Kanker
lama sudah aku berbaring
di samping jendela rumah sakit,
memandang pohon ketapang
yang mulai gugur daunnya.
kau masih di sini rupanya.
maukah kau mengambil
segelas air dingin
sebab mulutku terasa pedih.
aku tahu penampilanku
tak seperti dulu lagi
rambut di kepalaku rontok
badanku layu karena kemo.
jangan kecup aku
aku tak mau menangis lagi.
apa yang seperti ini
masih bisa disebut hidup?
pulanglah,
tinggalkan aku sendiri
kau perlu beristirahat.
mustahil memintamu tak cemas
aku pun tak bisa berjanji
akan baik-baik saja, tapi pergilah.
kau butuh tidur
setidaknya malam ini.
hujan akan turun
jendela akan memutih.
doakan aku seperti biasa.
mungkin itu berguna.
di ruang resepsionis
katakan pada suster riani
bajuku perlu diganti.
maut akan datang malam ini
atau mungkin besok.
biarkan dia datang
aku tak takut lagi.
semoga saja.
(Cirebon, Senin, 6 November 2023)
–
Kota Kecil
terkenang lagi masa kecilku
nembang pangkur di pagi buta
dengan buyung di gendongan
mengantar bapak pergi bekerja.
ombak memantul dermaga
camar bermain di tiang sampan,
panji-panji nelayan seirama tarian pandan,
tapi samudera tetap tenang
memandang segala
yang kita anggap berharga.
lalu lalang perahu di laut
didera gelombang waktu ke waktu.
lantas zaman menggilas.
si buyung beranjak dewasa
beristri dan beranak pula
bapak tak kunjung pulang
ibu sudah lama berpulang.
ombak-ombak kecil
tak lagi mengglitik pantai berpasir.
laut digutik pengungkit dan peti kemas.
tawa anak-anak yang dulu kekal
padam satu per satu.
aku tahu tak mungkin lagi
pulang ke kota yang kurindu.
(Selasa, Cirebon, 24 Oktober 2023)
–
Dari Jendela Kamar Lantai Dua Puluh
dari jendela lantai dua puluh
kulihat peti-peti kemas
& besi-besi ungkit di dermaga.
bunyi mesin, peluit, dan siren
menghapus ombak dan gelombang.
tak ada pasir, atau pantai,
apalagi tarian palem.
di sisi aspal yang membagi
laut hijau dan biru
kapal feri menunggu berangkat.
ingin kutulis,
“gaunnya selembut awan
wajahnya semolek kembang,”
seperti dulu ketika
kotamu belum dijajah
tangan-tangan pembangunan.
sayang, kecuali laut yang tabah
dalam meditasi purbanya
tak ada yang indah
dari pemandangan itu.
(Selasa, Cirebon, 24 Oktober 2023)
–
Langit Sore Itu
hai, apa kabar?
lama jua tak bersua.
siapa sangka,
sudah lima belas tahun silam.
bagaimana di sana?
semoga kau baik-baik saja,
tak kurang suatu apa.
sejujurnya, aku ragu kau masih mengingatku.
banyak yang berubah di kota ini.
lahan kosong yang setiap hari kita lalui
selepas pulang sekolah,
sudah jadi toko serba ada.
rumahku yang sering kaukunjungi
adalah lahan parkir di sebelahnya.
tapi kenangan
—segala yang kita lewati
hari-hari singkat dan hangat
yang berarti pada akhirnya—
masih terpatri di hati,
tanpa tersentuh waktu.
sore ini,
saat melihat fotomu
terselip di buku aku hendak pindah rumah
aku bagai menemukan
kenangan berharga yang lama hilang.
siapa sangka belum kulupa.
saat langit senja berubah merah, sungguh
aku ingin duduk di bawah pohon mangga
tempat kita biasa menghabiskan senja
setelah seharian bersama,
tapi aku memilih pulang
usia membuatku rengkah
angin yang sayup saja
sanggup mengalahkan.
sepasang kupu terbang di antara dahan
menyambut malam yang sebentar lagi.
langkah kakiku terasa berat.
Jumat, 4 November 2016
–
Kunang-kunang
saat padam suluh bambuku
kau temani langkah kecilku
lewati pematang yang gelap
tak lagi menakutkanku
burung hantu di rimba kelam
dan pusara di ujung jalan
ada saat aku tak mampu
menghalau cemas yang mengganggu
namun saat aku sadari
kilaumu yang tenteramkan hati
langkahku yang gugup gemetar
jadi tenang, tak sesat arah
saat kilaumu, kunang-kunang,
terkenang lagi di relung kalbuku
jalanku yang hampa
jadi terasa bermakna.
betapa berarti cahaya
yang dulu kauberikan padaku
biarlah menjadi terang di hatiku.
suara sungai di kejauhan
o sejuknya terasa dekat
begitupun masa kecilku
meneduhkan setiap langkah.
pulang lagi aku padamu
pendar sunyi di kegelapan
melambai-lambai dengan sabar
dalam doa aku menuju.
aku rindu saat dahulu
sebelum beranjak dewasa
saat kunang berkilau terang
cicada bernyanyi riang.
(19 September 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA