Mantan pekerja di Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana.

Kutukan Modernisme dalam Kiamat Zombie

Surya Dua Artha Simanjuntak

5 min read

Slogan zaman modern adalah “segalanya bisa teratasi dengan sains dan rasionalitas!” Lihat saja abad 19, pertumbuhan teknologi sangat mencengangkan. Tak heran kepercayaan bahwa ‘sains dan rasionalitas akan mampu menjawab berbagai persoalan manusia’ makin mengukuhkan doktrin modernisme dalam pemikiran kultural masyarakat.

Namun, sejauh mana kebenaran doktrin modernisme itu? Benarkah segala persoalan hidup harus dihadapi dengan rasionalitas? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mungkin coba dijawab serial All of Us Are Dead lewat tema kiamat zombie.

Siapa yang Gila?

Jika dilihat sekilas, tak ada yang istimewa dari diri Lee Byeong-Chan (diperankan oleh Kim Byung-Chul). Ia hanya seorang guru sains di sebuah SMA di Korea Selatan. Seperti pria dewasa kebanyakan, ia sudah beristri dan memiliki seorang anak. Penampilan Lee juga layaknya seorang pekerja kelas menengah pada umumnya. Tak ada yang istimewa. Namun, ia adalah seorang jenius. Lee mendapat gelar doktor bidang biologi sel di Amerika Serikat. Lewat kejeniusannya, ia coba memecahkan masalah yang dialami anak semata wayangnya, Lee Min-Goo.

Di sekolah, Min-Goo selalu dirundung. Akibatnya, ia coba bunuh diri. Yang buat Lee makin kesal, pelakunya tak terima hukuman dan terus merundung anaknya. Akhirnya ia mengambil inisatif: hanya dengan bahan dan peralatan yang ada di laboratorium (lab) SMA, Lee coba menciptakan sebuah ‘serum’ yang buat anaknya jauh lebih berani, sehingga tak takut membalas saat dirundung.

Pada satu titik, serum Lee berhasil: anaknya berani melawan para perundungnya. Namun, pada titik lain, serum itu juga buat anaknya makin agresif tak terkendali. Ia coba menyerang siapa saja, bahkan dengan menggigit lawannya—layaknya zombie. Ternyata, siapa saja yang terkena gigitan akan jadi agresif tak terkendali juga. Singkat cerita, wabah yang layaknya virus zombie ini menyebarkan ke seluruh kota sekejap mata. Lee ditahan dan diinterogasi.

“Apa kau tahu apa yang terjadi di luar sana?” tanya seorang polisi kepada Lee.

“Yang kuat mencabik-cabik yang lemah. Itu terjadi setiap saat,” jawabnya dengan muka datar.

“APA KAU SUDAH GILA?” teriak si polisi ke muka Lee.

Tiga baris dialog di atas mungkin dapat merangkum esensi modernisme yang coba dikisahkan All of Us Are Dead. Pada zaman modern ini, di hampir seluruh budaya di dunia, yang dilakukan Lee akan dinilai sebagai tindakan gila. Hanya dengan peralatan dan bahan yang diperoleh dari sebuah lab kecil SMA, ia coba mengutak-atik biologi manusia. Hasilnya? Kiamat zombie! Tak heran si polisi menganggap Lee gila.

Dalam zaman modern ini, gila diartikan sebagai tindakan atau sifat yang tak rasional. Kau akan dianggap gila jika mengemudikan motor dengan mata tertutup. Atau, jika kau memilih tak makan selama tiga hari demi beli rokok. Dua contoh itu adalah tindakan yang irasional. Orang yang rasional tak akan melakukannya karena sadar bahwa tindakan-tindakan itu dapat berujung kematian.

Artinya—dalam kacamata modernisme, rasional berarti bertindak dari pertimbangan yang logis, sehingga rasionalitas membutuhkan usaha untuk mengelola berbagai data yang kita peroleh sebelum bertindak. Sebaliknya, irasional berarti bertindak hanya berdasarkan impuls, intuisi, dan kepercayaan.

Oposisi biner “rasional vs. irasional” inilah yang coba dieksplor dalam All of Us Are Dead lewat tema kiamat zombie. Dengan tema itu, kisah yang dibangun adalah perang antara “manusia vs. zombie”. Narasi “manusia vs. zombie” ini tak lain adalah metafora dari “rasional vs. irasional”. Sepertinya All of Us Are Dead ingin membuktikan doktrin modernisme: benarkah segala persoalan hidup harus dihadapi dengan rasionalitas?

