Krisis Logika Aktivis Kiri

Raisa Rahima

3 min read

Kita familiar dengan sebutan abang-abangan kiri, aktipis kiri, si paling leftist, marxis, sosialis, dan lain sebagainya di ruang kampus kita. Tak jarang, mereka dianggap si paling pintar, kritis, dan logis karena menonjolkan sikap “anti”-nya terhadap suatu gagasan tertentu, misalnya kapitalisme dan borjuisme. Mereka sering kali mengatakan “persetan orang kaya”, “persetan Starbucks”, dan lain sebagainya yang menonjolkan gaya ke-kapitalis-kapitalis-an.

Namun, saya butuh mengatakan dengan tegas bahwa sikap anti tidaklah sama dengan penggunaan daya kritis dan logis. Sikap adalah keputusan yang kita lakukan atas dasar kepercayaan yang kita percayai. Jika kita percaya Islam, maka kita tidak memakan babi. Sebaliknya, penggunaan daya “kritis dan logis” berarti mencerna hubungan pernyataan “memakan babi” dengan “memercayai Islam”. Barulah, jika kita menemukan hubungannya, kita membuat sikap imperatif atas kenapa Islam harus dipercaya.

Menarik kesimpulan “oposan komunis” dari pernyataan “dia minum di Starbucks” keliru secara logis. Dalam logika varian mana pun, tidak ada penyimpulan yang datang tanpa premis terberi (kecuali prinsip-prinsip deduksi tertentu). Sayangnya, Indonesia banjir penyimpulan jenis ini.

Saya sebut penyimpulan itu sebagai penyimpulan sok kritis yang tidak menggunakan penyimpulan logis dan analitis mana pun, tetapi menggunakan sikap religious (imperatif) dari apa yang mereka percayai. Mereka menalar, apa pun alasan logisnya, komunisme benar sehingga peminum Starbucks berarti mendukung kapitalisme dan mendukung komunisme berarti menolak teknokratisme. Hal ini tentu menyesatkan. Sebab, seharusnya sikap imperatif datang setelah daya kritis dan logis. Setelah kita menalar pernyataan secara logis, barulah kita membuat sikap imperatifnya.

Menalar peminum Starbucks adalah kapitalis berarti menentukan spesifikasi apa yang disebut sebagai kapitalis dan apa yang disebut sebagai peminum Starbucks. Peminum Starbucks adalah orang yang minum Starbucks (mungkin sering) dan kapitalis berarti pemilik modal yang mengeksploitasi pekerjanya. Tentu kedua hal ini berbeda, peminum Starbucks membeli minuman Starbucks atas modal yang dia punya. Kapitalis melakukan “eksploitasi” atas sesuatu yang ia punya. Dari mana peminum Starbucks disimpulkan sebagai kapitalis?

Secara klasik, logika sok kritis bisa disimpulkan begini:

(1) Peminum Starbucks adalah orang yang membeli minuman Starbucks atas modal yang ia punya.

(2) Kapitalis adalah orang yang mengeksploitasi pekerja atas modal yang ia punya.

Maka, peminum Starbucks adalah kapitalis.

Seharusnya, penyimpulan tersebut digantikan sebagai berikut:

(1) Peminum Starbucks membeli Starbucks atas modal yang ia punya.

(2) Kapitalis adalah orang yang mengeksploitasi pekerja atas modal yang ia punya.

Maka, peminum Starbucks bukanlah kapitalis.

Lucunya lagi, sebenarnya Marx mendukung situasi ketika semua orang kaya dan sejahtera seperti yang sering dilawan oleh aktipis-aktipis kiri. Barangkali, aktipis-aktipis kiri kebanyakan menolak orang-kaya-pengguna-iPhone karena pemahamannya akan Marx keliru. Atau mungkin, sesederhana mereka tidak bisa menggunakan penalaran yang valid.

Marx adalah seorang materialis. Dia pasti ingin semua orang di dunia ini minum Starbucks dan memiliki iPhone. Kenapa peminum Starbucks harus dijelek-jelekkan?

Seharusnya, aktipis kiri tidak menjelek-jelekkan apa pun. Menjelek-jelekkan apa pun dan bersikap anti bukanlah suatu sikap intelektual. Seharusnya, aktipis kiri menalar secara ilmiah kenapa Starbucks memiliki bias kapitalis dan merebut kuasa Starbucks agar dapat dinikmati bersama. Inilah tugas anak kebijakan dan, ya, mungkin ada anak kebijakan yang mau menulis tentang betapa aktipis kiri harus banyak-banyak membaca buku kebijakan. Namun, khusus untuk tulisan ini, sebagai anak logika, saya ingin menulis bagaimana aktipis kiri harus banyak-banyak baca buku logika.

