Penyuka Kopi dan Buku

Lelaki yang Ingin Menjadi Sukab

Rahmat R. Souwakil

3 min read

Hujan datang. Lelaki itu masih terus menangis. Ia menangis lebih keras diringi dengan petir. Air matanya tak jatuh. Hujan lebih dulu menghapus air matanya. Dan lukanya masih basah. Hujan tak bisa membersihkan lukanya yang masih basah. Luka yang masih merah. Merah sekali. Dan lelaki itu masih terus menangis sekuat-kuatnya. Dan hujan semakin deras. Akhirnya lelaki itu jatuh mencium tanah.  Ia roboh setelah dihantam luka dan hujan di malam itu.

Lelaki itu tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ia masih tertidur di bawah kolong langit yang malang. Di dalam ketidaksadarannya selama terjatuh, orang-orang datang tapi bukan untuk menolong lelaki itu. Mereka hanya datang sekadar untuk memotret. Dan sesudah itu mereka kembali tanpa berpikir tentang nasib lelaki itu, orang-orang itu hanya berpikir tentang berapa banyak like yang akan diperoleh.

Dunia maya ramai dengan postingan tentang lelaki itu. Banyak like yang diperoleh orang-orang. Ada belas kasihan yang juga diperoleh. Namun, begitulah dunia maya, yang dibutuhkan hanyalah like. Dunia maya semakin ramai, lelaki itu masih belum sadarkan diri. Ia masih berada di dunia entah berantah.

Ketika semua orang telah pergi dari tempat di mana lelaki itu jatuh, jalanan jadi sunyi. Sunyi sekali. Tak ada orang. Seram. Angin pun takut untuk melewati jalan di mana lelaki itu terbaring tanpa sadarkan diri. Semua jadi sunyi dan seram. Lelaki itu juga belum sadar. Kini sudah dua puluh tiga malam lelaki itu belum sadarkan diri. Cukup lama.  Memasuki hari ke dua puluh empat, lelaki itu bangun dari tidur yang panjang. Ia tak tahu ada di mana. Dan kenapa ia tertidur di tempat ini. Di hari ke dua puluh empat, orang-orang datang menghampirinya untuk bertanya, apa yang sedang terjadi? Ia tak tahu ketika ditanya.

Lelaki itu masih berjalan dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi beberapa hari lalu. Ia berusaha keras dan tak berhasil. Semakin ia berusaha semakin ia merasa tak ada apa-apa yang ia alami selama beberapa hari. Akhirnya ia berhenti di sebuah sudut jalan dan menoleh ke belakang, entah apa maksudnya menoleh ke belakang. Di belakang ada jawaban. Jawaban yang bisa mengembalikan ingatan lelaki itu. Iya ingatan itu yang kita tunggu.

Ketika lelaki itu melihat ke belakang, matanya menemukan sebuah nama yang tak lagi asing baginya. Alina. Lelaki itu berulang-ulang mengeja nama itu, Alina. Alina. Siapakah Alina, lelaki itu membatin.

***

Di malam terakhir penghujun bulan Desember, lelaki itu dan kekasihnya berjalan di bawah sorotan bulan purnama. Mereka baru saja selesai merayakan hari lahir perempuan yang kini sudah menjadi bagian hidupnya. Mereka bergembira tanpa jeda, merayakan ulang tahun dengan rasa saling memiliki yang melimpah.  Yang mereka rasakan hanyalah kebahagian pada malam itu. Tak ada yang lain selain kebahagiaan. Mereka lalui malam nan panjang tanpa ada jarak yang berarti. Hingga pada suatu waktu, lelaki itu bercerita tentang Alina.  Siapa Alina? Tanya kekasihnya? Alina adalah kekasihnya Sukab. Orang yang rela memotong senja dan dunia geger gara-gara kehilangan senja. Kekasihnya menjelaskan sambil senyum.

