Lebih banyak membaca dan merenung.

Layang-Layang Spanduk

Boiman Manik

3 min read

Jantung Oji seakan mau meloncat kala melihat bosnya terbang terbawa angin. Ia melihat wajah bosnya yang gagah dan berwibawa didampingi tulisan “Pilih Saya Maka Rakyat akan Makan Gratis!” melambai-lambai di ujung langit. Oji meloncat lalu pergi ke rumah tukang pembuat spanduk.

Oji diberi tugas mudah oleh bosnya. Pastikan semua spanduk terpasang. Tugas mudah itu jadi sulit karena angin jadi musuh utama. Dari seratus spanduk yang terpasang hanya sepuluh saja yang bertahan.

“Ini harus dilubangi agar tidak hanyut terbawa angin.”

Sebagai calon walikota, bosnya ingin tampil ideal dan tidak ada ruang untuk terlihat buruk. Ia adalah calon walikota unggulan, berasal dari keluarga terpandang di kotanya. Banyak yang kagum akan wibawa, kegagahan, dan tentu ketampanannya. Bahkan bosnya disamakan seperti macan tapi merakyat. Sulit digapai karena ditakuti tapi sebenarnya ada dan dekat dengan rakyat.

Oji diperintahkan untuk menjaga wibawa dan kegagahan bosnya. Lubang pada spanduk dianggap oleh bosnya sebagai pengganggu wibawa yang ia banggakan. Bosnya ingin semua tampak sempurna dan tanpa celah.

“Ya sudah lubangi saja sedikit, pada bagian sampingnya.” Oji berkata dengan pasrah. Baginya itu sedikit lebih baik karena ia tidak melubangi bagian tubuh dari bosnya. Kemudian seratus spanduk kembali dipasang.

Angin bertiup kencang hari ini. Hampir semua spanduk milik bosnya berseliweran terbawa angin. Walau sudah dikenal baik oleh masyarakat, bosnya tetap rajin kampanye melalui spanduk.

Lawannya adalah petahana yang sudah diprediksi akan menang. Namun, bosnya yakin dengan gayanya saat ini akan memikat hati masyarakat. Bosnya rajin blusukan, mengunjungi rakyat, membangun rumah yang hampir roboh di kawasan pinggiran, dan rajin bagi-bagi sembako. Sosok elit mana lagi yang bisa menjadi gagah dan berwibawa sekaligus dekat dengan masyarakat.

Oji pun kebingungan, mau tidak mau lubang harus ditambah. Spanduk harus segera terpasang agar kampanye bosnya berjalan dengan baik. Di sudut kota Oji melihat bosnya sedang berorasi dengan gagahnya. Sebagai orator yang andal, bosnya mampu menaikkan emosi dan semangat masyarakat. Oji tentu malu jika ia tidak bisa melaksanakan tugas mudah ini.

Bermodalkan Supra bututnya, Oji melaju ke tukang spanduk. Memesan dua ratus spanduk untuk dipasang di sudut-sudut kota. Oji harus merelakan bagian tubuh bosnya di lubangi. Tukang spanduk memberi anggukan tanda setuju. Sudah seharusnya itu dilakukan sejak kemarin. Bukan menyesal setelah ratusan wajah terbang melayang di udara.

Namun, rupanya angin masih terlalu digdaya untuk spanduk-spanduk tersebut. Walau sudah dilubangi sana-sini, ternyata lubang yang ditempatkan tidak merata, sehingga spanduk masih saja terbawa oleh angin.

“Mau tidak mau bagian tengah juga harus dilubangi!” Ujar si tukang spanduk.

“Apa tidak bisa di tempat lain, Pak?”

“Bisa saja, tapi paling terbawa angin lagi.” 

Handphone milik Oji berdering nyaring. Segera ia angkat dengan gerak tangan yang gelagapan.

“Sudah puluhan juta kuserahkan uang, tapi tidak banyak spanduk yang terlihat!” Dari seberang sana Oji bisa merasa sang macan berwibawa sedang penuh amarah. Aura ini mungkin yang membuat orang sungkan mendekatinya. Oji hanya bisa terpaku dan terdiam.

“Jika sampai besok tidak ada spanduk yang terpasang, kau dan keluargamu harus keluar dari rumahku!” Oji barangkali menjadi seperti kucing yang tersesat kehilangan panca inderanya. Matanya buram, tangannya kebas, dan lidahnya mati rasa. Di tempat mana lagi ia bersama istri dan dua anaknya bisa berteduh dari panasnya siang dan dinginnya malam. Hidup Oji dan keluarganya ada dalam genggaman bosnya.

