Aku tidak pernah menyangka kunjungan orang tua pascamenikah rasanya lebih mendebarkan dibanding hari pernikahan itu sendiri. Kecemasan terasa ikut terpasang bersama dekorasi pada setiap sudut dan ruang. Dalam sepekan sebelum kedatangan mereka, terasa semua benda bergeser dari tempat asalnya. Tiada reda tanganku menyentuh barang-barang yang memang sudah berada di tempat semestinya, namun tetap janggal rasanya.
Jam pulang kerjaku terasa lebih keruh dari sore-sore sebelumnya. Sesampainya di rumah, kuteliti kembali rumah yang baru saja kuhuni dua bulan belakangan, dari gerbang masuk rumah hingga area menjemur baju di belakang. Kembali memastikan bahwa segala sesuatu telah berada di tempat semestinya, telah berjalan sesuai fungsinya.
Ketergesa-gesaan tersebut berhasil dibaca oleh istriku. Ia selalu menghampiriku, meraih tanganku, dan membimbingku untuk duduk. Seperti halnya sore ini. Ketika ia melihatku mengecek regulator gas dan kompor untuk yang kesekian kalinya, istriku menghampiri, mengajakku keluar ke teras rumah. Di sana sudah tersedia dua cangkir teh dan sepiring bakwan jagung, yang diletakkan pada meja lipat. Kami duduk bersila di teras depan rumah, tempat yang kami sepakati untuk melewati sore yang lengang. Sore tanpa arisan, tanpa setrikaan, tanpa pekerjaan yang dibawa pulang untuk diselesaikan. Tentu juga sore yang cerah karena jika hari hujan, maka air hujan tempias membasahi teras sehingga kami tidak bisa duduk di sana. Beberapa tetangga berkopiah dan bermukena lewat depan rumah, menyapa kami ramah, sembari melangkah ke langgar untuk salat magrib berjemaah.
“Semoga besok Ayah dan Ibu sampai di sini dalam keadaan sehat ya, Mas,” kata istriku.
Aku hanya terdiam sembari mengunyah bakwan jagung. Mataku terus tertuju pada pagar rumah. Tampaknya gerbang pagar bisa lebih lancar digeser jika diberi tambahan oli. Aku lekas beranjak dari teras, pergi ke rak perabotan pada garasi motor yang terletak tidak jauh dari teras, dan mengambil oli bekas. Aku melangkah ke arah gerbang. Kulihat dari sudut mataku, istriku hanya geleng-geleng kepala sembari memegang cangkir teh miliknya.
“Kamu sudah melumasnya dua hari yang lalu, Mas,” kata istriku dari teras.
Baru kuingat memang dua hari lalu aku sudah melakukannya. Meski demikian, oli tetap kulumurkan pada roda dan sepanjang lintasan gerbang. Setelah mengembalikan oli bekas pada tempatnya dan cuci tangan, aku kembali duduk bersila di sebelah istriku. Istriku kembali memegang tanganku. Seperti biasa, istriku berhasil membaca kecemasanku.
“Mas, Ayah selalu bermaksud baik. Aku saja sebagai menantunya selalu paham maksud baiknya, apalagi kamu anaknya sendiri,”
Aku hanya mengangguk meski gelisah. Kucoba mengalihkan pembicaraan dan kegelisahan dengan bertanya perihal hari ini. Kami saling bertukar cerita tentang yang telah kami kerjakan dan selesaikan di kantor. Obrolan kami berlanjut di dalam rumah usai dingin dan hujan bulan Desember kembali seperti malam-malam sebelumnya. Istriku tertidur usai bercerita tentang seorang kiai dari dusun sebelah yang memasang patung salib di rumahnya. Hingga menjelang pukul sebelas malam, aku belum bisa tidur. Bukan karena memikirkan perihal kiai tersebut, namun memikirkan orang tuaku yang akan tiba esok hari. Bukan barang di rumahku yang tidak terletak pada tempatnya. Bukan peralatan di rumahku yang tidak berjalan sesuai fungsinya. Bukan itu yang mengganggu pikiranku, melainkan kedatangan Ayah yang akan melihat rumahku.
