Lhokseumawe, 2016
Kau kembali terbangun ketika lantunan azan Subuh terdengar dari surau di luar rumahmu, dan mendapati kucing itu masih tertidur di sampingmu. Dengan setengah sadar, kau perhatikan kucing itu masih lelap dalam tidurnya. Sudah bertahun-tahun kucing itu menggantikan kehadiran Amir, suamimu. Kini kucing itu mulai menggeliat, persis seperti kelakuan suamimu yang tidak pernah tenang dalam tidurnya. Lalu seperti biasa, kau lekas bangkit dan pergi ke belakang untuk mengambil air wudu. Hawa dingin yang membasuh tiap-tiap anggota badanmu perlahan-lahan mulai memulihkan seluruh kesadaranmu.
Selepas melaksanakan salat Subuh, kau akan memasak nasi dan menggoreng beberapa potong ikan tongkol untuk makan kucing itu. Tiap kali mencium harum aroma masakanmu, kucing itu akan bangun dan menghampirimu ke dapur. Dan persis seperti kelakuan suamimu, sebentar-sebentar kucing itu akan mengeong seakan menanyakan kau sedang memasak apa, lalu kembali tidur di lantai seraya menunggu ikan tongkol itu matang.
Setelah kalian berdua menghabiskan makanan masing-masing, kau akan mengajak kucing itu bicara, seperti yang sering kau lakukan dengan suamimu selepas kalian berdua menyelesaikan sarapan. Kau tak peduli dan terus mengajaknya bicara, meskipun kau tahu kucing itu hanya akan membalas dengan mengeong atau sekadar mendelikkan matanya.
Kau akan menghabiskan waktu bercengkerama dengannya hingga matahari mulai meninggi, karena setelahnya kucing itu akan pergi, persis seperti yang suamimu lakukan. Kalau suamimu biasanya akan pergi mengurus kebun durian miliknya, entah kucing itu melakukan pekerjaan apa. Kata Hamzah, kucing itu sering kali main ke kebun durian milik suamimu. Kucing itu akan pulang pada jam makan siang, lalu pergi kembali dan pulang lagi pada jam makan malam. Begitulah sehari-hari ia telah menggantikan kehadiran suamimu.
Namun malam itu, ketika kau selesai memasak ikan tongkol kesukaannya, kucing itu belum juga pulang. Perasaan gelisah seperti beberapa tahun yang lalu mulai membayang-bayangi hatimu. Kau terduduk di salah satu bangku yang ada di dapur seraya menunggu kepulangannya hingga larut. Udara malam yang dingin mulai menyusup ke dalam dapurmu, membuat kedua kelopak matamu yang sedari tadi terjaga perlahan-lahan mulai mengendur.
Dengan harap-harap cemas, kau biarkan jendela belakang terbuka dan pergi menuju ranjangmu, berharap kucing itu akan berada di sampingmu ketika kau terbangun oleh pekik azan Subuh. Namun, ketika kau kembali terbangun, kau tak mendapati kucing itu berada di sampingmu. Seketika, perasaan gusar itu kembali mendatangimu. Seperti biasa, kau akan bangkit dan pergi ke belakang untuk mengambil air wudu. Dan kali ini kau berharap hawa dingin yang membasuhmu dapat mengusir rasa gusar yang tengah menggelayuti hatimu.
Sayangnya, selepas kau melaksanakan salat Subuh, rasa gusar itu belum juga meninggalkan hatimu. Kau menengadahkan tangan ke atas seraya melafalkan doa-doa untuk mengusir perasaan gusar itu. Namun, di dalam doamu, kau malah teringat pada kejadian yang sudah telah lama berlalu, yang menimpa mendiang suamimu.
***
Lhokseumawe, 2003
Suara jangkrik saling menderu di dalam semak-semak, ketika suamimu berniat berangkat untuk menengok kebun durian miliknya yang sudah memasuki musim panen. Ia takut kalau durian yang jatuh akan menjadi cacat karena dimakan musang atau kelelawar. Sebenarnya hal itu adalah kebiasaan yang sering dilakukannya setiap musim panen. Namun, malam itu kau mencoba mencegahnya untuk pergi. Kau katakan perasaanmu tidak enak sejak siang hari. Kau merasa ada sebuah duri yang bersarang di relung hatimu. Namun, suamimu bersikeras tetap pergi, karena ia sudah berjanji menjual duriannya sebelum pohon-pohon itu mulai berbuah kepada seorang saudagar di pasar.
