Tidak perlu menjadi filsuf untuk sesekali berpikir bahwa hidup ini membosankan. Dan tidak perlu menjadi ateis untuk sesekali memikirkan percobaan bunuh diri. Karena itulah aku selalu menulis surat pengunduran diri setiap hari. Itu adalah sebuah upaya kecil mengakhiri hidup. Menjelang usia 30 tahun dan setelahnya, hidup menjadi lebih praktis. Yang artinya, kita jadi lebih banyak berkompromi. Ibu yang tidak ingin menceraikan ayah sedang bersikap kompromi. Ayah yang terus bersama ibu juga berkompromi. Dan aku yang memilih tinggal sendiri sepertinya juga begitu.
Beberapa tahun ini, aku bisa menghitung berapa jumlah kata yang kuucapkan dalam sehari di luar pekerjaan. Tidak ada hal menarik untuk diceritakan. Beberapa kali setiap akhir pekan aku menyempatkan main ke rumah, sekadar berkompromi untuk menjaga hubungan anak dengan orang tua. Apakah sejak kecil aku diajarkan untuk menjadi dewasa seperti ini? Ketika mengingat-ingat hari-hari ke belakang, aku hanya menemukan ingatan yang samar. Seperti memunguti serpihan vas bunga yang pecah. Yang bahkan entah jenis bunga apa yang pernah ditanam di sana.
Aku tidak pernah menanam bunga, dan aku selalu berpikir mereka tidak berharap bakal ditanam olehku. Namun, aku tidak akan menolak jika seseorang mengirimkan bunga kepadaku. Bunga selamat. Bunga rindu. Bunga kematian. Aku ingin mendengar doa seperti apa yang diucapkan bunga kepada manusia sepertiku. Saat kecil aku melewati jalan sempit penuh bunga asoka menuju sekolah. Aku menyesap madunya yang tidak mengenyangkan. Anehnya, hingga hari ini aku masih bisa merasakan manisnya tertinggal di mulutku.
Sesekali setelah dewasa aku mencoba mengulang rasa manis yang tipis itu. Aku menyesap madu bunga asoka di berbagai perhentian, dan seberapa pun banyaknya bunga yang kupetik, tidak ada rasa manis yang kutemukan. Tidak ada pertemuan ulang untuk masa lalu itu. Bahkan tidak saat aku memutuskan kembali ke sekolahku dulu untuk sekadar melihat gerbangnya yang masih sama. Tidak ada yang berubah dari gerbang itu selain semakin lapuk dan menunggu dicat ulang lagi. Hanya mereka yang melewatinya paling cepat berubah, tidak terasa segera akan mati.
Aku kembali ke kamar dan memastikan hidup masih baik-baik saja. Namun, semenjak kata pulang menjadi begitu asing dan rumah jadi begitu jauh, aku merasa tak menggenggam apapun, entah orang lain atau diriku sendiri. Suatu malam bibirku sobek karena menggigit pecahan leher botol bir yang masih dingin. Dua tiga kali percobaan membuka tutup botol bir itu menggerus sedikit gigi gerahamku, dan pada percobaan keempat, botol itu menyerah dan memilih pecah. Aku tak pernah membuka botol dengan gigi lagi, dan sejak saat itu, bibirku selalu tampak sedikit tersenyum berkat bekas lukanya yang harus ditambal dengan empat jahitan. Luka itu menghilang, tapi senyumku abadi, sungguh lelucon yang buruk untuk seseorang yang muak dengan hidup.
Namun, harus kuakui lebih banyak hal yang bisa ditertawakan dalam hidup ini ketimbang yang harus ditangisi. Kapan tepatnya terakhir kali menangis, aku juga lupa. Tapi aku hampir tertawa setiap hari. Kemarin, sepasang muda-mudi menepi di trotoar, si perempuan duduk selonjoran menangis, dan si laki-laki merengek memintanya naik motor kembali. Aku menutup kaca helm dan tertawa habis-habisan berharap helm itu jadi ruang kedap suara. Adegan tersebut semakin lucu karena hari itu sedang macet dan hujan. Dua hal barusan saja sudah bisa membuatku jengkel, apalagi sambil membonceng perempuan yang tiba-tiba ngambek minta turun atau ia mengancam akan lompat dari joknya, karena mungkin laki-laki itu keseleo memanggil nama kekasihnya dengan perempuan lain.
Aku masih tertawa sampai di kamar, dan saat menatap wajahku sendiri di balik cermin, dengan senyum bekas luka botol bir, aku berkata dalam hati, “aku akan bahagia mati sendirian.” Dan seketika, lagu Antony and the Jhonsons berputar di kepalaku.
Hope there’s someone
who’ll take care of me,
when I die,
will I go.
Seiring suaranya yang kian memudar, aku membayangkan apakah ia bahagia setelah memutuskan jadi transpuan dan mengganti namanya dengan Anohni? Bagaimana dengan Caitlyn? Entah ia bahagia atau tidak, tapi seharusnya ia tidak akan pernah bisa tidur tenang setelah menabrak mati seseorang, sebelum bunuh diri. Dan aku selalu tertawa saat membayangkan seseorang memotong alat kelaminnya sendiri.