Seminggu yang lalu orang tuaku memberi kabar lewat video call bahwa mereka akan mengunjungi kami. Mereka menyampaikan ingin berwisata ke kota tempat kami tinggal saat ini sembari menengok kami. Aku lebih suka kedatangan mereka dengan alasan yang pertama. Kota tempat kami tinggal saat ini memang sedang berkembang sehingga mulai banyak disinggahi wisatawan. Namun nyamanku terusik usai kata ‘menengok’ diucapkan oleh Ibu.
Apa yang mau mereka tengok dari keluarga baru?
Apa yang mau Ayah lihat dariku?
Awalnya aku berdalih dengan mengatakan bahwa kontrakan tempat kami tinggal kurang nyaman untuk ditempati banyak orang. Aku memberi pilihan dengan bertemu sembari makan siang di hotel tempat mereka menginap. Namun, ternyata istriku lebih gembira menyambut orang tuaku di kontrakan kami dibanding mengajak mereka berjumpa di hotel. Pembicaraan diakhiri dengan kesepakatan bahwa Ayah dan Ibu tetap datang ke rumah kami. Usai video call, istriku langsung merinci belanjaan untuk menjamu orang tuaku dengan masakan dan kudapan kesukaan mereka.
“Kita ajak saja mereka makan di luar agar kamu tidak kerepotan,” kataku.
Istriku menatapku sejenak tanpa mengucapkan apa-apa dan kembali menulis belanjaan pada selembar kertas.
“Memang kenapa jika masak? Kamu keberatan jika aku minta tolong memasang regulator ke gas? Kalau aku tidak kesulitan, aku tidak akan meminta bantuanmu, Mas.”
“Mengapa membahas itu? Aku tidak pernah keberatan soal itu.”
“Lalu, mengapa kamu keberatan dikunjungi orang tuamu sendiri?”
Dari sorot matanya barusan serta nada bicaranya, aku tahu ia kecewa ketika arah bicaraku tadi adalah melarang orang tuaku mampir ke kontrakan.
“Kita belum punya sofa, Dik. Aku belum punya uang untuk beli sofa,”
Istriku berdecak.
“Aku tidak meminta kamu untuk beli sofa, Mas. Ingat kesepakatan kita? Kita baru akan beli sofa setelah tinggal di rumah sendiri. Ayah dan Ibu bisa duduk di karpet seperti tamu-tamu kita yang lain. Lagi pula rumah kita cukup nyaman untuk lesehan. Seperti ketika arisan ibu-ibu dua hari yang lalu. Seperti bapak-bapak yang hadir rapat RT seminggu yang lalu.”
Aku kembali mengingat obrolan kami malam itu menjadi salah satu topik baru pertengkaran rumah tangga kami. Meski pertengkaran rumah tangga itu sudah berakhir, kecemasanku soal ayah tidak berakhir semudah itu.
Caraku dan cara istriku memandang Ayah sangat berbeda. Caraku mengingat Ayah bukan hanya mengingat kerja kerasnya untuk keluarga, melainkan juga mengingat bentakan, caci maki, dan segala hal buruk yang aku rasa.
Sejak aku kecil, kuingat Ayah selalu menyalahkanku atas ketidakmampuan dan ketidaktahuanku. Ayah justru membentakku ketika aku meminta bantuan memasang rantai sepeda yang lepas. Ia justru memaksaku memasang rantai sendiri hingga tanganku berlepotan oli. Spontan langsung kuhirup telapak tanganku yang bersih, karena masih bisa kuingat rapi aroma oli yang memenuhi tangan ini. Ayah juga memarahiku ketika aku meminta bantuannya mengganti gas yang habis. Ia malah memaksaku memasang regulator pada gas. Saking takutnya, aku sampai menangis memohon ampun pada Ayah karena beberapa kali regulator yang kupasang selalu meleset hingga mengeluarkan bunyi dan aroma kebocoran gas. Aku sampai berteriak memanggil-manggil Ibu. Namun Ayah melarang Ibu mendekat dan membantu. Ayah tetap memaksaku memasang regulator pada gas hingga akhirnya tidak ada bunyi dan aroma bocor lagi. Setelah peristiwa itu, kuingat aku cukup lama tidak berani ke dapur dan memilih untuk kelaparan jika tidak ada lauk di rumah dibanding harus masak di dapur.
