Penyair Paruh Waktu

Laki-Laki Berkawan Kuburan dan Dongeng Pendek Lainnya

Sarah Noer

3 min read

Laki-Laki Berkawan Kuburan

Laki-laki datang atas nama puisi. Di suatu kuburan, yang tanahnya dingin digempur keputusasaan. Ia kunjungi makam penyair. Siapa lagi kalau bukan Chairil.

Ia amati pusara itu. Berbagi dalam diam, mengadu dalam maryam. Saya perhatikan ia dari kejauhan. Tapi tak kunjung ia beranjak. Ia bungkam. Tanpa suara.

Dalam antrean menyekar ini, saya tunggu ia dalam keheningan, sebab tidak baik memprotes orang yang tengah terkurung dalam kesunyian. Barangkali ia terjebak dalam kubangan hitam—yang—entah berupa apa.

Sesekali saya perhatikan matanya nanar. Nahas sekali. Pundaknya kadang bergetar. Hanya sedikit. Tapi gemanya justru menyambar sampai ke ulu hati. Mengajak saya menerka. Dan sedikit menaruh iba. Aneh, bagaimana bisa saya menaruh simpati kepada ia yang tidak pernah saya kenal. Barangkali hanya persoalan yang manusiawi. Tidak lebih, dan tidak kurang. Atau jangan-jangan, ada alasan lain? Entah, saya sedang malas berpikir.

Setelah cukup lama saya perhatikan, ia akhirnya menoleh. Mungkin ia terganggu? Tapi tak kunjung ia buka suara alih-alih, membuang muka. Merasa tidak enak hati, saya pun segera mendekat dan berniat menjual maaf. Tetapi ia diam. Saya pun turut dibuat bungkam.

Tak lama gerimis turun. Mendung memang sudah menghitam sedari tadi. Ia tak beranjak. Saya mengikuti. Terdengar helaan napasnya yang berat. Mungkin ada sesuatu yang ia tahan. Entahlah, saya tidak punya keberanian untuk memastikan.

Dalam sunyi yang keseribu, saya pun berniat mengalah.

“Hujan akan turun lebih deras. Tidakkah kamu ingin berteduh sebentar?” Saya membuka suara.

Saya lihat ia tertegun. Dan sedikit menoleh ke arah saya. Merasa ada yang salah, saya pun melanjutkan dengan permintaan maaf yang sebelumnya sempat tertunda. Ia akhirnya membuka suara.

“Tidak apa, Nona, saya hanya perlu memecah kesepian.”

“Lalu kenapa datang ke kuburan?”

“Sebab ia Chairil.”

“Lalu?”

“Saya tak mau ia kesepian.”

“Bagaimana bisa ia kesepian?”

“Sebab ia Chairil.”

“Lalu?”

“Saya tak mau ia kesepian.

“Kenapa begitu?”

“Saya dan Chairil senasib.”

“Chairil tak suka berbagi nasib.”

“Tapi nasib telah memecah kesunyiannya.”

“Apa yang kau bawa?”

“Seayat puisi, sekuntum sakit, dan selusin mantra penawar sepi.”

Dan kita sama-sama terdiam.

***

Perempuan Penghuni Puisi

Di suatu sepi yang syahdu, saya temukan seorang perempuan belia. Ia memikat dalam mulia. Wajahnya milik puisi. Bajunya nasib trembesi. Hatinya lanskap, pionir ranum membawa gelap.

Saya dapati ia menunduk dalam sunyi. Berucap-ucap sendiri. Mengusap-usap dahi di sebelah kiri. Seingat saya—yang telah menasbihkan diri sebagai sekutu puisi—pernah saya temukan sosok itu tercecer di sela-sela alkisah tersembunyi. Menyanyi-nyanyi, dan layu—sekaligus berpengaruh—sekali. Ia datang dari kerinduan maha suci, dari perdu muram yang diracik pada tangan Sapardi.

Dalam bimbang yang nyaring, saya dekati ia yang sedikit berpaling. Ia muhibah, merdu dan khusyuk sekali.

“Apakah Nona penghuni puisi?”

Ia mengerjap. Matanya mengambil hitam langit malam.

“Secara tidak sengaja, pernah saya temukan Nona di sana.”

Ia menjinakkan yang hitam itu.

“Di mana?” Ia membuka suara.

