“Pisang!” seru Lalat Buah begitu melihat lukisan buah pisang. Semakin dia mendekat, pisang yang dilihatnya tampak seperti pisang raksasa. Matanya berbinar-binar, air liurnya menetes. Ketika dia hendak memakan pisang itu, Lalat Buah kebingungan karena bentuk pisang yang dilihatnya berbeda, padahal warna pisang itu mirip seperti pisang pada umumnya—kuning kecoklatan. Untuk memastikan, Lalat Buah menjauh dari lukisan pisang. Semakin menjauh, pisang yang dilihatnya semakin kecil seperti ukuran pisang asli. Lalu Lalat Buah mendekat lagi, pisang raksasa berada di hadapannya.
Lalat Buah menjulurkan lidahnya, menjilat pisang raksasa. “Baunya aneh, seperti bukan buah. Tapi ada sedikit keharuman yang tak pernah kutemui sebelumnya!” seru Lalat Buah menciumi pisang itu hingga tanpa sadar keluar dari goresan kuning.
“Uh, oh!” Lalat Buah melihat seekor lalat yang mirip dengannya sedang menempel di bawah pisang. Hampir saja dia menyangka bahwa lalat itu hidup. Lalat Buah kembali ke goresan berwarna kuning, kembali menciumi pisang raksasa. Setelah merasa puas, Lalat Buah melihat sekitar.
“Pir!” serunya sambil mendekat ke lukisan buah pir. Sama seperti sebelumnya, semakin dia mendekat ke lukisan, semakin dia melihat lukisan buah raksasa. Segeralah Lalat Buah menciumi buah pir dalam lukisan yang berwarna hijau kekuningan. “Baunya sama seperti pisang tadi,” ucap Lalat Buah.
Ruangan senyap dengan pencahayaan terang membalut lukisan, membuat lukisan-lukisan mencolok seperti keluar dari dinding putih. Lalat Buah merasa seperti berada di surga, dikelilingi dengan lukisan buah-buahan kesukaannya. Setelah menikmati lukisan buah pisang dan pir, dia berkeliling mendapati ternyata ada banyak lukisan buah-buahan lainnya; anggur, pepaya, jeruk, melon, semangka, dan sebagainya. Didapati pula beberapa lalat-lalat yang mengelilingi dan mengghinggapi buah di lukisan itu seperti sedang menikmati makanan. Baru disadarinya kemudian bahwa semua yang berada di dalam lukisan terdiam seolah membeku kedinginan. Tapi Lalat Buah yakin di dalam lukisan itu tak ada yang kedinginan, karena cahaya oranye yang terlihat hangat. “Mereka seperti abadi,” gumam Lalat Buah mengamati lukisan lalat yang hinggap di lukisan buah anggur.
Lalat Buah ingin masuk ke dalam lukisan.
“Adakah sebuah lubang agar aku bisa masuk ke dalam?” tanyanya sambil mengelilingi satu persatu lukisan, namun dia tak menemukan satu lubang pun. “Hei, bagaimana cara kalian masuk ke dalam?” tanyanya pada lalat-lalat yang mengerumuni buah di dalam lukisan. Pentanyaannya dibalas dengan sepi membuat Lalat Buah kebingungan.
“Pasti menyenangkan berada di dalam,” ucapnya sambil berpikir cara lain untuk masuk ke dalam lukisan.
Lalat Buah berkeliling, menemukan lukisan buah-buahan yang bertumpuk seperti gunung. Dari lukisan itu terlihat buah-buahan yang ditata tak beraturan, di bagian bawah buah-buahan terlihat busuk, banyak lalat seperti Lalat Buah yang mengerumuni buah itu. Semakin ke atas, buah-buahan semakin segar dan mengilap. Sebuah apel merah bercahaya di ujung tumpukan. Tak ada lalat yang hinggap di apel merah itu, membuat Lalat Buah ingin menghinggapinya. Dia segera mendekat pada apel merah, perlahan apel itu menjadi apel raksasa yang baru ditemuinya. Lalat Buah menciumi apel merah itu dengan penuh menghayatan, sampai rasanya dia ingin melubangi apel itu hingga membusuk seperti buah-buahan yang berada di bawah. Tidak puas dengan apa yang dinikmatinya, keinginannya berada di sebuah lukisan semakin besar. Perlahan Lalat Buah menjauhi lukisan itu, buah-buahan terlihat seperti ukukan biasanya. Lalat Buah berhenti, kemudian mempercepat kemampuan terbangnya menuju lukisan, sasarannya tepat pada apel merah yang baru dinikmatinya. Dia menabrakkan diri pada lukisan, berharap menjadi lalat-lalat membeku seperti dalam di lukisan itu.
Bukannya masuk dalam lukisan, Lalat Buah justru merasakan sakit kepala tak tertahankan. Semua yang dilihatnya seolah berputar-putar. Lalat Buah segera menyeimbangkan badan dan sayapnya. Dia kembali menjauh, kemudian menabrakkan diri lagi. Berulang kali Lalat Buah menabrakkan diri pada lukisan itu hingga membuat sayapnya mulai bengkok, tiga ujung kakinya patah, dan satu matanya rabun.
Bukannya malah menyerah, Lalat Buah menjadi tertantang. Dia memperkuat tekadnya uuntuk masuk dalam lukisan. “Bagaimana pun caranya, aku harus bisa masuk. Jika lalat-lalat lain sepertiku bisa, mengapa aku tidak bisa?” ucapnya sambil menjauh dari lukisan, kemudian menabrakkan diri lagi ke dalam lukisan. Tabrakan kali ini membuat dua kakinya putus, satu sayapnya rontok, dan satu antenanya bengkok.
“Aku pasti bisa!” serunya kembali menabrakkan diri dengan kecepatan penuh.
Cairan hijau kekuningan keluar dari tubuh Lalat Buah, cairan itu membuatnya menempel pada lukisan apel merah. Tubuhnya tak bisa digerakkan, hanya antenanya yang bergerak ke kanan-kiri. Walau sekarang dia merasakan sakit yang luar biasa, di dalam pikirannya dia merasa senang yang juga luar biasa.
Dari kejauhan, di lukisan buah-buahan pada apel merah terdapat seekor lalat yang menempel, tidak ada yang dapat menyadari bahwa lalat itu benar-benar lalat asli. Lalat Buah bahagia dapat menikmati buah yang diinginkannya, seperti lalat-lalat lain di dalam lukisan.
Mataram, Desember 2021