Interupsi Ayah tidak berhenti ketika aku kuliah. Semasa kuliah, aku dan satu orang temanku sefakultas memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah. Ada suatu masa Ayah dan Ibu mengunjungiku dan Ayah masih sempat mengomentari rumah kontrakanku yang tidak memiliki gerbang. Ayah mengatakan rumah berpagar lebih aman untuk ditempati. Ayah juga mengatakan bahwa kontrakan kami tidak nyaman karena belum berplafon, sehingga serangga bahkan tikus masih mudah masuk ke rumah. Semua yang disampaikan Ayah memang benar. Kelabang memang sesekali terjatuh dari atas dan tikus sering tampak berlarian pada ruas kayu penyangga genting. Semua yang diucapkan Ayah memang kami alami, namun bukan berarti Ayah bisa sembarangan menyampaikan. Aku tidak pernah menyangka ucapan itu keluar ketika aku sudah berada pada usia, yang menurutku, dewasa. Terlebih, ia mengatakannya di depan tema satu kontrakan. Apakah ia tidak berpikir jika ucapannya barusan bisa jadi menyinggung dua perasaan?
Aku beranjak perlahan, mencoba bergerak setenang mungkin agar tidak membangunkan istriku yang sudah tidur. Kubuka pintu kamar dan aku melangkah menuju dapur. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul setengah satu pagi. Kuteguk segelas air dingin dengan harapan aku bisa lebih tenang dan bergegas tidur. Besok pagi aku harus bangun lebih awal untuk membantu istriku memasak, menggelar karpet, membuka jendela, mempersiapkan rumah untuk menyambut Ibu dan Ayah. Aku kembali ke kamar dan merebahkan diri di sebelah istriku. Gundah kembali mengekor tubuhku yang lelah.
Bagaimana jika esok hari Ayah masih menyalahkanku atas banyak hal yang ada di rumah ini? Aku malu jika esok hari Ayah membahas ketidakmampuanku di depan istriku. Sedari tadi saja aku belum mendapat jawaban jika esok hari Ayah bertanya alasanku mengontrak rumah ini dibanding rumah-rumah lainnya. Apa alasan yang harus kuberikan? Apakah aku harus menjawab jika uang yang kupunya hanya cukup menyewa rumah dengan kondisi seperti ini? Apa jawabanku akan memuaskan Ayah jika esok hari ia bertanya tentang spesifikasi rumah yang kusewa ini? Rumah ini kusewa delapan juta per tahun. Dibayar langsung satu tahun, tidak per enam bulan atau per tiga bulan. Air dari PDAM dan listrik rumah menggunakan token. Satu kamar mandi dan dua kamar. Semua ruangan sudah berplafon. Ada dapur dan area tempat menjemur baju. Kosongan alias tidak ada perabotan pemilk rumah sebelumnya. Apa lagi yang perlu aku jelaskan?
Aduh! Aku baru mengingat bahwa ada satu titik bocor di kamar yang kami gunakan sebagai kamar kerja. Itu adalah alasan kami memilih tidur di kamar ini karena kamar tersebut bocor. Bagaimana jika Ayah bertanya alasan mengapa aku belum memperbaikinya? Apakah aku harus menjawab jika belum punya tangga? Atau jujur jika belum sempat memperbaiki? Apakah Ayah akan marah jika aku menjawab seperti itu? Apakah aku harus berdoa agar besok tidak hujan agar kebocorannya tidak ketahuan? Oh iya, bercak jamur pada plafon akan tampak. Apakah besok pagi aku harus mengecat plafonnya? Atau justru malam ini? Atau aku harus membuka media sosial malam ini untuk mencari kontrakan yang lebih layak, kemudian pindah besok pagi-pagi buta?
Ketika pikiranku kian sibuk memikirkan itu semua, kantuk berhasil mengajakku terlelap tidur hingga bangun pada keesokan harinya.
Ibu dan Ayah tiba pukul sepuluh. Cuaca cerah tanpa gelagat awan mendung. Aman, pikirku. Ayah tidak perlu melihat dan memberi komentar tentang atap yang bocor. Gundahku kian riuh ketika mobil mereka terparkir sempurna di halaman rumah. Ibu keluar dari mobil terlebih dahulu, bergantian memeluk dan mencium pipiku dan kemudian melakukan hal yang sama pada istriku. Ayah tetap menyalamiku dengan diam dan tatapan dingin. Sapa darinya untuk istriku lebih hangat dibanding sapaan untuk anaknya sendiri. Namun aku berusaha menutupi kegusaran itu dengan mengusung oleh-oleh dari mobil ke dalam rumah.
