kota yang terbakar sendirian
kami selalu menunggu di jam-jam sebelum pagi
hari ini, kemarin, kemarinnya kemarin, kemarinnya
lagi, sampai bosan bermimpi dalam keadaan
berdiri—kami tidak kunjung tertidur. sebab
kewaspadaan selalu ingin didengarkan ceritanya
kami selalu menunggu di jam-jam sebelum pagi
: suatu hari
hari ini, kemarin, kemarinnya kemarin, kemarinnya
lagi. kami asik menonton pohon-pohon, sekolah, tiang
listrik, pertokoan, rumah, tempat ibadat: terbakar
tapi kami tidak. atau mungkin belum
kami selalu menunggu di jam-jam sebelum pagi
: suatu hari. jendela.
ibu kami, almarhumah, ayah kami, almarhum, meski
sudah mengajari cara tidur dengan lampu menyala, tapi
mereka lupa mengajari kami tidur dengan suara bom di luar sana
kami selalu menunggu di jam-jam sebelum pagi
: suatu hari. jendela. yang keluar darinya pertama kali
adalah kematian
bukan matahari
(November, 2023)
–
apa yang buatmu keluar dari pagi?
kita diam, mengunyah carpe diem
yang sakit. dendam kesumat buat kita
keselengkat dan terjatuh
“masa lalu adalah awan biru yang mati
oleh sapuan badai dan seribu hujan”
sebelum matahari dievakuasi
sebelum bulan pergi
adakah siluman yang kau lihat
lagi di jendela hitam itu?
(2020)
–
kaidah-kaidah ingatan
di penjara, kenangan adalah kayu
dan kesepian adalah api—yang
cerdik memilah kekeringan
kecemasan di ujung minggu
aku bermimpi bertemu Ibu
yang matanya heroin
di belakang ada Bapak yang
mata dan kantuknya saling
menyiasati tidur satu sama lain
mereka berdiri di hadapan penjara
masing-masing mengulum senyum
di penjara, waktu adalah panoptikon
dan tinnitus adalah sipir—yang
memukulku sewaktu mencoba kabur
(2023)
–
testamen
aku mencintai Ibu dan Bapak
sebagaimana aku ingin membunuh
diriku berkali-kali di setiap harinya
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA