Lahir di Jombang, 12 November 2002. Menulis berbagai bentuk tulisan yang tersebar di beberapa media.

Laci Perdana Menteri

Dhimas Bima Shofyanto

4 min read

Mata Salvazar membelalak saat mendapati sebuah asap hitam membumbung dari laci mejanya. Asap hitam itu tak membentuk apa-apa, hanya keluar dan perlahan hilang saat terantuk langit-langit ruangan. Kursinya yang memiliki empat roda segera ia dorong jauh-jauh dengan hentakan kaki. Berusaha menjauhkan diri dari asap yang entah dari mana datangnya.

“Abram, cepat kau kemari!” teriak Salvazar. 

Pintu ruangan Salvazar terbuka dengan segera. Abram masuk tergopoh-gopoh ke dalam ruangan. Alis tebalnya yang hampir menyatu kedua sudutnya mengernyit-ngernyit, sebelum kemudian tangannya diangkat dan disetarakan pada kening. “Hormat, Pak Menteri! Apakah rudal sudah harus diluncurkan lagi?” teriaknya dengan suara lantang.

“Bicara apa kau! Apakah matamu tidak melihat asap hitam yang keluar dari laciku ini, Ha?”

Alis Abram kembali mengernyit-ngenyit. Ia tak melihat asap yang disebut-sebut keluar dari laci meja. Berkali-kali ia coba memicingkan mata sambil menyeka-nyeka sudutnya, namun tak dapat ditemukannya asap yang dimaksud. Meski begitu, karena melihat wajah Salvazar yang serius, Abram terlalu takut untuk mengutarakan kenyataan. Sehingga yang kemudian keluar dari mulut bergetar-getarnya adalah: “Siap, Pak! Harus saya apakan asap hitam yang membumbung hingga menabrak langit-langit ruangan ini?”

Mendengar reaksi dari Abram, alis Salvazar meruncing. “Goblok! Periksa dalamnya, siapa tau ada yang kebakaran! Begitu saja perlu diperintah!” hardiknya.

Menerima perintah yang bodoh, Abram menjawab perintah itu dengan gerakan yang sama bodohnya. Tergopoh-gopoh Abram berlagak seperti pemadam kebakaran ahli, dengan menutup wajah menggunakan seragam yang sudah dilepaskan dari badan. Pelan-pelan benar ia mendekat ke arah meja Salvazar. Seakan api yang melahap bagian dalam laci adalah api sebesar gedung.

Namun, seperti yang sudah diduga, tak ada sepercik pun api di dalamnya. Abram hanya menemukan dokumen-dokumen berwarna krem yang bertuliskan RAHASIA pada sampulnya. Sambil kebingungan, ia melemparkan seragamnya ke dalam laci. Sembari melirik-lirik Salvazar yang tengah mengangguk-angguk lega, karena asap hitam yang tadi dilihatnya sudah hilang semerta-merta.

***

“Kau sepertinya sudah mulai gila. Ubanmu yang terjuntai layu itulah barangkali yang menyesap habis kemampuanmu berpikir. Sudah berapa kali kubilang, aku tak mendengar apa pun sejak tadi,” ujar istri Salvazar di suatu pertengahan malam, beberapa hari setelah kejadian asap hitam di kantornya. 

“Suara itu sangat-sangat dekat, seperti ada yang membisikkannya langsung di telingaku. Cobalah lihat bagian dalam telingaku. Aku khawatir telingaku berdarah karena kerasnya suara itu,” balas Salvazar, sambil menutup seluruh badannya dengan selimut. Tubuhnya menggigil. Wajahnya yang sudah penuh dengan keriput, nampak semakin mengerut karena rasa takut.

“Memang benar kata orang-orang, semakin tua, perilaku manusia akan kembali seperti anak kecil. Lihat dirimu, seorang Perdana Menteri yang berhalusinasi tentang hantu!”