Baca juga:

Marx untuk Disembah, Bukan Menumpas Kapitalisme

Hari ini, pemikiran Marx sekadar digunakan untuk disembah. Pernyataan ini mungkin bisa didukung dengan penelitian bahwa hanya sedikit aktivis yang benar-benar membaca Marx—tapi itu adalah kasus lain. Yang ingin saya tekankan adalah pemikiran Marx telah kehilangan fungsinya untuk menumpas kapitalisme. Itulah paradoks aktipis kiri.

Aktipis kiri menggunakan Marx langsung sebagai sikap imperatif. Namun, sikap imperatif semestinya datang dari penalaran valid mengapa sikap imperatif itu ada. Jika seseorang menggunakan Marx langsung sebagai sikap imperatif, apa bedanya mereka dengan jihadis Islam yang mereka benci? Bahkan, tak jarang saya menemukan muslim yang menggunakan penalaran yang lebih valid karena mampu “menjelaskan” kenapa sikap imperatif mereka ada.

Paradoksnya lagi, Marx menolak penalaran yang moralis alias bertumpu pada sikap imperatif. Marx, seorang materialis parah, dalam filsafatnya mengamini bahwa manusia secara esensial harus selalu bergantung pada materi, bukan ide. Tidak ada ceritanya manusia ingin mencapai kesejahteraan, manusia hanya ingin mencapai materi-materi (iPhone, rumah layak, pendidikan layak) yang dapat dicapai bersama-sama. Itulah juga alasan mengapa Marx menolak agama. Kita telah ditipu Hegel bahwa kemiskinan terjadi karena roh absolut di dunia immaterial yang menghendaki manusia untuk menjadi sengsara ketika kenyataannya kesengsaraan terjadi karena orang kaya yang licik melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Untuk menjembatani alasan (1) dan (2), ada benang merah yang setidaknya dapat kita ambil: gunakanlah argumentasi yang berbasis pada penalaran yang valid, bukan sekadar sikap. Argumen “peminum Starbucks adalah kapitalis” dan “teknokratisme adalah buruk” muncul dari penalaran yang salah. Kita harus menalar apa itu peminum Starbucks, apa itu kapitalis, dan bagaimana hubungan keduanya. Kita harus menalar apa itu teknokratisme, mengapa ia buruk, dan apa hubungan keduanya.

Alur penalaran sikap sebagai premis dan penalaran sebagai simpulan adalah cara penalaran yang salah. Perhatikan contoh ini:

(1) Kapitalis salah (premis)

(2) Starbucks kapitalis

(3) Starbucks salah (simpulan)

Seharusnya, kita membuat penalaran sikap sebagai simpulan dan penalaran sebagai premis seperti ini:

(1) Starbucks mendukung eksploitasi kaum pekerja (premis)

(2) Eksploitasi kaum pekerja adalah salah

(3) Starbucks salah/harus direbut (simpulan dan sikap)

Metode penalaran yang kedua ini disebut juga sebagai metode induksi dan, sering kali, metode ilmiah. Kita harus berpikir secara ilmiah ketika berargumen mengapa komunisme benar, bukan berargumen langsung bahwa komunisme benar sehingga apa pun yang “terlihat” menentang nilai-nilainya lantas salah.

Pola penalaran yang berorientasi pada nilai adalah pola penilaian arbitrer yang keliru. Tanpa penalaran apa pun, kita bisa saja memercayai bahwa Lana Del Rey adalah penyanyi terbaik karena kepercayaan itu tidak menonjolkan sifat ilmiah dan logis.

Oleh karena itu, aktipis kiri harus menggunakan penalaran logis dan ilmiah, alih-alih penalaran moralis—yang ditolak oleh Marx sendiri—yang sama saja seperti menggunakan Marx sebagai Tuhan yang harus disembah.

 

Editor: Emma Amelia

Raisa Rahima

One Reply to “Krisis Logika Aktivis Kiri”

  1. Sejarah sosialis kiri di iNdo tidak selurus pemikiran metode materialmu juga. Makanya TAn Malaka berpidato di hadapan materialis sejarah universal Barat tentang bentuk perjuangan emansipasi Timur yang berbeda. Bahwa berfikir moral tidak sama dengan candu, tapi mampu menggerakkan bentuk perlawanan terhadap penghisapan kapitalisme, dalam hal ini Islam.
    Marx seorang materialis, pasti dia berkeinginan semua orang untuk meminum starbuck dan memiliki i phone? Sekarang siapa yang menjadi si PASTI paling keren di sini. Materialis sebagai keinginan menikmati kesenangan kebendaan semata pasti akan berfikir kritis terhadap fakta moda produksi yang menghisap pekerjanya dengan menjadi budak mereknya di luar esensi fungsionalnya. Wow…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email