Di kamar mandi, aku lama memperhatikan penisku yang layu, menahannya dengan sebelah lengan, dan membiarkannya perlahan memenuhi telapak tanganku. Membangunkannya dari tidur hanya membutuhkan sekelibat bayangan bibir Scarlett Johansson atau suaranya sebagai Samantha di film Her. Dan untuk menidurkannya kembali, aku hanya butuh menghadirkan bayangan itu dalam genggaman tanganku. Konon, kata onani berasal dari cerita Onan yang menikah dengan janda kakaknya, Tamar. Sang ayah, Yehuda, menikahkan mereka berdua untuk melanjutkan keturunan, tetapi Onan selalu membuang maninya di luar tubuh Tamar, karena ia tidak akan menjadi ayah dari anak yang dilahirkan nanti, melainkan almarhum kakaknya, Er. Seperti bayi tabung, ia hanya menyumbang mani untuk orang lain. Dan Onan tidak sudi.
Namun, tentu saja aku tidak membayangkan seks oral dengan salah seorang artis Hollywood paling seksi sambil memikirkan asal-usul kata onani. Aku hanya memikirkan itu setelahnya. Sambil membasuh penisku yang lelah, aku terus berpikir bahwa kebahagiaan memang selalu hanya sementara. Dan saat membaringkan badan sambil menekukkan kaki di tepian ranjang, aku terus merasa selalu berakhir sebagai pecundang terbesar di penghujung hari. Sebentar lagi tahun baru, ayah dan ibu mengajak makan malam bersama, beberapa daerah yang kuhampiri secara sengaja maupun tidak sengaja karena diarahkan google maps keparat sudah menyiapkan kembang api, dan aku kembali tergoda untuk menutup tahun dengan bunuh diri. Bukankah tampak spektakuler, kita mati dan orang-orang merayakannya sambil bersetubuh ditemani kerlap-kerlip ledakan di langit dan suara-suara terompet yang menyamarkan eluhan napas mereka.
Sekali lagi aku kembali ke sekolahku yang dulu, melewati gerbang yang belum banyak berganti itu, menyusuri jalur yang persis kulalui semasa kecil, dan memetik beberapa bunga asoka di sepanjang gang samping apartemen Melati. Aku tak bisa menikmatinya lagi. Rasa manis itu tak kunjung datang.
Keesokan harinya aku mengeluarkan surat pengunduran diri dari rak meja, dan meninggalkannya di meja manajerku saat siang hari. Aku takkan kembali ke kantor itu dan melupakan segala hubungan kerja dengan rekan-rekanku di sana lima tahun terakhir. Sungguh akhir yang tidak profesional tapi apa peduliku? Setelah itu, aku tinggal memikirkan bagaimana menghabiskan sisa rekeningku untuk menutup kehidupan yang pura-pura ini. Lucunya, ada cukup banyak sisa tabungan di rekening yang membuatku merenung, untuk apa selama ini aku menimbun uang sebegitu banyaknya?
Tahun baru memang masih beberapa minggu lagi, tetapi aku tidak akan terburu-buru menuju mati, dan aku berencana menghabiskan sisa waktu ini dengan uang milikku untuk menjadi pecundang paling brengsek yang pernah kukenal. Semuanya dimulai dengan berpesta di bar sampai lupa diri dan menyecap segala minuman keras yang belum pernah kucoba sebelumnya. Aku memesan pitcher paling mahal dan segala jenis minuman alkohol dari yang beraroma anggur kental sampai yang bau balsem. “Sebanyak ini hanya untuk sendiri?” begitu tanya bartender selalu, yang akan kubalas dengan jawaban paling egois yang terpikirkan. “Ini uangku, akan kuhabiskan untuk kebahagiaanku sendiri!” Aku tidak membiarkan seorang pun bergabung mengganggu ambisiku sebelum mati. Sebenarnya aku juga ingin mencoba sabu dan ganja, tapi itu akan terlalu merepotkan jika harus ditangkap dan merencanakan bunuh diri di dalam penjara.
Setelah lewat bermalam-malam dengan lambung yang babak belur, masih saja ada sisa uang di rekening. Itu memang sengaja kusisakan untuk menuntaskan ambisiku selanjutnya, berpesta dengan perempuan. Aku tak perlu lagi hanya berfantasi dengan bayangan bibir Scarlett Johansson. Aku akan mewujudkan fantasi itu bersama perempuan yang sesungguhnya, perempuan dengan darah dan daging. Seorang perempuan untuk menemani seminggu terakhir akan jadi penutup yang indah. Perempuan itu bernama Mei, ia sepakat untuk tidur bersamaku sampai menjelang tahun baru. Aku memesan kamar hotel di dekat pusat perbelanjaan selama seminggu. Saat malam pertama kami bertemu, ia memakai kaos putih polos dibalut cardigan ungu. Aku belum memberinya alamat dan nomor kamarku, dan berjanji akan menemuinya di kafe dekat penginapan.
