Terbongkarnya fakta bahwa lebih dari 400 mahasiswa kaya di Aceh membuat surat keterangan tidak mampu (miskin) lalu mendapat beasiswa Bidikmisi (sekarang KIP Kuliah) dari pemerintah, sesungguhnya bukan hal yang terlalu mengejutkan. Persoalan seperti ini sering terjadi di banyak wilayah di Indonesia, dengan modus yang relatif sama. Angka yang terbongkar hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah yang sebenarnya.
Saya sendiri pernah mendapat cerita dari seorang wali mahasiswa yang mengaku dengan sengaja meminta surat keterangan miskin, padahal sebenarnya mampu. Ia juga menyadari bahwa beasiswa ini khusus diberikan buat orang miskin. Ketika disurvei petugas, ia menunjukkan rumah kayu berukuran kecil, padahal itu bukan rumahnya, melainkan milik orangtuanya.
Program Bidikmisi adalah ikhtiar baik, yang sedari awal dirancang untuk memecah kesenjangan dalam mengakses pendidikan. Bidikmisi menjadi solusi sementara untuk masalah pendidikan kita yang kapitalistik dan terkadang mementingkan aspek bisnis, ketimbang visi pendidikan itu sendiri. Akibatnya, orang pintar tapi miskin tidak bisa bahkan tidak boleh lanjut kuliah, sebab ketika ditagih SPP atau UKT (Uang Kuliah Tunggal) setiap semester mereka tidak bisa bayar.
Baca juga: Sekolah Penghasil Kemiskinan
Melalui Bidikmisi, negara memberi kesempatan kuliah untuk yang tidak mampu. Sebab seperti yang dinyatakan Ki Hajar Dewantara, “adalah kewajiban negara, yang oleh pemerintah harus dilakukan (tindakan) sebaik-baiknya”.
Lalu, apa yang ada di benak orang yang memalsukan status ekonominya dan mengaku sebagai orang miskin? Saya yakin mereka cuma memikirkan dirinya sendiri. Tidak sama sekali memikirkan orang lain, apalagi memikirkan masalah struktural seperti kesenjangan pendidikan, juga kesempatan bersekolah yang tidak rata.
Padahal dengan mengaku sebagai orang miskin, ia telah mengambil hak yang seharusnya diperuntukkan untuk orang lain. Ketika kuota beasiswa Bidikmisi malah dipenuhi orang-orang kaya, jelas itu mempersempit kesempatan orang miskin buat sekolah. Yang ada kesenjangan malah semakin lebar, singkatnya yang miskin makin bodoh, yang kaya makin pintar. Ironisnya, mereka ‘bodoh’ gara-gara haknya diambil oleh orang yang lebih kaya, bukan karena ia malas sekolah. Ini wujud penindasan, eksploitasi, dan manipulasi oleh para mahasiswa kaya yang mengaku (dan bermental) miskin.
Korupsi Sejak Dini
Ini hanyalah wajah permukaan, bahkan permulaan bagi sekelompok mahasiswa yang melakukan korupsi sedini mungkin. Meski masih muda, mereka berbakat mengakali administrasi dan mengambil peluang mencari untung dari uang pajak yang dibayar rakyat, yang seharusnya dialokasikan ke masyarakat kelas bawah. Tidak heran jika kelak mahasiswa itu bertumbuh menjadi pegawai kantor, polisi, politikus, sampai pejabat publik, akan melakukan hal yang sama.
Di kantor perizinan misal, saya pernah diminta membayar biaya “administrasi seikhlasnya” untuk imbalan karena perizinannya lancar. Atau di kantor polisi, sudah menjadi rahasia umum ketika kita membuat SIM harus membayar biaya administrasi yang tidak wajar. Belum lagi jalur “orang dalam” yang biasanya bisa langsung dapat SIM tanpa tes.
Mahasiswa-mahasiswa itu jika kelak menjadi politikus, akan melanjutkan tradisi bagi-bagi duit (money politics) di kala coblosan. Jangankan memberi ide dan gagasan buat masalah publik yang kadang kala pelik, ia malah menambah masalah. Lalu kelak ketika sudah menjadi pejabat publik cerita seperti korupsi dana sosial itu terulang lagi, mungkin malah lebih canggih dan senyap.
Lanjut baca: Politikus Muda dan Bencana Demografi
Sebuah opini dan argumen yang legit menurutku. Aku sendiri tahu ada beberapa teman di kampus yang mendapatkan beasiswa bidikmisi justru sepertinya menggunakan uang tersebut untuk “kesempatan” bergaya hidup hedon misalnya ((no offense)) . Tetapi, mungkin diskusi lainnya adalah , sependek pengetahuan ku beasiswa dalam negeri khususnya untuk S1 di Indonesia kebanyakan memang beasiswa kurang mampu yang di dalam persyaratannya harus melampirkan surat keterangan tidak mampu atau semacamnya, beasiswa yang sifatnya perang akademik masih sangat kurang apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara di luar sana (CMIIW) , dan mungkin keadaan ini pula lah yg menjadi celah dari tindakan2 korupsi beasiswa ini (di luar dari sifat2 yang memang tak terpuji seperti yang telah disampaikan di atas)