Saya berangan-angan iklan minuman berenergi menggambarkan perempuan sedang berjalan menuju kantor, sambil sesekali tersenyum membetulkan tas laptopnya yang sedikit terbuka. Lalu perempuan itu mengeluarkan botol minuman berenergi sambil mengingatkan, “Jangan lupa minumlah ini, agar kalian kuat!” Namun, lamunan itu langsung buyar saat melihat beragam iklan di televisi. Hanya lelaki dengan otot kuat dan kekar yang jamak kita jumpai tampil sebagai bintang iklan minuman berenergi.
Penggambaran lelaki kekar seolah menjadi pakem minuman berenergi sejak dulu. Atlet binaragawan seperti Ade Rai sering kita jumpai tampil sebagai bintang iklan minuman berenergi. Dengan tubuh dan otot kekar, Ade Rai seolah-olah mengajak kaum lelaki jika ingin terlihat kuat ya minumlah minuman berenergi . Lalu muncul bintang iklan pengganti Ade Rai. Sebut saja atlet tinju Crish John, atlet angkat besi Eko Yuli Irawan pernah menghiasi layar iklan di televisi sebagai sosok yang kuat.
Baca juga:
Lalu di manakah posisi perempuan dalam iklan di televisi? Posisi perempuan ditampilkan dengan sebaliknya. Perempuan sering menjadi bintang utama untuk sebuah iklan semisal susu anak, pakaian popok bayi atau sekadar iklan obat sakit ringan. Perempuan-perempuan dengan usia muda sering kita jumpai dalam iklan baju, komestik maupun aksesoris. Perempuan memang banyak tampil dalam iklan televisi. Namun mereka ditampilkan televisi sebagai manusia yang cantik, berkulit putih, lemah lembut dan tidak berotot sama sekali.
Gambaran iklan-iklan yang memborbardir kita saat menonton televisi akhirnya membuat kita berpikir bahwa memang seperti itulah kenyataan. Tanpa sadar, kita dibentuk untuk menyetujui bahwa kuat, berotot, sangar adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan pasti selalu lembut, putih maupun cantik.
Iklan-iklan yang muncul di media dan ruang publik adalah strategi perusahaan agar produknya laris di pasaran. Mereka punya target-target untuk dijadikan pasar produknya. Laki-laki menjadi pasar untuk iklan minuman berenergi dan sejenisnya. Sedangkan perempuan dianggap memiliki kehalusan, kesabaran dalam merawat anak sehingga perempuan sering ditampilkan dalam iklan yang berhubungan dengan anak. Begitu juga dengan penampilan maupun perawatan, banyak perempuan yang dijadikan sebagai bintang utama dalam iklan berbau kecantikan.
Bagaimana jika kita mencoba berpikir; Apakah laki-laki tidak boleh tampil pada iklan produk susu anak atau iklan seorang ayah yang sedang memilih baju untuk anaknya? Demikian juga sebaliknya, apakah perempuan tidak diijinkan untuk terlihat kuat, mampu melakukan banyak aktivitas tanpa terlihat lelah sama sekali?
Meruntuhkan Bias
Iklan yang sering kita jumpai dalam televisi secara alami membentuk pikiran masyarakat tentang pengertian laki-laki dan perempuan. Kejadian itu berulang setiap hari hingga masyarakat akhirnya bersepakat bahwa laki-laki adalah kuat, berotot dan kekar dan perempuan adalah manusia sebaliknya, lemah, halus dan berperasaan.
Menurut Barker, maskulin merupakan bentuk kontruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki – laki adalah kebudayaan.
Iklan memanfaatkan konstruksi sosial yang terjadi selama ini. Iklan memanfaatkan keidentitasan laki-laki dan perempuan. Akhinya laki-laki berlomba-lomba untuk menjadi kuat dan kekar demikian juga perempuan sebaliknya, malu menjadi kuat dan berotot.
Jika hal ini terus dibarkan maka bias stereotip laki dan perempuan akan terus langgeng dan ujungnya akan menghadirkan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Misal saja, laki-laki akan sungkan untuk membeli popok bayi, memasak atau berbelanja di pasar. Padahal laki- laki juga bisa melakukan aktivitas di atas. Perempuan juga enggan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan fisik dan tenaga.
Keluarga berperan penting menghentikan bias stereotip tersebut. Keluarga punya peran penting membentuk kontruksi sosial dasar terhadap anak-anaknya perihal identitas laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki dan perempuan hanya bisa dibedakan melalui sisi fisik saja bukan hal lain, misal saja pekerjaan sehari-hari dalam keluarga.
Anak laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama sebagai anggota keluarga. Misal saja, pekerjaan bersih-bersih rumah, baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam menjaga kebersihan rumah. Tidak ada perbedaan. Keluarga juga tidak membedakan pekerjaan fisik harus dikerjakan laki-laki maupun perempuan. Keduanya harus saling membantu dalam pekerjaan rumah.
Jika keluarga tidak memiliki kesadaran tentang bias dan stereotip, maka nilai-nilai yang salah ini akan terus diwariskan dan dibawa hingga seorang anak dewasa, lalu kembali meneruskannya pada generasi selanjutnya.
Peran keluarga semakin diperlukan di tengah gempuran tayangan-tayangan visual, mulai dari film dan sinetron, iklan, hingga video musik. Apalagi di era ketika akses pada teknologi sudah sedemikian mudah dimiliki. Perlu ada diskusi kritis di tiap keluarga atas hal-hal yang tampaknya sudah menjadi rutinitas dan kewajaran. Mengajak anak untuk mempertanyakan penggambaran peran laki-laki dan perempuan dalam iklan menjadi langkah sederhana yang sekaligus memberikan dampak besar pada upaya meruntuhkan bias dan stereotip dalam masyarakat.