“Kenapa harus ketemu di sini?”
“Karena aku tidak sedang buru-buru. Pesan minum dulu, habis itu kita naik ke kamar.”
“Hotelnya dekat sini?”
“Di depan, pastikan saja menyeberang dengan selamat.”
“Tentu, aku sudah janji menemanimu selama seminggu.” Lalu ia memesan matcha hangat. Sampai akhir tahun ini, aku masih belum mengerti mengapa orang bisa minum cairan hijau itu.
Aku segera mandi sesampainya di kamar, dan tak menghitung berapa menit waktu yang kuhabiskan di dalam. Mei sedang menonton TV saat aku selesai, cardigannya sudah digantung, ia hanya memakai celana pendek dengan kausnya yang berbelahan rendah. Aku langsung duduk di sampingnya setelah mengganti baju. Ia mengganti channel beberapa kali sebelum bertanya, “ada yang mau kamu tonton?” Aku menggeleng, lalu ia mematikan layar itu. “Mau langsung tidur?” Aku menggeleng lagi. Ia segera melepas kausnya dan menyisakan sehelai bra ungu tipis, lalu membenamkan kepalaku di antara kedua belahan dadanya. Untuk sesaat aku bingung harus berbuat apa, sebelum mengendus penuh nafsu tubuhnya yang wangi, dan merayapi pinggangnya dengan kedua tanganku menuju pantatnya yang empuk.
Mei membukakan kausku dan menyingkirkan handuk yang menjadi bawahanku. “Jangan pakai handuk di atas kasur, nanti basah dan lembab,” bisiknya tepat di telinga kananku. Hanya sehelaan napas saja mulutnya sudah mencapai dadaku dan bermain-main di sana. Tanpa aba-aba, jemarinya yang lentik menggenggam penuh kemaluanku. Baru kali itu aku merasa begitu malu. Saat pertahananku hampir di ujung batas, kudorong sedikit tubuhnya dan melepaskan wajah bersama tangannya dari tubuhku. Gila, ini disebut pemanasan pun belum, dan aku nyaris habis. “Kita punya waktu seminggu,” ucapku, “jangan buru-buru.”
Mei menatapku dan memasang kaitan branya yang sudah lepas. “Jadi, kamu mau nonton?”
“Kita bisa tidur dulu,” jawabku ragu.
“Dan?”
“Dan… berpelukan?” Mei hanya diam. “Ada banyak yang mau kuceritakan.”
Mei mematikan setengah lampu di kamar dan menyisakan yang di meja tetap menyala redup, lalu berbaring dan menyusup ke dalam selimut, sambil memberi isyarat dengan tangan dan matanya untukku segera menyusul. Kami berpautan di bawah selimut dan entah kerasukan apa aku mulai mengatakan segala omong kosong yang tidak masuk akal demi menghabiskan waktu—alih-alih bercinta. Aku bercerita akan mati dengan bangga setelah ini dan takkan ada penyesalan lagi, mengutip Sartre sana-sini bahwa kebebasan adalah kutukan dan orang lain adalah neraka, bahwa selama ini kita dikutuk dengan kehidupan dan akan terbebas dengan kematian, lalu mengocehkan keberadaan kita yang ada karena atensi orang lain, begitu juga Tuhan mengada sejak pengakuan manusia kepada-Nya. Omong kosongku itu mungkin serupa dongeng buruk yang dikarang-karang bajingan tua pemabuk yang gemar memukuli istrinya.
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatku, Mei membungkam mulutku dengan bibirnya. Aku berhenti bicara karena lidahnya terus menghentikan lidah terkutukku, lalu Mei menghisapnya sampai aku merasa ia nyaris putus. Setelah serangan mendadak itu, Mei menindih tubuhku dan menatapku tepat di mata. “Kita tidak bicara filsafat di atas ranjang,” ucapnya. Ia melepas kaitan branya untuk kedua kali, lalu melemparnya ke bawah, dan dalam sekejap merapatkan dadanya di dadaku, menjilat lembut telingaku, dan berucap lirih, “aku tahu kamu masih perjaka.” Penisku terus ditindih dan Mei masih mengenakan celana dalamnya. “Keluar cepat juga tidak apa-apa, kamu masih punya waktu seminggu buat belajar.”
Malam itu aku berakhir sebagai pecundang. Aku merasa seperti hari pertama masuk sekolah dan ibu mengantar sampai depan pintu kelas. Hingga bel pulang berbunyi, aku mendapati ibu masih memandangku dari balik jendela. Mei tidur begitu saja setelah membisikkan satu kutukan lagi di telingaku.
“Kamu masih harus banyak belajar. Pecundang sepertimu belum waktunya berpikir bunuh diri.”
Jakarta, 2021
Cerpen yang sungguh sangat indah😭