Salvazar hanya dapat memejamkan mata sambil menyumpal keras-keras telinganya dengan jemari. Mulutnya berkomat-kamit merapal segala macam doa yang diingatnya. Sedangkan istrinya telah membalikkan tubuh sejak tadi, memunggungi Salvazar sambil mengumpat tanpa henti.

Pagi hari mata Salvazar masih merah benar. Wajahnya rebah di atas meja kantor. Suara-suara yang semalam menghantuinya masih dengan setia meneror ingatannya. Akhir-akhir ini ia memang sering terbangun karena suara-suara. Setiap hari suara yang didengarnya selalu berubah-ubah. Suatu kali suara decit besi yang menyerbu pendengarannya. Esoknya, letusan senapan api. Kemudian, suara ledakan besar di lain hari. Tetapi tak seperti suara sebelumnya yang berasal dari benda-benda, suara yang didengarnya semalam adalah suara manusia. 

Ia tak mungkin tak mengenali suara tangis seorang wanita. Yang menjadi masalah, tangis yang didengarnya bukanlah tangis lirih yang menunjukkan kesedihan. Tangis itu adalah tangis yang hampir menyerupai teriakan. Kencangnya tangis itu seperti menandakan bahwa di dalamnya terkandung amarah, sekaligus kutukan. 

Salvazar bergidik. Tangannya terlihat menyentuh berkali-kali bagian dalam telinganya, saat mencoba kembali mengingat suara tangis itu. Memeriksa keberadaan darah yang dikhawatirkan mengembun dari gendang telinganya.

Hingga tak berapa lama, Abram masuk ke dalam ruangan. Melihat Abram, rasa takut Salvazar berubah menjadi rasa geram. Ia telah mengetahui bahwa tempo hari Abram hanya berbohong kepadanya mengenai asap hitam yang keluar dari dalam laci. Kalau tidak, suara-suara hantu yang menerornya pasti telah hilang entah ke mana karena dia berhenti berhalusinasi. 

Ingin sekali Salvazar memarahi Abram, dan menyuruhnya keliling lapangan sebanyak dua ratus kali. Namun urung. Memarahi Abram karena berbohong kepadanya sama saja dengan bunuh diri. Dengan melakukannya, Salvazar berarti mengamini bahwa dirinya gila, dan berita tentang kegilaan dirinya akan menyebar ke seluruh kantor. Atau malah seantero negeri? Sebab betapapun, ia adalah Perdana Menteri.

“Hormat Pak Menteri. Bagaimana dengan kelanjutan perebutan kembali tanah-tanah leluhur kita, Pak?” ujar Abram setelah menyetarakan tangannya pada kening. 

“Ah, jangan membahas itu dahulu. Kepalaku sedang pening sekali. Kau sebaiknya pergi sebelum kupukul kepalamu.”

“Tapi, waktu kita sungguh sangat terbatas, Pak. Kalau tidak dengan segera menunjukkan kegagahan kita kepada dunia, negara-negara lain akan memalingkan dukungannya dari kita!”

Mata Salvazar melotot. Ia tidak menduga bahwa Abram akan mendebat dirinya.

“Jaga bicaramu! Dunia memahami bahwa kita mempunyai kekuatan yang besar, tau! Buktinya, Amerika masih mau datang ke negara kita, dan terus mendukung upaya-upaya yang kita lakukan,” sanggah Salvazar.

“Namun, negara lain juga tidak lagi diam, Pak. Tangisan rakyat-rakyat sipil sudah terlalu banyak tersebar di internet. Rasa iba sudah mulai bersemai dan siap untuk dipanen. Tinggal menunggu waktu saja untuk sekutu-sekutu berbalik memusuhi kita.”

Amarah Salvazar memuncak. Wajahnya menjadi merah seperti kepiting rebus. Meskipun seorang Letnan, tidak seharusnya Abram mendebat dirinya dengan begitu hebat. Apalagi dengan meninggikan suaranya seperti itu. Sehingga, tangan Salvazar mengepal dan bergetar-getar karena amarah. Jemarinya meraih laci meja untuk mengambil tongkat komando kepunyaannya.