Kekasihnya tak percaya apa yang diceritakan oleh lelaki itu. Lelaki itu sekuat tenaga menjelaskannya tapi hati kekasihnya sudah jadi batu yang mengeras. Semakin dijelaskannya, hati kekasihnya lebih mengeras. Dan tanpa dialog yang lebih panjang lagi sejak ia mendengar nama Alina. Perempuan yang sedang bahagia merayakan hari jadinya itu memutuskan hubungannya bersama lelaki yang secara jujur telah jatuh hati pada kisah Alina dan Sukab itu.

Lelaki itu berusaha untuk meyakinkan kekasihnya, bahwa Alina hanya tokoh dalam cerita. Kekasihnya tak lagi mempercayainya. Lelaki itu tak kuasa menahan rasa sakitnya. Ia menangis  sampai air mata kering dan hanya tertinggal suara. Ia berjalan menyusuri pagi nan dingin. Ia kini mencari kekasihnya di rumahnya, ia tak bertemu. Kekasihnya benar-benar telah menutup diri terhadapnya.

Seharian lelaki itu berjalan menyusuri jalanan nan ramai. Ia ke pantai. Menghakimi Alina dan Sukab. Karena ulah mereka ia harus jauh dan kehilangan kekasihnya. Ia terus menghakimi Alina dan Sukab tanpa henti hari itu. Ia berniat menunggu senja hari ini. Sambil menunggu senja, ia menyesali apa yang telah ia katakan malam itu. Ia tak sengaja menyebut nama Alina pada kekasihnya di hari lahirnya. Air matanya jatuh tapi tak banyak. Sakit hatinya yang lebih banyak.

Hari semakin malam. Dan senja yang ia tunggu tak kelihatan. Awan hitam telah menutupnya. Ia mengutuk awan sore itu. Akhirnya ia kembali. Esoknya ia datang lagi, dan senja juga tak kunjung terlihat. Ia marah. Marah sekali. Apakah senja telah dipotong oleh seseorang? Ia membatin.

Di hari terakhir ia kembali ke pantai untuk melihat senja. Kekasihnya memberi kabar. Ia bahagia. Jika kamu ingin kita ada lagi, maka bawakan aku senja malam nanti. Pinta kekasihnya. Sebelum lelaki itu menyanggupi atau menolak permintaan kekasihnya, kekasihnya lebih dulu mengakhiri panggilan itu. Dan tanpa pikir panjang, lelaki itu kembali ke pantai ingin meniru apa yang dilakukan Sukab. Lelaki itu ingin memotong senja untuk diberikan pada kekasihnya dan mereka kembali ada. Lelaki itu ke pantai. Dan senja tetap saja tak terlihat. Ia kecewa dan marah. Sedih kepada semesta.

Malam itu ia menemui kekasihnya di rumah. Namun, ia datang hanya membawa senyum yang ia punya. Ia tak membawa senja, sebab senja yang ia tunggu-tunggu tak ada di pantai. kekasihnya meminta senja yang ia minta tapi tak ada.

Kamu tak bawa senja padaku? Tanya kekasihnya.

Senja yang kamu minta telah hilang. Tak ada di langit sore hari di pantai itu. Jawab lelaki itu.

Kamu bohong. Mana ada senja tak ada di sana. Bantah kekasihnya

Aku telah menunggu senja itu berhari-hari dan tak ada. Jawab lelaki itu.

Bila senja itu tak ada dan tak bisa kau berikan padaku malam ini, maka kita pun tak ada untuk selamanya mulai malam ini.

Lelaki itu tak menerima keputusan kekasihnya. Ia masih bersikeras. Namun kekasihnya lebih keras dari baja. Akhirnya ia pulang. Di tengah jalan hatinya patah tak ada ampun. Air matanya jatuh tanpa jeda. Dan akhirnya hujan pun membasuh dirinya, dan dia roboh tanpa sadarkan diri selama dua puluh tiga malam.

Sebelum jatuh, lelaki itu masih sempat memanggil Kristeva, nama kekasihnya, sebagai mantra untuk tidurnya yang panjang.

Rahmat R. Souwakil
Rahmat R. Souwakil Penyuka Kopi dan Buku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email