Pada hari ketujuh menghilangnya istriku, aku menghabiskan waktu dengan duduk di meja dekat jendela kafe ini sambil membaca koran pada rubrik berita daerah. Sudah seminggu mereka menurunkan liputan tentang longsor dan banjir bandang di kabupaten Carutu yang menghanyutkan puing kapal perang dari abad ke tujuh belas. Menurut cerita, selama berabad -abad lamanya kapal itu terkubur di dalam perut sebuah bukit.
Saat ini puing-puing kapal sudah berhasil dievakuasi dari sungai dan sekelompok peneliti dari Universitas Indonesia telah tiba di lokasi. Aliran sungai juga kembali lancar. Koran yang beberapa hari ini disibukkan oleh laporan tim SAR dan kepolisian beralih mewawancarai tokoh LSM lingkungan sampai kelompok aktivis pelajar yang nampaknya ingin menyeret perusahaan perumahan dan sejumlah politisi lokal yang kongkalikong dalam pengurusan izin menambang tanah di bukit Sampuloa.
Sambil menyesap kopi aku membaca berita itu sekali lagi dan menyusun hipotesisku sendiri tentang keterkaitan berbagai peristiwa. Aku tidak sedang menutupi sesuatu atau berbohong kepada kalian jika kukatakan bahwa peristiwa menghilangnya istriku memiliki keterkaitan dengan bencana banjir ini.
Yah, kalian mungkin menganggapku mengada-ada, tapi aku akan coba jelaskan.
***
Malam itu aku pulang ke rumah agak larut. Ketika aku membuka pintu, ruang utama gelap gulita, hanya menyisakan pendar putih dari layar televisi. Aku melihat siluet istriku dengan punggung tegak tengah serius menonton berita. Breaking news dengan volume penuh. Aku berdiri terpaku sesaat dan ikut larut dalam laporan sebelum menyadari sesuatu. Astaga, aku mengenali tempat itu; kios pinggir jalan, pom bensin, bangunan mesjid yang tergenang. Itu kampung mertuaku.
Tanpa membuka jaket atau menurunkan tas aku segera melakukan panggilan telepon.
“Apa yang terjadi?” kataku kepada istriku, “Bagaimana dengan rumah Ibu?”
Tapi tak ada jawaban. Dia bahkan tak menoleh untuk melihatku.
“Hei,” teriakku dalam kegelapan, “Apa yang terjadi?”
Sementara telepon di telingaku terus memanggil tapi tak ada yang menjawab di seberang. Aku lalu menelpon iparku, Kasmin. Ia juga tak menjawab.
Aku menyalakan lampu dan duduk di dekat istriku. “Hei,” aku mengguncang bahunya. Tapi pandangan istriku tertuju ke berita, tanpa ekspresi. Tenang dan kosong.
Butuh waktu lama sebelum akhirnya dia menoleh ke arahku dan menunjuk ke arah televisi. “Lihat itu.”
Berita melaporkan langsung dari tempat kejadian. Tapi kamera hanya menayangkan latar malam gelap. Aku harus mendekat untuk melihat apa yang dimaksud istriku. Kali ini tak ada suara reporter, hanya bunyi deras air sungai. Betul, air sungai berwarna gelap dan orang-orang terlihat berkerumun di pinggirnya sungai. Hujan turun dalam intensitas sedang, orang-orang berteriak dalam bahasa setempat dan cahaya dari senter-senter tangan menyorot satu objek besar yang menyangkut di jembatan.
Aku memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi. Dalam gelapnya layar aku berjuang untuk mengenali benda tersebut.
“Kapal?” Kataku kepada diri sendiri, “Sebuah kapal. Sejak kapan benda itu berada di sana?” Aku berpaling kepada istriku.
Sebuah kapal besar dari kayu seukuran rumah penduduk. Tak salah lagi, kayu cokelat yang kuat, dengan tiang-tiang pancang tinggi, layar besar dengan beberapa sobekan sana-sini tampak setengah terguling mencoba menyusup di bawah jembatan. Bentuknya serupa kapal bajak laut dalam film Jack Sparrow, kapal perang yang datang dari zaman lampau.
Ukurannya yang besar dan tinggi air yang nyaris mencapai jembatan membuatnya tertahan di sana. Sementara laju air sungai yang sangat deras membuat tak seorang pun berani mendekat.
“Dari mana datangnya kapal itu?” Aku terduduk masih tak percaya.
