Dari novel Bumi Manusia karya pengarang kenamaan Pramoedya Ananta Toer, kita mengenal sosok Nyai Ontosoroh, seorang anak yang dijual oleh ayahnya. Apa yang dialami Nyai Ontosoroh adalah sebuah tragedi dan kemalangan, yang dialami pula oleh banyak anak perempuan lain di Indonesia pada masa itu. Meski begitu, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah tragedi yang dialaminya menjadi sebuah kesempatan. Ia belajar dari suaminya, ia mengenal peradaban dan jatuh cinta pada ilmu pengetahuan, sampai pada titik di mana ia berhasil menyokong dirinya sendiri.
Nyai Ontosoroh berhasil mengelola usaha yang dibangun suaminya. Ia tumbuh sebagai sosok seorang pemimpin bagi putrinya Annelise dan pekerjanya-pekerjanya. Nyai Ontosoroh menjelma dari seorang wanita pribumi yang dijual oleh ayahnya, menjadi sosok pemimpin yang tidak hanya mampu memimpin keluarga, tapi juga sebuah perusahaan besar.
Nyai Ontosoroh adalah representasi perjuangan wanita, dari tidak berdaya menjadi memegang kuasa dan melakukan perlawanan kuat terhadap ketidakadilan. Ia tidak hanya berjuang untuk dirinya, tapi juga membantu perempuan-perempuan di sekitarnya. Perempuan yang terjebak dalam keterpurukan dan tidak memiliki pilihan.
Meski perjuangan Nyai Ontosoroh berujung banyak kehilangan, mulai dari kehilangan harta sampai kehilangan putri yang ia kasihi. Nyai Ontosoroh tidak menyesal, kenyataan bahwa ia telah melawan sekuat tenaga, membuatnya tetap bertahan meski telah mengalami kehilangan besar.
Jika dalam Bumi Manusia kita mengenal Nyai Ontosoroh, dalam semesta lain, sebuah drama asal Korea Selatan yang juga berlatar abad 19, hiduplah seorang wanita kuat dan tangguh seperti Nyai Ontosoroh. Dalam drama Mr. Sunshine garapan penulis Kim Eun Seok terdapat sosok wanita bernama Kudo Hina. Ia adalah wanita Korea yang dijual ayahnya pada Jepang.
Korea yang saat itu masih dikenal sebagai Joseon, masih berada di bawah imperialisme Jepang. Banyak dari rakyat Joseon yang berjuang membebaskan diri dari Jepang, meski begitu banyak juga dari mereka yang justru memanfaatkan Jepang untuk mendapat kekuasaan. Salah satunya adalah Lee Wan Ik, ayah dari Kudo Hina. Ia menikahkan anaknya dengan petinggi Jepang untuk bisa mendapatkan kepercayaan dan posisi penguasa di Joseon.
Kudo Hina, dikarenakan keegoisan ayahnya, dipaksa meninggalkan rumah dan keluarganya. Saat kembali ke Joseon ia kehilangan namanya, Yang Hwa. Ia juga kehilangan ibunya. Pada akhirnya ia kehilangan identitas diri dan orang yang ia cintai.
Sebagaimana Nyai Ontosoroh mengelola perusahaan pertanian di Wonokromo, Broederij Buitenzorg, Kudo Hina juga mengelola sebuah hotel di Joseon, Glory Hotel. Nyai Ontosoroh menerima wanita-wanita malang yang membutuhkan pertolongan di Wonokromo, begitu juga Kudo Hina, ia menerima wanita-wanita yang tidak punya tempat tujuan, memberikan mereka pekerjaan dan perlindungan.
Nyai Ontosoroh dan Kudo Hina hidup di tahun yang tidak jauh berbeda. Nyai Ontosoroh hidup di kisaran tahun 1890-an sedangkan Kudo Hina hidup di kisaran tahun 1870-an. Keduanya sama-sama menjadi korban dari keserakahan orangtua. Nyai Ontosoroh berakhir membenci ibu yang ia anggap tak mampu melindunginya. Kudo Hina berakhir kehilangan ibu yang dicintainya, mencari ke seluruh negeri dan menemukan ibunya sudah meninggal dunia. Keduanya menjadi alat bagi laki-laki untuk mencapai kekuasaan dan materi. Meski begitu, keduanya berhasil keluar dari situasi itu dengan penuh kekuatan dan percaya diri, menjadi pelindung bagi wanita lain yang bernasib sama.
Baca juga: Abusive & Gaslighting Parents in Educated
Nyai Ontosoroh melawan Belanda di pengadilan, berusaha bersuara menyampaikan pemikirannya. Sebisa mungkin berjuang melindungi putri yang dicintainya, Annelise. Bersama Minke, bersama orang-orang yang dia kasihi, mereka berjuang menggunakan pulpen dan kertas, menggugah empati masyarakat, menunjukkan bahwa ada ketidakadilan yang sedang terjadi. Membuka mata masyarakat atas kekejaman dan kejahatan penjajah.
Kudo Hina juga berjuang. Pada awalnya ia hanya ingin mencari kelemahan ayahnya dan menemukan ibunya. Ia berlatih anggar dan menggunakannya sebagai senjata. Awalnya yang diinginkan Hina hanyalah membalas dendam pada ayahnya, di beberapa titik ia terlihat seakan menggunakan perlawanan terhadap Jepang hanya untuk membalas ayahnya. Meski begitu, kepeduliannya pada warga Joseon dan wanita Josoen lainya membuktikan bahwa ia benar-benar peduli pada kampung halamanya itu.
Kudo Hina berjuang dengan cara turun langsung ke lapangan. Ia menjadi agen ganda, masuk ke dalam pemerintahan Jepang kemudian memberi informasi pada Pasukan Kebenaran (pasukan yang berjuang untuk kemerdekaan Joseon). Di akhir kisah, saat tentara Jepang berkumpul di hotel mereka, Hina meledakkan hotel itu dengan tangannya sendiri yang juga berujung pada kematiannya.
Kudo Hina dan Nyai Ontosoroh adalah wanita yang harus hidup dalam tekanan dan desakan laki-laki. Mereka dipaksa melakukan apa yang mereka tidak inginkan, dijadikan alat dan batu loncatan. Mereka adalah satu dari sekian ribu yang berhasil keluar hidup-hidup, ratusan lainnya mungkin tak bisa bertahan. Nyai Ontosoroh dan Kudo Hina memang hanyalah tokoh fiksi. Meski begitu, semangat perjuangan mereka nyata dan bisa kita rasakan sampai hari ini.
***