Dengan berat hati, kau lantas mengantarkan kepergiannya sampai di depan pintu rumahmu. Sebelum pergi, kau mencium telapak tangannya dengan perasaan khidmat yang sebelumnya tidak pernah kau rasa. Duri yang terasa mengganjal kini terasa mengambang dan mulai menusuk-nusuk hatimu. Ketika suamimu mulai menjalankan sepeda motornya tanpa menoleh ke arahmu, matamu yang mulai berkaca-kaca tak beranjak sedikit pun mengikuti nyala lampu dari sepeda motornya yang perlahan-lahan mulai menjauh. Dan tiba-tiba saja tangismu pecah ketika titik lampu terakhir habis dilumat oleh kegelapan malam, seakan tahu kalau malam itu adalah malam terakhir kau bertemu dengannya.
Kau menutup pintu lalu beranjak pergi ke ranjangmu dengan mata yang belum sepenuhnya berhenti. Keesokannya, ketika kau terbangun dengan mata yang sembap karena air matamu yang enggan berhenti semalaman, kau tak mendapati suamimu berada di sampingmu. Biasanya ia sudah pulang sebelum terdengar lantunan azan Subuh.
Kau masih ingat hari itu. Selepas melaksanakan salat Subuh, dengan mata yang masih sembap dan hati yang teraduk-aduk, kau lantas menyusul ke kebun durian. Pagi itu matahari belum sepenuhnya terbit dan hawa dingin masih menyelimuti seluruh gampongmu, tapi kau tetap berjalan tanpa menghiraukan hawa dingin yang mulai menusuk-nusuk bagian kulitmu.
Sesampainya di kebun, kau hanya mendapati sepeda motor suamimu tengah bersandar di depan saung dengan keranjang bambu terpasang di jok belakang. Kau berusaha untuk memeriksa keadaan di sekitar saung. Namun, sampai keringat sebesar butiran jagung membasahi keningmu, kau tak mendapati tanda-tanda suamimu berada di sekitar situ, hanya ada dua buah durian diam membisu di dalam keranjang bambu.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, kau lantas bergegas pergi ke rumah Hamzah, adik laki-lakimu.
“Amir hilang!” katamu, ketika Hamzah dan istrinya, Fatimah, baru saja menyambut kedatanganmu.
Selanjutnya, kau berkata dengan nada yang terbata-bata seraya menahan air mata, “tadi… di kebun hanya ada sepeda motornya. Semalam… sudah kuperingatkan padanya untuk jangan pergi.”
“Sudah, Kak. Biar Hamzah yang carikan,” ucap adik laki-lakimu yang langsung pergi tanpa kau suruh.
Di rumah Hamzah, matamu yang telah sembap kembali menumpahkan segala isinya, disertai perasaan sesak yang mulai menjalar di dalam dadamu. Fatimah yang sedari tadi mengelus-elus bahumu seraya mengucap kata sabar, lantas pergi ke belakang mengambil segelas air putih untukmu, sekadar untuk meredakan tangismu yang kini mulai disertai batuk-batuk.
Dengan susah payah kau meneguk segelas air yang diberikan oleh Fatimah, karena tanganmu yang tak mau berhenti gemetar. Segelas air itu segera tandas menyusuri kerongkonganmu, sedikit meringankan rasa sakit yang menjangkiti dadamu. Namun, kali ini perasaan sakit itu mulai menyerang kepalamu, rasanya bak dihantam oleh puluhan palu. Firasatmu semalam benar. Duri yang mengganjal di dalam hatimu telah memperingatkan. Pasti akan ada sesuatu yang terjadi pada suamimu.
***
Lantunan azan Zuhur baru saja tandas dari kerongkongan muazin ketika kedua orang tentara itu datang ke rumahmu. Kedua orang tentara itu berpostur tinggi, berkulit sawo matang, dengan cukuran kepala gundul, namun tampak terlihat masih muda. Bak pinang dibelah dua, kau bahkan tak dapat membedakan di antara keduanya. Dengan perkataan sopan yang dibuat-buat, niat mereka kemari adalah untuk meminta maaf kepada suamimu. Katanya mereka tidak sengaja memukul suamimu karena mereka menggangap suamimu membantu pasukan separatis yang ingin menyabotase perusahaan minyak yang dijaga oleh mereka.