Pertanyaan itu coba dijawab lewat pertarungan antara rasional vs. irasional, yang dianalogikan dalam kisah manusia vs. zombie: dapatkah manusia (yang rasional, yang menimbang segala kemungkinan secara logis sebelum bertindak) menang melawan zombie (yang irasional, yang bertindak hanya karena dorongan impulsnya—sifat agresif dan keinginan mengigit siapa saja)?

Kontradiksi Modernisme

Doktrin modernisme yang berakar pada gerakan pencerahan menekankan pentingnya rasionalitas. Yang jadi pertanyaan: bagaimana sebenarnya kita menjalankan rasionalitas?

Rene Descartes (1596-1650) mengedepankan skeptisisme, yang mengharuskan keragu-raguan untuk mencapai pengetahuan sejati (mengutamakan akal). Sedangkan John Locke (1632-1704) mementingnya pengalaman langsung, sebab hanya dengan itu kita bisa merasionalisasikan pengetahuan (mengutamakan indrawi). Lalu, Immanuel Kant (1724-1804) menekankan pentingnya dua pendapat itu: keragu-raguan (akal) dan pengalaman (indrawi) sama-sama diperlukan untuk memahami dunia.

Meski para filsuf Pencerahan—seperti Descartes, Locke, dan Kant—banyak berdebat dalam ranah epistemologis, namun mereka setuju dalam satu hal: kita harus berpikir rasional, dengan begitulah kehidupan umat manusia akan lebih baik.

Namun, mungkinkah kita berpikir rasional setiap saat? Pertanyaan ini yang coba dijawab Daniel Kahneman, psikolog yang juga peraih Nobel bidang ekonomi, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow. Kahneman berpendapat ada dua agen yang bekerja dalam dunia mental kita: Sistem 1 (yang intuitif) dan Sistem 2 (yang logis). Jelasnya, Sistem 1 “beroperasi secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau tanpa usaha” serta “tanpa ada perasaan sengaja dikendalikan”, sedangkan Sistem 2 “memberikan perhatian kepada aktivitas mental yang membutuhkan usaha” dan berusaha “mengatasi impuls”.

Lewat temuan penelitian, Kahneman menyimpulkan bahwa Sistem 1 lebih sering mengendalikan perilaku kita daripada Sistem 2. Artinya, pada dasarnya manusia bukanlah makhluk yang rasional, aktivitas mental kita lebih sering dikendalikan sistem yang impulsif daripada yang rasional.

Apalagi, jelas Kahneman, Sistem 1 “tidak bisa dimatikan” dan “beroperasi secara otomatis”, sehingga kita sering melakukan kesalahan pemikiran intuitif (hanya berdasarkan kata hati). Untuk meminimalisir ini, caranya hanya dengan peningkatan pengawasan dan kegiatan Sistem 2. Namun, tegas Kahneman, cara hidup yang selalu waspada bukanlah pilihan yang bagus: terus-terusan meragukan pemikiran sendiri sangat melelahkan dan jelas tak praktis.

Sampai sini, tampaknya doktrin modernisme bermasalah: di satu sisi kita diharuskan berpikir rasional, namun di sisi lain sifat dasar mental kita ternyata irasional. Kontradiksi inilah yang banyak diperlihatkan dalam All of Us Are Dead.

Pada satu adegan, Han Gyeong-Su (Ham Sung-Min), salah satu siswa yang masih selamat dari serangan zombie, melukai tangannya saat berusaha melawan zombie. Begitu menyadari itu, teman-teman Gyeong-Su panik. Mereka mengira tangan Gyeong-Su telah digigit zombie. Namun, Gyeong-Su bersikeras bahwa itu hanya luka goresan, bukan gigitan zombie.