Akan tetapi, Salvazar terkejut bukan kepalang. Lacinya kini dipenuhi dengan cairan kental berwarna merah yang berputar-putar membentuk pusaran. Pada pusaran itu samar-samar terlihat sesosok manusia. Seorang perempuan yang sedang menangis sambil memangku anaknya yang berwarna kelabu. Di belakang wanita itu, bangungan-bangunan sudah rata dengan tanah. Mayat-mayat nampak terselip di antara reruntuhan.

Pada pantulan pusaran, kini diperlihatkan sebuah cahaya yang membelah langit. Sebuah rudal terlihat memelesat dari atap dunia, menghantam sebuah rumah sakit dan menimbulkan ledakan yang sangat besar. Salvazar terkejut hingga melompat dari tempatnya semula. Asap hitam yang berasal dari ledakan membumbung melewati pusaran, mengambang di depan mata Salvazar hingga terantuk langit-langit kantornya.

Salvazar seperti tak percaya saat melihatnya. Ia dengan segera menoleh kepada Abram yang berdiri tegap di depannya. Namun, tak dilihatnya sedikitpun keterkejutan yang tergambar pada wajah Abram. Seakan ia tak melihat kepul asap hitam yang perlahan memenuhi ruangan. Kini ia bisa yakin bahwa dirinya sedang berhalusinasi melihat reaksi Abram yang biasa saja. Namun, asap hitam yang mengambang benar-benar memenuhi rongga dadanya perlahan. Ia terbatuk-batuk, dan dengan segera mencoba membuka jendela kantornya.

Asap hitam pun berembus keluar dari jendela yang dibuka. Salvazar bisa sebentar bernapas lega. Sebelum dilihatnya onggokan kantong-kantong jenazah yang memenuhi halaman gedungnya. Kantong-kantong jenazah itu terbuka dan memperlihatkan jenazah yang sudah hancur tak berbentuk di dalamnya.

Salvazar kembali menutup jendela dengan kepanikan yang menjalar. Abram masih mematung di depan meja. Sedangkan pusaran dalam laci semakin berputar dengan tidak keruan. Suara-suara yang didengarnya akhir-akhir ini kembali menyerbu pendengarannya. Suara decit besi, letusan senapan api, ledakan, dan teriakan membombardir habis telinganya. Tangannya dengan cepat memeriksa bagian dalam telinga. Ia terperanjat. Ada darah pada jemarinya. Kepala Salvazar kemudian menjadi sangat pening. Pandangannya mengabur seiring kesadarannya yang perlahan hilang. Ia mulai tak memiliki kendali atas tubuhnya sendiri. Sehingga tanpa bisa ditolak, tubuhnya bergerak menuju pusaran yang ada di dalam laci.

Dari bagian kepala, Salvazar merebahkan tubuhnya ke dalam pusaran. Saat kepalanya menyentuh cairan berwarna merah itu, suara-suara mulai perlahan meninggalkan telinganya. Salvazar merasa lega dan memasukkan pula tangannya ke dalam. Pusing yang mendera sayup-sayup lenyap, berbarengan dengan dimasukkannya satu-persatu bagian anggota tubuhnya. Hingga saat seluruh tubuhnya berhasil masuk ke dalam pusaran merah yang ada di dalam laci, sebuah suara terdengar mengejutkan udara: DOR!

Pintu terbuka dengan segera. Abram tergesa-gesa masuk dengan wajah ketakutan. Sambil mengernyit-ngernyitkan alis yang hampir menyatu kedua sudutnya, ia mendapati Perdana Menteri Salvazar teronggok di lantai. Bersimbah darah dengan kepala berlubang.

 Yogyakarta, 3 Desember 2023

***

Editor: Ghufroni An’ars

Dhimas Bima Shofyanto
Dhimas Bima Shofyanto Lahir di Jombang, 12 November 2002. Menulis berbagai bentuk tulisan yang tersebar di beberapa media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email