Suamimu yang tengah menikmati makanannya lantas berdiri karena mendengar alasan kedua orang tentara itu. Ia menatap wajah kedua orang tentara itu dengan mata yang menyala-nyala bak seekor harimau yang siap meloncat dan mencengkeram mangsanya. Suasana hangat yang biasa memenuhi seluruh rumahmu ketika kau tengah menyantap makan siang dengannya seketika berubah menjadi beku. Lalu kesunyian mulai merayap menyelimuti langit-langit dan dinding rumahmu.
Tadinya kau ingin memecah kesunyian yang perlahan-lahan mulai mencekik dadamu. Tetapi kau bisa memaklumi reaksi suamimu, karena alasan yang diutarakan kedua tentara itu hanyalah alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan pemukulan terhadapnya, dan kau tahu kejadian yang sebenarnya tidak seperti itu.
Sore sebelumnya, belum selesai kau menyiapkan makanan untuk makan malam. Kau sudah disibukkan dengan kepulangan suamimu yang membawa luka lebam di pelipis mata kirinya, seperti orang yang baru saja pulang dari perkelahian.
“Haduh… kenapa bisa begini, Bang?” ucapmu tanpa sempat menyembunyikan rasa khawatir yang bergejolak di dadamu.
“Ah… biasa ini, Dek,” ucap suamimu seraya menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi.
Dengan tangan gemetar, kau mencoba meraba-raba bagian luka lebam yang berukuran sebesar biji salak itu.
Suamimu yang berusaha tetap terlihat kuat, mencoba untuk menahan rasa perih akibat jari-jari tanganmu yang tak sengaja menyentuh lebam itu.
“Aku ambil kain dan air hangat, ya, Bang,” ucapmu seraya berlari ke belakang tanpa menunggu jawabannya.
Ketika kau mengompres bagian lukanya dengan air hangat, suamimu baru menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.
“Tadi, ketika aku sedang membantu Umar memasukkan beberapa buah durian ke dalam keranjang bambu, dua orang tentara itu tidak sengaja lewat. Perasaanku mulai terasa tidak enak ketika salah seorang dari mereka berjalan ke arah kami berdua.”
Kau mencoba mendengarkannya dengan khidmat tanpa menghentikan kegiatan mengompres bagian lukanya.
“Benar saja, seperti biasa, tentara yang menghampiriku itu mencoba untuk meminta beberapa buah durian milik Umar secara cuma-cuma. Aku merasa kesal dengan perlakuan mereka, tapi aku tahan. Aku diam dan tidak menanggapi omongan mereka. Mungkin karena merasa terhina tentara itu lantas memukulku ketika aku lengah. Aku tak sempat membalas pukulannya karena keburu dilerai Umar.”
“Kenapa tidak diberikan saja, Bang, barang sebuah?” tanyamu.
“Aku tidak sudi memberikan punya Umar kepada mereka, Dek. Lagi pula sudah sering para tentara itu mengusili para penduduk gampong,” jawab suamimu dengan nada yang agak tinggi.
“Hatiku makin mendidih karena Umar malah memberikan beberapa buah duriannya, katanya, sebagai permintaan maaf,” tambah suamimu.
“Sudah, Bang. Sekarang Abang banyak-banyak istigfar saja. Biar nanti perbuatan mereka Allah yang balas,” ucapmu mencoba untuk meredakan amarahnya.
***
Waktu berjalan terasa lambat, detik demi detik, menit demi menit berlalu. Setelah adu tatapan yang berakhir tanpa ujung, akhirnya suamimu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Kini kesunyian itu benar-benar mencekik dadamu, karena kau tahu apa yang akan dilakukan olehnya. Ia akan membawa arang dan menyulutnya untuk memecah kesunyian yang sedari tadi juga ikut mencekiknya.
Suamimu keluar dengan menenteng rencong peninggalan orang tuanya.
“Keluar!” hardik suamimu ke arah dua orang tentara itu.
Kedua tentara itu hanya bergeming.
“Keluar kalian! Jangan berani-beraninya kalian memasuki rumahku lagi!” hardiknya kembali seraya mengacungkan rencong yang telah lepas dari sarungnya.
Kesunyian itu pecah, tapi perasaan yang lain tambah mencekik dadamu. Kini hawa di rumahmu terasa gersang dan pengap. Kau merasakan keringat mulai turun membasahi lehermu. Kau ingin melerai, tapi perasaan ngeri menahanmu untuk beranjak dari kursimu.
Tanpa pamit, akhirnya kedua orang tentara itu lantas pergi, menyelamatkan wajah mereka masing-masing, karena perlakuan suamimu barusan sama seperti melemparkan setumpuk kotoran ke wajah mereka. Namun, seorang di antaranya sempat menoleh ke arahmu sebelum habis dilumat ambang pintu. Sepintas di matanya kau dapat menangkap semacam bara yang menambah rasa ngeri di dalam hatimu.
***
Semenjak hari itu kau merasa terpukul dan mulai kehilangan nafsu makan. Walaupun kau tak tahu persis, apa ada hubungannya antara kehilangan suamimu dengan kedatangan kedua orang tentara itu. Namun, sedikit-sedikit kau akan menangis bila teringat kejadian sore itu. Kini kau lebih suka mengurung diri di dalam rumahmu karena enggan untuk berpapasan dengan para tentara yang sering kali mondar-mandir di gampongmu.
Seperti yang sering diceritakan oleh Fatimah ketika bertandang ke rumahmu, Hamzah yang merasa prihatin denganmu berjanji akan terus berusaha mencari suamimu. Mula-mula, ia mencoba mengadukan masalah itu kepada Keuchik. Ia mencoba menjabarkan kejadian itu secara runut, yang menurutnya ada hubungannya dengan dua orang tentara yang sebelumnya mendatangi rumahmu.
Hari itu juga, Hamzah dan Fatimah lantas mendatangi salah satu barak tempat tentara itu berjaga untuk meminta penjelasan terkait keberadaan suamimu. Namun, ketika mereka baru sampai di jalan setapak menuju barak, mereka dikejutkan dengan berondongan peluru yang dilontarkan ke arah mereka. Dengan langkah yang tunggang langgang dan wajah yang putih pucat bak baru saja melihat mayat, mereka berhasil menghindar dari kejaran peluru itu.
Kepalamu terasa berputar dan dadamu terasa tertekan ketika mendengar cerita yang dituturkan oleh Fatimah itu. Kini, ia selalu menyempatkan diri untuk bertandang ke rumahmu. Biasanya ia akan membawakan persediaan makanan untukmu, dan mengobrol-ngobrol sebentar untuk sekadar melipur laramu, atau jika ada kabar tentang suamimu, ia akan buru-buru menceritakannya kepadamu.
Begitulah kau menjalani hari-harimu tanpa kehadiran suamimu. Dadamu terasa kosong, dan tiada hari kau lewatkan tanpa menitikkan air mata. Hingga pada suatu hari, seekor kucing berbulu belang-tiga mendatangi rumahmu. Kucing itu datang dari pintu belakang rumahmu yang terbuka ketika kau tengah menaruh persediaan makanan yang diberikan oleh Fatimah di dapurmu. Kucing itu terus mengeong sekadar mengharapkan sedikit makanan yang ada di dalam bungkusan itu. Tidak ingin membuatnya terus mengemis, kau akhirnya memberikan beberapa potong ikan tongkol mentah kepadanya.
Namun, kucing itu hanya mengendusnya dan kembali mengeong kepadamu. Kau sempat merasa jengkel. Kau ambil kembali potongan ikan itu. Mula-mula kau mencucinya, lalu mengorengnya. Setelah matang, kau kembali memberikan potongan ikan itu kepadanya. Ia berhenti mengeong dan memakan pemberianmu dengan lahap. Setelahnya, ia tidak langsung pergi. Ia menggosok-gosokkan tubuhnya ke kakimu, pertanda ia menyukaimu. Kau merasakan perasaan girang memenuhi dadamu. Kau tersenyum ketika kucing itu mulai menggeliat di lantai dapurmu.
Kejadian itu terus berulang setiap hari. Kucing itu akan datang pada pagi, siang, dan malam hari. Dan biasanya kucing itu akan bermalam di belakang teras rumahmu. Pagi-pagi benar kucing itu akan terbangun dan mengeong dari balik pintu belakang rumahmu ketika kau hendak memasak makanan untuknya. Tiap kali memberinya makan, kau rasakan hawa sejuk membelai hatimu. Dan ketika kau mengelus-elus kepalanya, hawa sejuk itu mengisi ceruk-ceruk yang telah lama kosong di dalam dadamu. Fatimah yang melihat perubahan di raut wajahmu, akhirnya membawakan beberapa potong ikan tongkol tambahan untuk makan kucing itu.
