aku berhenti menjadi hakim tatkala aku menyadari sesuatu, bahwa seorang hakim pun tak pernah menjadi murni. Segala sesuatunya juga terikat oleh rasa takut, cemas, rasa bersalah yang begitu menjerit-jerit, sekaligus ia tak dapat membebaskan dirinya dari apa yang disebut baik dan apa saja yang berlawanan daripadanya.

Sepele saja jika seseorang ingin membedakan mana hakim yang buruk dan mana hakim yang baik. Carilah hakim-hakim botak, karena pada ruang kosong itulah terpampang kecemasan yang membakari rumput-rumput di atas kepalanya. Sedangkan hakim yang memiliki rambut, nyatanya rasa bersalah itu hanyalah hama yang sekedar menjadi kabur oleh harta-harta karun yang diterimanya.

Aku pikir, seorang hakim hanya dapat mengetuk palunya ketika ia mengetahui sebuah jawaban, bahwa ketukan palunya itu tak memiliki arti apa-apa selain satu lelucon yang bahkan seorang badut harian lebih mampu membuat orang tertawa-tawa.

Hidup memang tak seberapa, tapi harganya begitu mahal. Begitu murah harga sebuah hidup hanya ketika seseorang memiliki uang untuk membayarnya kepada hakim. Dan aku menjadi kaya raya ketika menjualkan hidup kepada para koruptor yang wajahnya setebal beton-beton bangunan mangkrak. Untungnya, tidak ada sesiapapun yang merasa curiga terhadap rambutku yang lebat ini.

Tetapi, dengan sendirinya lagi-lagi aku menjadi bingung atas apa yang aku anggap murni. Sebab tak ada lagi kemurnian yang dapat kutemukan, dan dengannya aku jadi menderita. Seolah-olah aku telah menjadi kotor. Semula aku mengira diriku serupa perawan yang tak pernah keluar rumah, dan sekonyong-konyong seseorang masuk ke kamar dan memerkosa tubuhku secara buas dan brutal.

Hingga sering kali aku mengidap malu yang sedemikian perihnya sampai aku sendiri enggan merangkak dari kasurku menuju kamar mandi, dan aku terberak sekaligus terkencing-kencing dalam kesadaran penuh di atas tempat tidurku sendiri. Rasanya aku sedang dikelilingi oleh banyak orang pada suatu pasar. Dihujat oleh seribuan mulut yang lagi-lagi terikat pada sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Mereka melepaskan dirinya dari keberadaan makna begitu saja, seolah makna adalah sampah yang dapat dibuang ke selokan yang dengannya air bah datang. Lantas aku dihujani oleh bensin-bensin, dan aku dibakar hidup-hidup di tengah keramaian itu. Setelahnya aku baru tersadar, bahwa kenyataannya tubuhku telah dibanjiri keringat dingin dan di sekelilingku tak kutemukan siapa-siapa selain orang yang begitu hina, yaitu diriku sendiri.

Telah berkali-kali aku mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang menjeratku serupa rantai-rantai besi ini. Dan aku menjadi lelah karenanya. Lemas bagai pelacur yang digerayangi seribuan lelaki hidung belang yang tak peduli soal cinta.

Hingga sampailah aku pada pertemuan dengan penjual ember itu. Dan pada saat itulah aku menemui suatu kemurnian yang begitu jernih dan mentereng bentuknya. Seolah untuk pertama kalinya aku melihat bahwa lautan ternyata memiliki berlian yang berkemilauan pula. Daripadanya aku tak hanya belajar bahwa kopi dari Hawaii tak kalah nikmat dari kopi Sumatra, tetapi juga menyadari bahwa kopi Hawaii ini juga dapat dijual dengan harga murah.

Hanya ketika seseorang tak mengetahui apapun jua, pada saat itulah kemurnian menyembulkan dirinya seperti sebongkah keemasan dari ufuk timur saat malam merangkak pergi menuju persembunyiannya. Dan aku menangis. Ternyata ada seseorang yang wujudnya begitu murni, yang dalam tawa kebahagiaannya itu ia begitu fasih menyenandungkan sebuah melodi yang tak seorang pun pernah mendengarnya. Itulah dia suatu keterasingan yang membutakan sekaligus membahagiakanku.

Tapi seperti yang sudah aku duga sebelumnya. Sesaat aku mengetahui hal itu, aku kembali menjadi kotor seperti babi dalam kubangan lumpur yang memakan kotorannya sendiri. Membuat aku terduduk bersimpuh, bahkan bersujud sebagai pertanda aku menyerah untuk menjadi murni.

Maka kukatakan pada diriku sendiri, biarlah kekotoran ini menyelimuti tubuhku dengan lebih dahsyat lagi. Namun ada baiknya aku pergi menyingkir supaya seseorang tidak mengetahui aku begitu kotor dan berbau busuk.

Hingga pada kenyataannya, akulah dia lelucon murah yang sebelumnya kujanjikan padamu. Akulah bahan tertawan yang paling hebat, yang orang lain tak pernah mampu memahami betapa lucunya lelucon ini. Dan dalam kesendirian itu pun aku terhibur. Ternyata menjadi bahagia tak perlu berkelana terlalu jauh, cukup menghadap cermin, dan tersenyum-senyum. Di seberangnyalah terpampang suatu lelucon paling murah atas hidup yang tak seberapa ini, yang semua orang dapat menertawakannya apabila mereka mau, dan mereka sama sekali tak perlu membayar karcis.

Kau mungkin kecewa mendengarnya. Tapi, ah, sudahlah, mari kita berdua menikati secangkir kopi Kona Hawaii ini. Kebetulan matahari sore begitu pekat menawan. Barangkali senja yang cantik itu pun akan ikut mampir ke ruang tamu bersama kita. Dan nanti malam, kita akan menghadapi sebuah pertunjukan komedi yang begitu murni, yang tak pernah menjadi basi semenjak ratusan ribu tahun lalu. Entah di tempat pembaringan bersama kekasih, atau sekedar memeluk bantal guling kesendirian yang dengannya siapa saja tak akan pernah merasa kesepian lagi.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Nuzul Ilmiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email