“Di sela-sela puisi Sapardi. Sendirian.”

Ia diam.

“Ah, mungkin saya salah.”

“Tapi di sela puisi Sapardi, Nona menari dengan sepi, juga bercakap-cakap dengan ilusi.”

“Siapa itu Sapardi?”

“Pengrajin puisi, yang piawai mewujudkan tempat tinggal para peri. Seperti Nona yang tengah tersesat di sini. Adakah Nona kehilangan jalan pulang Nona menuju puisi?”

Ia terdiam. Asyik sendiri.

“Adakah sahaya melakukan kesalahan sampai membuat Nona terdiam begini?”

“Kamu naif.”

Senyumnya tersungging miring. Menohok saya yang memang dibuat terlanjur pandir.

“Jangan pernah menyebut-nyebut tempat itu lagi.”

“Kenapa?”

“Sebab puisi adalah tempat berpulangnya ruh tak berpenghuni. Bagi ia yang ingin mati. Bagi ia yang sebenarnya memang sudah mati.”

Kemudian ia lenyap. Dan tak mungkin kembali.

***

Perempuan dengan Tanda Tanya Membentang

Saya duduk. Memandangi wajah perempuan yang akhir-akhir ini kerap diusili kejengahan. Entah kepada siapa, tetapi ia duduk hanya dengan saya. Hari ini ia mengenakan gaun merah. Warna yang begitu dibencinya. Dengan gincu yang sama, dan celak mata yang kendur dan sedikit menghitam di luar kebiasaannya.

Kerap kali saya bertanya, mengapa mata yang semula gemilang itu, kini menyisa mara bahaya—dan sedikit jurang curam kebiru-biruan—yang membentang sangat dalam. Memisah tempatnya, juga kedalaman hatinya.

Saya temukan ia gelisah. Mata dan hatinya berputar-putar di tempat berbeda. Keluar, dan seolah tak mau berpulang. Dalam diam saya menebak yang tidak-tidak. Tetapi saya merahasiakannya. Sebab saya sangsi, kalau-kalau ia merasa terganggu jika harus dihujani banyak pertanyaan. Meskipun sebenarnya, saya cukup terganggu dan ayal.

Saat ini, kami sedang berada dalam restoran. Di tempat ini kami biasa memesan nasib, dan juga segala kehati-hatian. Sebab kami sama-sama tahu, akan ada banyak kemungkinan yang bisa saja mencelakakan. Tapi sepertinya, saya salah, atau justru, nasiblah yang mestinya disalahkan?

Akhir-akhir ini menu di restoran tak lagi mujarab. Alih-alih membawa kebaikan, ia justru membawa mutasi yang membingungkan. Buktinya, ia kini justru akrab dengan perubahan yang merugikan. Hanya ada kejengahan dan sedikit kesungkanan yang tercetak di wajahnya. Padahal, beberapa bulan yang lalu, saya pesankan ia kecantikan, dan menu itu telah berhasil merogoh kisaran yang sangat dalam.

Sejak saat itu ia mulai mengubah kebiasaan. Beberapa kali saya temukan dia dalam kesendirian. Bibirnya dingin, tetapi pundaknya demam. Hidungnya ranum, tetapi hatinya aurum. Tidak, bukan kepada saya. Entah kepada siapa. Padahal di sana kita hanya duduk berdua.

Tawanya kerap kali menggelegak, tetapi bukan kepada saya. Entah kepada siapa. Senyumnya acap kali berkelibat, tetapi bukan kepada saya. Entah kepada siapa. Saya dapati ia beberapa kali bercakap-cakap dengan ponselnya. Diam-diam saya dapati ia keluar tanpa sepengetahuan saya. Tetapi ia selalu kembali dalam kekosongan. Dalam kesunyian, yang hitamnya membentang begitu panjang. Adakah gerangan laki-laki lain yang dikencaninya? Tetapi mana? Ia tak berbentuk, juga tidak berupa. Barangkali dari dunia berbeda. Barangkali, dalam masa lalunya. Barangkali, saya bukan satu-satunya. Barangkali, saya memang tidak pernah dianggapnya ada?

Barangkali, saya tidak patut bertanya. Barangkali, hanya ia yang boleh menyimpannya.

Sarah Noer
Sarah Noer Penyair Paruh Waktu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email