Lelaki Itu Menangis dan Puisi Lainnya

renaldi septian

2 min read

CINTA DALAM BUKU MERAH

/1/
Gadis cendikia berparas jelitawan
Pandai bercakap, tanggap bersikap
Terlena anak petani
Tampang selangka mahkota dewa
Namun berilmu hanya sebatas padi

/2/
Mereka berjumpa di balai kota
Saat petani nusantara bersuara
Menuntut haknya yang entah di mana

/3/
Mereka bersua dalam hening desa
Duduk sejajar dengan padi jawa
Mereka saling mengadu rasa
Seolah sawah hanya dua sahaja

/4/
Tapi tak ada kata kasih dalam kisah
Yang ada hanya kebusukan pemerintah

/5/
Satu-satunya yang romantis adalah buku merah
Diberikannya kepada anak tani yang pipinya memerah
Ashar menjelang, mereka berpisah
Buku merah menjadi tanda ceklis dua perihal cinta yang merekah

/6/
Tiga belas malam tak ada kabar gadis cendikia
Rindu mulai bekerja pada porosnya
Anak tani bergumam pada malam
Mengancam lewat doa agar bertatap muka

/7/
Sayang, yang teraminkan hanya muram
Ia berdiam, dengan buku merah di meja
Yang tak pernah ia tahu isinya
Bagaimana ia tahu, huruf saja ia buta?
Lalu ia tertidur ditikam gulana

/8/
Akhir bulan september gerimis tak lagi romantis
Diingatnya kisah di pematang sawah
Seorang gadis menatapnya teramat manis
Bersendau gurau lalu luluh dalam lelah
Namun sekarang yang tersisa hanyalah tawa miris

/9/
Menjelang malam penduduk desa berseliweran
Bendera gerakan komunis hilang di jalanan
Anak tani bingung dimakan keadaan
Yang ia tahu hanya jam malam yang digiatkan
Ia pulang dengan kekhawatiran
Berdiam sepanjang malam
Dengan rindu yang masih besemayam

/10/
Dini hari ia dikagetkan
Gedoran pintu menggetarkan dinding
Beberapa orang bermata tajam
Mendesak masuk tanpa salam
Anak tani tak bisa bergumam
Bendo di kepalan membuatnya bungkam

“KOMUNIS BAJINGAN!”
seru pria seram itu.

/11/
Teriakan itu menggema di ruangan
Anak tani tak karuan
Ia merasa tak pernah ikut gerakan
Membela diri dengan kebingungan

“KAU PIKIR INI KITAB TUHAN!”
seru pria seram itu, lagi.

/12/
Mereka menunjuk buku merah di meja makan
Anak tani menghela nafas dalam
Yang ia tahu buku merah hanyalah kenangan
Tiba-tiba pukulan menghunjam kerongkongan
dan semuanya hitam.

/13/
Buku merah terbakar
Bentuknya perlahan hilang
Bersamaan dengan pertemuan
Bersamaan dengan kerinduan
Bersamaan dengan kegelisahan
Bersamaan dengan kenangan
Bersamaan dengan kekecewaan
Hingga habis api dilalap kesetiaan.

SOAL UANG

/1/
Demi mata uang manusia bersaksi
Demi nama uang ada yang sumpah-serapah

/2/
Ada yang dirampas bahagianya
Ada yang dirampas sedihnya
Ada uang dirampas jiwanya

/3/
Kehilangan suci
Kehilangan rahim
Kehilangan cinta
Atas dasar uang
Dan segala omong kosongnya

/4/
Ijazahku tergantung banyaknya nol
Tapi mapan adalah nol tak terkontrol
Surga tak ada tanpa satu juta nol-nol-nol

/5/
Selamat datang,
Di sejarah yang lunas di atas materai
Yang pegang uang berkuasa
Yang miskin mencicil harga merdeka

MAAF

Dari pagi sampai mati
Dari balita sampai duda
Dari miskin sampai miskin sekali

Mereka turun ke jalan
Berhamburan,
Berbondong mencari tangan
Bersalaman,
Ber-maaf-maafan

Semuanya berucap maaf
Pada orang tua,
Pada saudara,
Pada kuburan,
Pada batu,
Pada bandar judi,
Pada cinta,
Pada seluruh dunia

Pada saat itulah,
Maaf menjadi sebuah kata
Yang dijual semurah agama.

SURAT TERBUKA UNTUK BAGINDA

Yang terhormat Baginda.
Di tempat.

Apa kabar baginda,
Masih empukkah singgasana itu?
Adakah dalam setiap malam anda melamunkan kami?

Tahukah anda tentang kemuakan ini,
Segala isu atau apalah yang kami pun tak tahu kebenaranya
Persepsi macam rumus mubazir karena hasilnya pun tak ada
Dan lolonganmu yang semakin hari, semakin risih di telinga

Hasutan apalagi yang lebih nista dari kemunafikan
Mencemari otak dengan omong kosong kemakmuran
Mengikat otak, buku, dan terus mengibuli
Sebab kebodohan kami, anugerah yang anda amini

Hiduplah untuk satu golongan,
Matilah yang tidak digolongkan

Apakah anda habis otak,
Sampai keyakinan kami pun anda tinta-hitamkan
Memboikot nurani dengan fakta entah dari mana
Apakah anda tidak memahami untaian Karl Marx
Bahwa agama moral yang aktif,
Bukan sekadar ekspresi ideologi dari hirarki sosial yang naif
Kami kira yang di singgasana lebih bermoral dari yang dipenjara pemikirannya

Mau ke mana anda bawa ratusan juta kepercayaan ini?
Kami butuh peta
Agar kami makmur sentosa
Dan tak bertanya-tanya
Inikah?
Benar kah?
Atau malah
Buntu kah?

Aduh, pemerintah!

LELAKI ITU MENANGIS

Di depan Stadion Maguwoharjo,
Lelaki proletar itu menangis.

Bingung, rokoknya habis
Kopinya habis
Bensin motornya habis
Tapi utangnya belum habis
Uangnya sudah menipis
Dompetnya ikut menangis
Seorang borjuis tak menangis
Lelaki itu menangis lagi
Lebih kencang, lebih lantang

: Ingin mati tapi takut bunuh diri
Mau hidup tapi hanya bisa menangis lagi.

*****

Editor: Moch Aldy MA

renaldi septian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email