Hari-hari berlalu dan gampongmu mulai memasuki musim penghujan. Angin kencang kadang menderak-derak pintu rumahmu, air hujan yang sering kali menghantam atap rumahmu, dan membuatmu memikirkan keadaan kucing itu. Karena kau tak tega membiarkan kucing itu terus-terusan tidur di luar dalam kondisi kedinginan, kau mengajak kucing itu untuk bermalam di rumahmu. Mula-mula kucing itu lebih senang tidur di dapurmu, namun lama-kelamaan kucing itu mulai tidur di lantai kamarmu, dan terakhir dia tidur di ranjangmu.
Di malam hari, sebelum kau memejamkan mata. Kadang kau berpikir kucing itu mencoba menjelma menjadi sosok suamimu. Ia sering kali tidur dalam keadaan tidak tenang, ia bangun ketika mencium harum masakan, ia pergi selepas menyantap makanan. Dan perlahan tapi pasti, kau merasa kucing itu telah menggantikan kehadiran suamimu.
***
Lhokseumawe, 2016
Sinar matahari menerobos tirai-tirai jendela kamarmu. Kau terbangun di atas sajadahmu ketika mendengar suara ngeongan dari arah pintu depan rumahmu. Tak kau sadari, kau tertidur di atas sajadahmu ketika subuh, seusai berdoa teramat pilu. Kau berlari menuju pintu, tanpa terlebih dahulu membereskan peralatan salatmu, berharap mendapati kucing itu ada di sana.
Namun, ketika kau membukakannya, kau malah mendapati Hamzah dengan bungkusan yang berisi persediaan makanan untukmu. Kau agak curiga karena biasanya Fatimah yang akan membawakannya. Selepas menaruh bungkusan itu, ia tidak langsung beranjak pergi. Ia duduk di ruang tamu dan mencoba untuk memberitahumu tentang berita yang baru saja menggemparkan seluruh penjuru gampong.
Mula-mula, salah seorang warga yang tengah mencari bayam liar di bekas barak tentara menemukan seekor kucing tengah mengais-ngais salah satu petak tanah yang ada di belakang bangunan bekas gudang senjata. Barak itu sudah lama tak terpakai semenjak kejadian tsunami yang sedikitnya sempat melanda gampong, setahun setelah kau kehilangan suamimu.
Kucing itu menemukan beberapa potong tulang dari petak penggaliannya. Karena penasaran, warga itu lalu menghampiri kucing itu. Namun, ketika dihampiri, kucing itu malah berlari dan meninggalkan potongan tulang yang tadi ditemukannya.
Warga yang merasa curiga dengan keberadaan tulang di belakang gudang itu segera melaporkannya kepada Keuchik. Keuchik yang mendengar penjelasannya lantas mengumpulkan beberapa orang, termasuk Hamzah, untuk menggali tanah di belakang gudang itu. Setelah beberapa warga dikerahkan untuk menggali, mereka semua dikejutkan dengan banyaknya temuan tengkorak manusia yang terkubur di tanah itu. Hamzah pun sempat terkejut ketika mendapati salah satu tengkorak memiliki gigi palsu yang terbuat dari perak. Tak salah lagi, itu adalah tengkorak Amir, abang iparnya, yang telah hilang selama tiga belas tahun.
Matamu yang sembap sempat berkaca-kaca mendengar kabar itu. Namun, ceritanya tak hanya sampai di situ. Sepulangnya dari gudang, Hamzah tak sengaja melihat kucing yang telah menggantikan kehadiran suamimu tengah tidur di bawah salah satu pohon durian di kebun milik suamimu. Awalnya ia mengira kalau kucing itu tengah bersantai, karena persis seperti kelakuan suamimu, kucing itu sering kali mondar-mandir di kebun durian. Namun, ketika dihampiri olehnya, kucing itu hanya bergeming dengan mata terkatup.
Kau yang mendengar kabar itu hanya bisa tertunduk lesu seakan ruh di dalam tubuhmu baru saja dicabut. Matamu yang sudah berkaca-kaca kembali menumpahkan segala isinya. Lalu, sebuah tubuh mulai mendekap seraya mengelus-ngelus punggungmu. Kau kembali mendengar kata sabar dilantunkan berkali-kali di telingamu.
Cibubur, 9 Februari 2022