Ibu memilih untuk menyelonjorkan kaki di ruang tamu. Kulihat Ayah masih berdiri di luar rumah menatap sekeliling. Istriku memberi isyarat agar aku menemani Ayah di luar. Kulihat Ibu juga tersenyum menatapku, seolah sepakat dengan istriku bahwa aku harus segera menemui Ayah. Aku melangkah ke luar rumah. Ayah sedang menatap ke arah tandon air.
“Berapa liter?” tanya ayah.
“Anu, mm, lima, lima ratus, Yah,” jawabku.
Ayah hanya mengangguk dan melangkah perlahan ke dalam rumah. Aku mengekor di belakangnya. Ketika masuk ke rumah, Ayah tidak kemudian duduk di sebelah Ibu. Ia terus menatap sekeliling rumah. Setelah menjawab kopi hitam pahit sebagai minuman yang ditawarkan oleh istriku, Ayah justru melangkah ke arah ruang tengah. Kutatap Ibu dengan harapan ia mau mengajak Ayah untuk duduk. Namun Ibu hanya tersenyum ke arahku. Senyuman yang mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski isyarat tersebut tidak selalu berhasil menenangkan. Aku mengikuti Ayah melihat seisi rumah.
Tatapan Ayah yang menjelajah setiap sudut rumah terasa seperti tamparan untukku. Aku merasa orang ini melihat seisi rumah untuk mencari kesalahanku, ketidakmampuanku, ketidaksiapanku. Hanya satu ruang yang tidak Ayah lihat, yaitu kamar tempatku dan istriku tidur. Selain itu, tidak ada sudut yang lolos dari tatapannya. Ayah mencermati seisi rumah seolah sedang memburu hantu, atau tepatnya kesalahanku yang sedang ia buru.
Selama mengamati seisi rumah, Ayah lebih banyak diam. Ketenangan ini jauh berbeda dari apa yang kupikirkan. Sikapnya yang dingin justru membuatku canggung dan serba salah. Ayah juga hanya diam ketika Ayah hanya terdiam melihat bercak jamur bekas bocor air yang terdapat pada ruang kerjaku. Padahal aku sudah menyiapkan beragam pembelaan jika Ayah mengomentari hal itu. Namun Ayah hanya diam.
“Bukan jati?” tanya Ayah sembari mengusap lemari kayu di ruang tengah yang baru saja kubeli sebulan yang lalu.
“Kayu sungkai,” jawabku yang entah mengapa ikut mengusap lemari kayu itu.
Setelah itu Ayah hanya terdiam dan melangkah menuju dapur. Dari dapur, kulihat istriku sedang bercakap-cakap dengan Ibu. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka dibanding harus menemani Ayah yang tidak jelas juntrungannya ini. Sekarang ia malah menunduk dan aku tahu apa yang dilihatnya: tabung gas dan regulator. Ini dia! Aku sudah mempersiapkan banyak jawaban untuk menjawab pertanyaan Ayah seputar tabung gas dan regulator. Silakan bertanya! Pertanyaan-pertanyaan Ayah akan kujawab dengan mantap. Namun sama seperti yang sudah-sudah, Ayah beranjak tanpa bertanya apa-apa. Semua jawaban bahkan sanggahan yang kusiapkan tidak ada yang berguna. Ia justru melangkah ke arah ruang tamu, duduk di sebelah Ibu, dan mulai menyeruput kopi buatan istriku. Ketenangan Ayah membuatku merasa seolah sedang berhadapan dengan sosok lain yang asing.