“Saya sudah pernah menceritakan ini padamu,” balas istriku, “kau ingat?”
***
Aku tidak yakin kapan tepatnya dia membicarakan tentang kapal itu kepadaku. Ingatan paling samarku menduga itu terjadi pada suatu malam saat kami sedang ada cekcok. Aku lupa sebabnya. Mungkin aku lupa membelikannya sesuatu atau apalah. Dia menangis dan aku mengelus-elus rambutnya, menenangkannya. Bersandar di bahuku istriku mulai bercerita tentang bangkai kapal perang yang tertimbun di puncak bukit belakang sekolahnya dulu.
Mantan pacarnya di SMA yang memberitahu hal itu. Mansur, siswa paling pintar di sekolah yang bercita-cita menjadi arkeolog membual bahwa di dalam perut bukit Sampuloa terkubur bangkai kapal perang dari abad ke tujuh belas. Dibanding bukit-bukit yang lain, yang satu ini memang terlihat aneh. Ada tonjolan di sisi timur yang menyerupai buritan kapal juga gundukan mengembang serupa layar. Bukit itu lebih mirip sobekan awan plus imajinasi liar siswa sekolah dasar. Maksudku, jika Anda ingin sedikit berusaha membayangkannya, bentuknya memang menyerupai kapal. Istriku bahkan memperlihatkan fotonya kepadaku. Seperti guci keramik yang ditutupi kain putih di museum-museum Eropa. Tak seorang pun teman yang mempercayai cerita Mansur, bahkan guru sejarahnya pun tak berniat meladeninya.
Satu-satunya yang peduli adalah Istriku. Mansur mengajaknya berkendara dengan sepeda motor pada suatu minggu pagi sampai ke kaki bukit. Di sana, Mansur menggali tanah dengan kedua tangannya hingga kedalaman tertentu. Dari tanah basah di bawah kaki mereka Mansur menemukan berbagai jenis kerang dan batu-batu laut. Dia bilang mereka sudah terkubur selama berabad-abad sejak orang-orang terdahulu membuat bukit baru untuk menimbun kapal perang sewaktu bentrok peghabisan melawan VOC tahun 1697.
***
Waktu itu kesultanan Gowa-Tallo telah terkepung dari segala penjuru. Di pesisir selatan, kapal perang kolonial dan sekutu dalam perjalanan pulang dari perang Buton singgah di kota-kota seperti Binamu dan Turatea lalu membakar habis rumah-rumah warga dan lumbung pangan mereka. Salah seorang raja lokal muncul dengan sebuah ide gila. Dia memerintahkan rakyatnya untuk memasukkan semua harta benda ke dalam kapalnya lalu mendorongnya naik ke bukit. Berkejaran dengan musuh yang semakin mendekat, mereka mendorong kapal yang dipenuhi beras, emas, dan sapi melawan arus sungai yang sedang surut dan menggunakan gelondongan batang kelapa sebagai rel untuk menariknya naik ke bukit.
Yang terlambat disadari oleh mereka adalah belum ada seorang pun dalam sejarah nenek moyang atau dalam cerita para syekh tentang orang alim yang mampu menaikkan kapal ke atas gunung. Bahkan Nabi Nuh pun membuatnya di atas bukit, bukan mendorongnya. Tak habis akal Si Raja memerintahkan untuk menimbuni perahu itu dengan pasir pantai dan sungai. Meski tak sempurna, usaha mereka berhasil menambah satu lagi bukit dan membuat bingung Cornelis de Houtmann sehingga menembak mati penunjuk jalan yang dianggapnya memberikan informasi salah.
Ketika istriku membicarakan itu sepasang air mata melintas di pipinya. Aku bertanya kenapa, dia tak menjawab. Tatapannya kosong, seperti mengembara ke masa lalu.
Aku memeluknya dan merasakan sesuatu yang aneh juga memenuhi diriku. Apakah aku cemburu pada mantan kekasihnya? Apakah aku terganggu dengan cerita itu?
Entahlah. Untuk beberapa waktu cerita itu bertahan lalu perlahan menguap ke udara. Ketika aku mencoba mengkonfirmasi fakta sejarah itu di kemudian hari –saya pergi ke perpustakaan provinsi dan menemukan cerita yang saling bertentangan dan lebih mirip kumpulan cerita rakyat. Jika ada fakta yang bisa dipercaya adalah kampung istriku merupakan satu-satunya kawasan yang tidak hancurkan oleh penjajah.