Teman-temannya coba berpikir rasional dan memutuskan mengisolasi Gyeong-Su dalam suatu ruang, menunggu apakah ia akan berubah jadi zombie atau tidak. Gyeong-Su kemudian keluar dari isolasi setelah teman-temannya yakin ia tak akan berubah jadi zombie. Setelahnya, ternyata Gyeong-Su menunjukkan gejala akan berubah jadi zombie. Apa yang dilakukan teman-temannya? Jika berpikir rasional, mereka akan langsung mengeluarkan Gyeong-Su dari ruangan. Makin lama menunggu, makin besar kemungkinan Gyeong-Su menyerang mereka. Namun, banyak dari mereka masih terpengaruh Sistem 1. Mereka hanya mendengar kata hati dan tak melakukan apa-apa.

Ketika Gyeong-Su berubah total jadi zombie dan menyerang mereka, barulah mereka bertindak: melempar Gyeong-Su keluar ruangan. Nyawa mereka hampir melayang karena berpikir irasional. Mereka selamat karena pada akhirnya bertindak secara rasional.

Namun, apa jadinya jika dalam kejadian seperti itu, kita bertindak secara irasional? Ibu Cheong-San (Lee Ji-Hyun) bisa jadi contoh.  Ketika mendengar berita bahwa ada penyebaran penyakit aneh, Ibu Cheong-San langsung memikirkan anaknya, Cheong-San, di sekolah. Setiap warga sudah dianjurkan mengungsi ke luar kota, namun ia malah meraih motornya dan pergi ke sekolah, ingin memastikan anaknya baik-baik saja.

Jika rasional, Ibu Cheong-San seharusnya langsung mengungsi keluar kota dan menunggu anaknya diselamatkan pihak berwenang. Saat kejadian seperti itu, tak banyak yang bisa ia perbuat. Walau sudah dicegat aparat dan diperingatkan daerah yang ingin didatanginya termasuk zona berbahaya, ia bersikeras tetap ke sekolah. Bahkan setelah dikejar zombie, tekatnya tak putus. Jelas, ia hanya membahayakan nyawa sendiri. Hasilnya? Ia jadi santapan para zombie.

Kontradiksi antara doktrin modernisme dan sifat dasar mental kita makin terasa dalam diri Jin Seon-Mu (Kim Jong-Tae), komandan darurat militer yang bertanggung jawab mengendalikan wabah zombie ini. Saat wabah sudah tak terkendali dan vaksin dipastikan tak akan berguna, Seon-Mu hanya punya satu pilihan: menggunakan bom dan memunaskan para zombie. Walau merasa dilema moral, ia harus memberi keputusan rasional: membunuh sedikit untuk menyelamatkan lebih banyak. Dan, itulah yang ia lakukan: bom dijatuhkan di kota.

Keputusan Seon-Mu bisa dianggap berhasil: hampir semua zombie tak selamat dari ledakan bom. Akhirnya, wabah zombie dapat terkendali. Seon-Mu mungkin akan dianggap pahlawan berkat keputusannya. Namun, apa yang terjadi? Ia pergi ke ruangannya, mengenakan seragam militer lengkap, menelepon istrinya, mengambil pistol, dan meledakkan kepalanya sendiri.

Kutukan Modernisme

All of Us Are Dead ingin menjawab doktrin modernisme: benarkah segala persoalan hidup harus dihadapi dengan rasionalitas? Jika dilihat dari contoh-contoh adegan di atas, jelas jawaban yang diberikan: YA! Keputusan rasional lah yang mengatasi wabah zombie. Keputusan rasional yang buat teman-teman Gyeong-Su selamat. Dan, keputusan irasional yang buat Ibu Cheong-San jadi makanan zombie.

Namun, ada kontradiksinya: keputusan rasional juga buat manusia sengsara secara mental. Teman-teman Gyeong-Su terus meratapi perubahan Gyeong-Su. Bahkan, Seon-Mu bunuh diri karena tak sanggup menghadapi keputusannya sendiri.

Modernisme memang penuh kontradiksi. Masalahnya, kita tak bisa lari darinya. Hampir seluruh budaya di dunia telah menerima kultur modern. Seperti kata Sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya, Homo Deus: “Modernitas adalah sebuah perjanjian. Kita semua menandatangani perjanjian ini sejak kita dilahirkan, dan perjanjian ini mengatur hidup kita sampai mati.”

Itulah yang kita lihat dalam All of Us Are Dead.

Surya Dua Artha Simanjuntak
Surya Dua Artha Simanjuntak Mantan pekerja di Badan Otonom Pers Mahasiswa Wacana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email