Siang hingga sore menjelang magrib kami habiskan dengan percakapan-percakapan ringan. Ibu dan Ayah menceritakan liburan akhir tahun mereka ke Bromo. Kami juga menceritakan pengalaman merayakan malam pergantian tahun dengan makan jagung bakar di trotoar kota sembari menonton penyalaan kembang api gratis yang dinyalakan oleh salah satu hotel berbintang di kota kami. Adikku yang sedang kuliah di Jogja juga sempat video call kami dan ikut bergabung sejenak dalam obrolan. Topik demi topik berganti tanpa Ibu atau Ayah membahas soal kontrakan kami. Awalnya Ibu banyak bercerita tentang proses adikku masuk kuliah, hingga kemudian banyak memberi wejangan perihal kehidupan keluarga muda yang tengah kami jalani. Ayah sendiri lebih banyak bercerita tentang orang-orang di kampung halamanku. Mereka yang berganti profesi, mereka yang menikah, mereka yang bercerai, hingga mereka yang belum lama meninggal dunia. Banyak rekan Ayah menitipkan oleh-oleh setelah mereka tahu bahwa Ayah dan Ibu akan mengunjungi kami. Bahkan hingga mereka pamit pulang pada sore keesokan harinya, pembahasan soal rumah sama sekali tidak mereka ungkapkan.
Kami kembali berpisah dengan Ayah dan Ibu dengan sebuah wacana akan kembali bertemu pada libur lebaran. Aku dan istriku berencana untuk mudik. Sebelum pulang, Ibu memeluk dan mencium aku dan istriku secara bergantian. Ayah menyalami istriku terlebih dulu dan baru menyalamiku dengan keadaan yang masih sama, dingin dan tanpa banyak berkomentar. Namun kurasakan jabat tangannya lebih erat jika dibandingkan dengan jabat tangannya ketika baru saja tiba siang kemarin.
Dua hari setelahnya, ketika sore tiba, Ayah mengirimkan sebuah pesan WA untukku. Pesan itu juga langsung kutunjukkan pada istriku yang sedang menyetrika baju. Ia hanya tersenyum menatapku sebelum akhirnya memelukku.
“Sudah kubilang sejak awal bukan? Maksud Ayah itu baik, Mas,” kata istriku.
Tak kurasa tangisku kian hebat ketika ada di pelukan istriku, sembari terus kubaca semua pesan WA dari ayah.
Geser lemari yang ada di ruang tengah itu lebih ke kanan. Sehingga ketika ada terang matahari, lemarimu lebih banyak cahaya matahari. Itu baik untuk lemari kayu agar lemarimu tidak mudah berjamur. Ganti regulatormu dengan regulator yang memiliki pemutar pada bagian atasnya agar istrimu tidak kesulitan ketika mengganti gas.
Rumahmu sangat nyaman. *emotikon ibu jari mengacung*
Aku terus menangis di pelukan istriku. Istriku terus menerus mengucapkan terima kasih padaku, karena menilai aku telah mengondisikan rumah yang nyaman meski rumah ini masih sekadar hunian sementara kami. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Ayah ketika mengirim pesan ini untukku. Apakah ia masih saja dingin seperti kemarin? Atau jangan-jangan Ayah juga ikut menitikkan air mata? Biarlah Tuhan, Ibu yang ada di dekat Ayah, dan Ayah sendiri yang tahu perihal itu. Yang jelas, esok hari aku akan melakukan semua masukan Ayah untuk rumah kami.
Madiun, Juni-Desember 2023
***
Editor: Ghufroni An’ars
Bagus sekali, Pak Kristo! Saya sangat senang membacanya. Saya merasa bahwa ada suasana-suasana yang berbeda-beda disetiap pembicaraan tersebut. Entah kenapa saya juga merasa ikut deg-degan dengan Ayahnya Pak Kristo ketika berkunjung kerumah. Terima juga, Pak. Karena saya ketika selesai membaca ini banyak ilmu yang telah saya ambil : kosakata baru, pemaknaan, penulisan yang benar harusnya bagaimana. Saya berharap Pak Kristo bisa menemani saya dan sabar untuk mengajari saya. Saya bangga terhadap Pak Kristo. Pak Kristo selalu memotivasi saya!
Ada yang salah tulis, Pak. Terima juga itu “Terima kasih.”
Ya ampun kok ini nyentuh hati banget, ayah. Cintanya selalu tampak abu-abu.
Niat ayahnya mendidik seperti itu masa kecil, ya supaya dia paha setelah dewasa. Tapi cara ayahnya yang kurang tepat, sehingga menimbulkan trauma yang dibawa sampai dewasa. Tapi aku suka banget sama ceritanya. Mengalir begitu saja. Cara ayah mencintai anaknya memang berbeda.