Mansur meninggal dalam sebuah kecelakaan sepeda motor di kelas 3 dan setelahnya tak ada lagi yang mau membahas tentang kapal perang tua itu, bahkan istriku.
Hingga suatu malam ketika aku mendengar kabar tentang banjir bandang itu, aku pergi tidur dengan rasa bingung yang sama. Aku bersiap untuk mengatur ulang semua pertemuan dan pekerjaan esok hari demi menemani istriku pulang kampung menengok mertua kami dan mendapati di pagi hari rumah telah kosong dan sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
“Tidak usah mencariku lagi.”
***
Ponselku berdering. Mertua laki-laki menelpon. “Halo, Nak, bagaimana kabarmu?” Dia berbicara sangat hati-hati. Aku bisa mendengar ibu mertua berbisik di latar belakang. Jadi kukatakan sejujurnya kondisiku sekarang. Sehat dan baik-baik saja.
“Mengenai Ita,” ada jeda sesaat di seberang sambungan, “sepertinya situasinya bertambah rumit. Kami sendiri di sini kebingungan untuk menanganinya…” Ada jeda lagi, kali ini lebih panjang.
“Tidak apa-apa,” kataku, “Jika dia tak ingin pulang untuk sementara waktu, biarlah begitu, saya tak masalah.”
“Tapi, Nak, istrimu ini sudah terlibat terlalu jauh. Kau tahu puing kapal tua yang kini ditangani pemerintah? Dia menawarkan diri untuk masuk tim relawan. Kami tak tahu setan apa yang merasukinya. Dia menghabiskan sepanjang hari memandangi puing-puing kapal itu seperti orang gila. Pagi-pagi sekali istrimu akan berdiri di sana, mengais-ngais sesuatu dari reruntuhannya. Tetangga sudah mulai membicarakan hal-hal aneh tentangnya. Kami tak sanggup lagi…” Lalu terdengar ibu mertuaku menangis.
Aku menyesap kopiku sekali lagi tanpa sadar bahwa tak ada apa-apa lagi di dalam gelas. Sementara mertuaku terus berbicara saya memandangi jalanan siang di luar.
***
Sebuah awan gelap bergerak mendekat di langit atas kami. Beberapa orang mempercepat langkahnya, sebagian berlari-lari kecil. Bayangan awan mulai menutupi matahari, kegelapan masuk melalui jendela, menjalar di lantai ubin, menghitamkan kaki meja-meja kafe dan kakiku. Guntur pertama menggelegar. Aku menutup telepon.
Jangan mencariku lagi, katanya.
Apa yang salah dengan rumah tanggaku? Tiga tahun pernikahan tanpa rintangan berarti. Ekonomi kami, meski tidak begitu makmur tapi berkecukupan untuk keluarga muda yang mencoba mandiri di kota seperti Makassar. Aku bekerja dengan giat, berhasil membeli rumah pada tahun ketiga, memiliki kendaraan sendiri, dan prospek karir yang cerah di masa depan menantiku. Kami memang belum memiliki anak, Ita sedang menjalani terapi untuk rahimnya, tapi aku tak pernah mengeluh dan dia juga tidak terlihat bersedih akan hal itu. Kami juga tak pernah bermasalah dengan orang ketiga.
Satu-satunya hal yang menggangguku adalah hubungan aneh antara puing-puing kapal tua itu dengan masalah yang kuhadapi saat ini. Sejak menghilangnya Ita tak sekali pun aku menunjukkan gelagat yang pantas sebagai seorang suami. Aku tak menyusulnya ke kampung demi membawanya kembali. Kakiku seperti terantai di sini. Aku menunggu dan menunggu, sesuatu yang sebenarnya tidak kutahu apa. Diam-diam aku merasa semuanya tak lagi sama, bahwa ada bentangan ruang kosong yang semakin hari semakin melebar antara saya dan istriku. Aku berdiri di sini dan ia di sana, menjauh dan semakin menjauh.
Hujan deras turun setelahnya. Aku butuh segelas kopi lagi, sesuatu yang kasar nampaknya menyangkut di tenggorokanku, seperti mencekik. Tapi alih-alih memanggil pelayannya, aku bangkit dari kursi dan pergi membayar dan segera keluar dari tempat ini. Aku melemparkan diri ke dalam hujan dan mulai menangis.[]