Sementara saingan bosnya mampu membuat baliho kampanye dengan konstruksi yang kuat. Uang yang dibutuhkan untuk baliho seperti itu tentu sangat besar, sedangkan Oji sudah menggunakan banyak biaya untuk spanduk yang terbang sebelumnya. Jika minta uang lagi, bosnya tentu akan emosi. Mau tidak mau Oji harus melakukan strategi yang sama, tetapi dengan banyak penyesuaian.

Oji memesan tiga ratus spanduk yang sudah dilubangi secara merata. Muskil rasanya spanduk-spanduk tersebut terbawa angin kecuali angin topan. Selang beberapa hari Oji merasa ini adalah keajaiban. Dia sudah tidak pernah lagi melihat langit yang penuh dengan wajah bosnya. Jantungnya berdegup normal kala ia tahu spanduk-spanduk itu masih kokoh pada tempatnya.

Bosnya masih dengan baik blusukan dan berkampanye. Melalui berbagai survei ia sudah mulai mendekati elektabilitas petahana. Jika ratusan spanduk bisa terpasang dengan kokoh, maka tinggal menunggu waktu saja sampai bosnya benar-benar semakin dikenal.

Hari ini adalah hari pemilihan. Pada sore hari, Oji diminta datang menemui bosnya.

“Ji, tau gak politikus ompong?” Tanya rekan oji yang sedang lahap-lahapnya melumat makanan di mulutnya.

“Apa itu? Baru dengar saya.”

“Itu sudah ramai Ji, kamu sih jarang liat media sosial! Sudah masuk berita nasional.” Temannya tersedak karena tidak tahan tertawa begitu kencang dengan kejadian yang diceritakannya tersebut.

Oji tak menanggapi rekannya tersebut. Ia hanya fokus pada makanannya saja tanpa peduli gelak tawa yang terjadi di sekitarnya. Walau mengganggu, Oji mencoba tetap tenang karena siang ini ia akan menemui bosnya. Oji meninggalkan warung makan yang tak pernah berhenti tertawa sedari tadi dan pergi menuju kediaman bosnya. 

Saat tiba, ia pun diantar oleh sang ajudan masuk ke sebuah ruangan. Ini pertama kalinya Oji masuk dalam ruang kerja bosnya tersebut. Di sana  terdapat beberapa lukisan tokoh terkenal. Terdengar suara pendingin udara yang cukup kencang yang beriringan bersama musik klasik yang mengalun merdu, namun terdengar sedikit gelap. Saat masuk Oji menghirup wangi rokok yang baru saja dibakar dan menjadi wangi paling berkuasa di dalam ruangan tersebut.

Ada meja yang cukup panjang dengan enam kursi dan ada sebuah meja kerja dengan dua buah kursi saling berhadapan. Kursi untuk pemilik ruangan adalah sebuah kursi mahal yang terasa sangat nyaman jika diduduki, kursi untuk tamu yang datang adalah kursi kerja biasa. Oji duduk dengan sedikit gelagapan di kursi kerja yang telah sedari tadi berusaha menyedotnya untuk duduk. Saat melangkah menuju kursi tadi, Oji  merasakan tekanan amarah yang sangat kuat hingga memancing keringat jagungnya keluar dari dahi. Sapu tangan miliknya tak cukup untuk mengelap cucuran keringat yang keluar sangat deras.

“Saya terpilih jadi walikota.” Bosnya membuka pembicaraan sambil menyemburkan asap rokok ke udara. Namun, bosnya menunjukkan wajah sangat kecewa pada Oji. Asbak pun terlempar ke sudut ruangan dengan sangat kencang. Bosnya meluapkan amarah yang sedari tadi ditahan. Kemarahannya kemudian mereda saat asap rokok memenuhi dadanya.

“Tidakkah kau tau Ji, apa yang sedang kujaga selama ini? Kegagahan, wibawa, dan pribadiku yang dekat dengan rakyat. Aku ingin terpilih karena itu! Sekarang kau hanya membuatku jadi bahan olok-olok, aku terpilih karena kebodohanmu!” Dengan penuh amarah bosnya melemparkan koran dengan halaman depan yang penuh dengan wajah bosnya.

Oji kaget dan tersentak melihat itu. Itu adalah spanduk yang selama ini ia kerjakan. Foto-foto bosnya terpajang, dengan bagian giginya berlubang. Oji mau pingsan ketika membaca tajuk utama dari koran tersebut: “Macan Ompong Terpilih Jadi walikota!

***

Editor: Ghufroni An’ars

 

Boiman Manik
Boiman Manik Lebih banyak membaca dan merenung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email