Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) resmi diberlakukan pada Kamis, 04 Januari 2024. UU ini merupakan revisi jilid kedua yang disahkan DPR pada Selasa, 05 Desember 2023.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) berpendapat bahwa revisi UU ITE jilid kedua masih memuat pasal bermasalah. Contohnya, pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 mengancam publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi. Pasal bermasalah tersebut antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil, Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, serta ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan dan nama baik orang bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Selain itu, ada Pasal 27B tentang ancaman pencemaran, Pasal 28 Ayat 3, dan Pasal 45A Ayat 3 tentang pemberitahuan bohong, yang dianggap memiliki potensi multitafsir. Koalisi juga mencatat bahwa hasil revisi kedua UU ITE tetap mempertahankan Pasal 40 yang dianggap memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum.
Itu semua perlu dipertanyakan. Mengapa kebijakan dalam revisi UU ITE jilid kedua ini diberlakukan di negara kita? Bukankah ini mengancam kebebasan berekspresi dan mengkriminalisasi masyarakat kritis di negeri kita?
Krisis Menanggapi Kritik
Sudah jelas, Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945 mengatur kebebasan berekspresi yang mencakup hak setiap individu untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pada era Reformasi, pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 yang membahas Kemerdekaan Pendapat di Muka Umum dengan rincian mengenai mekanisme berpendapat di tengah-tengah publik.
Kebebasan berekspresi dianggap sebagai hak asasi manusia yang fundamental dan harus dilindungi. Menurut Deklarasi HAM 1948, manusia dilahirkan dengan kebebasan dan kesetaraan yang memberikan hak kepada setiap orang untuk menyatakan pendapatnya tanpa adanya pembatasan. Kebebasan berekspresi memainkan peran krusial dalam memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka, termasuk kritik terhadap pemerintah atau pihak lain.
Akan tetapi, dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dari Januari 2022 hingga Juni 2023, tercatat setidaknya 183 pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, termasuk serangan fisik, serangan digital, penyalahgunaan perangkat hukum, dan intimidasi. Akibatnya, sebanyak 967 orang ditangkap, 272 orang mengalami luka-luka, dan 3 orang tewas.
Data dari Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa kinerja demokrasi Indonesia stagnan dengan skor tetap pada angka 6,71—masih tergolong dalam kategori demokrasi cacat. Sementara itu, data Freedom House menunjukkan penurunan skor dari 59/100 pada tahun 2022 menjadi 58/100 pada tahun 2023 yang disebabkan oleh penyempitan ruang kritik publik.
Kemerdekaan untuk berekspresi dan berpendapat di Indonesia semakin terbatas, disertai dengan berbagai ancaman yang muncul akibat interpretasi multitafsir dari regulasi yang ada. Kondisi ini menciptakan situasi yang tidak sehat dalam iklim demokrasi kita. Boleh dibilang, pemerintah gagal menjamin keberadaan ruang kritis di negara ini
Dalam esai Perpetual Peace, Immanuel Kant mengatakan bahwa warga negara yang baik dan orang yang baik adalah dua hal yang berbeda. Warga negara yang baik adalah orang yang mematuhi hukum dan aturan negara, terlepas dari apakah mereka memiliki motivasi moral untuk melakukannya atau tidak.
Menurut Kant, tujuan utama negara adalah untuk menciptakan kondisi damai dan ketertiban, bukan untuk mengembangkan moralitas individu. Oleh karena itu, Kant melihat segala upaya penguasa untuk membatasi atau menekan pertukaran gagasan secara bebas sebagai tindakan yang melemahkan otoritasnya sendiri.
Dalam konteks Indonesia sekarang, pendapat Kant ini masih relevan. Pemerintah di negara ini terus membatasi dan menekan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis.
Mengutip nama-nama aktivis dan jurnalis dari Zine Kwitangologi Vol.12 Merdeka?, Saiful Mahdi, Baiq Nuril, Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar, Bima, Dandhy Laksono, Ravio Patra, Ananda Badudu, Muhammad Arsyad, Budi Pego, dan masih banyak lagi yang menjadi korban kekerdilan penguasa ketika menyampaikan ekspresi dan pendapatnya. Padahal, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah pilar penting dalam demokrasi. Dengan adanya kebebasan ini, masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini memberikan sinyal bahwa negara kita menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Hanya Retorika Politik
Jurgen Habermas mengatakan ada tiga kepentingan dalam kehidupan manusia, yakni kepentingan teknis, kepentingan praktis, dan kepentingan emansipatoris. Kepentingan teknis adalah kepentingan untuk mengubah dan menyesuaikan alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kemudian, kepentingan praktis adalah kepentingan untuk berkomunikasi dan berbahasa dengan sesama manusia. Terakhir, kepentingan emansipatoris adalah kepentingan untuk mengkritik, melawan, dan memiliki posisi yang sama dengan sesama manusia.
Kepentingan emansipatoris lahir dari kepentingan praktis. Hal ini karena komunikasi dan bahasa memungkinkan manusia untuk saling memahami dan bertukar pikiran. Dengan demikian, manusia dapat mengkritik dan melawan ketidakadilan, serta menuntut kesetaraan. Habermas juga mengatakan bahwa masyarakat yang komunikatif adalah masyarakat yang dibangun di atas dasar komunikasi yang adil, tidak distortif, dan partisipatoris. Dalam masyarakat komunikatif, setiap individu memiliki kemampuan untuk memandang yang lain dalam posisi sejajar, setara, dan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi.
Dengan begitu, komunikasi yang adil adalah komunikasi yang dilakukan secara bebas dan tanpa paksaan. Komunikasi yang distortif adalah komunikasi yang tidak dilakukan secara jujur dan terbuka. Sementara itu, Komunikasi yang partisipatori adalah komunikasi yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Namun, sayangnya, negara kita belum siap membangun masyarakat komunikatif yang menghindari ketiga kualitas buruk tersebut.
Baca juga:
Di Indonesia, kita masih sering mendengar ungkapan, “Anda boleh mengkritik asalkan kritiknya membangun.” Ungkapan ini menciptakan kesan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang demokratis. Namun, kenyataannya, ungkapan ini hanyalah retorika politik yang digunakan untuk memanipulasi publik.
Ungkapan itu dapat diartikan bahwa kritik hanya boleh dilakukan jika kritik tersebut tidak terlalu keras atau tidak terlalu membahayakan penguasa. Ungkapan tersebut juga dapat diartikan sebagai upaya untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Kasarnya begini, “Lu boleh kritik gua, tapi kritiknya nggak bikin gua kebakaran jenggot!”
Untuk itu, sebagai masyarakat kita perlu memahami bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi. Sebagai manusia dan warga negara, kita berhak penuh untuk mengkritik pemerintah atau pihak lain. Maka, sudah sewajarnya kita protes ketika hak kita untuk kritis direnggut oleh negara.
Editor: Emma Amelia