Lapalissade
aku berhenti
dalam tubuhku kau berontak
agar tetap mengenangmu
tetiba kurasakan diri ini seolah
awan tebal; memilih tetap
tinggal atau segera tanggal
cintaku matahari, katamu.
lebih bisa dirasakan bila jauh
sepasang matamu menyihir paksa aku jadi penyelam—dan
kau tahu aku tak pandai berenang
kelak jangan salahkan aku atau menyesal
bila di dasarmu, seseorang tak hendak pulang
–
Suatu Entah Kau Akan Mengerti Mengapa Aku Gagal Bunuh Diri
Aku belajar mengingatmu dengan cara mengabaikan. Tetapi kau
Bekas ciuman paku di dinding
Pintu dan masker. Keduanya ada semata untuk menyembunyikan surga;
Wajah indah dan bibir yang pintar menerbitkan senyum paling purba—atau mutiara.
Aku penuh menginginkanmu. Tetapi penuh
tetapi. Aku tidak berani membayangkan kau guling yang jatuh dan nyaman di lengan seseorang—atau sepatu yang merasa menemukan kaki paling pas.
Sebagai yang rawan sedih dan mudah patah hati
Aku tidak punya kekuatan membunuh diri sendiri tanpa cukup alasan berarti.
–
Sejam Sehabis Sakit
puisi-puisimu sumbang; antara kehilangan dan kekecewaan mencintai kekasih seseorang
kuakui kaupintar menyembunyikan kesedihan
tetapi indraku tidak cukup lemah untuk sekadar menangkap
gema luka-luka di sekujur puisimu
ceruk panjang penuh kekosongan terentang
di pundak masa lalu dua orang yang gagal menjadi sepasang
setiap percakapan hanya omong kosong
kau dan aku (untuk menolak disebut kita)
sibuk menghidangkan perdebatan
tentang isi rumah
sambil pura-pura melupakan banyak hal yang mestinya dibicarakan
masih tersisa banyak kebohongan, juwita,
izinkan aku menyebut panggilan itu sekali ini,
atau selamanya jika merasa kemunafikan telah menelantarkan kita
(20 Ramadan 1442 H)
–
Menyaksikan Matahari Kita Terbit
Aku ingin kata kerja pertama yang kukerjakan adalah mengingat;
wajahmu.
Di sampingmu, kulihat cinta
lebih menampakkan dirinya sebagai peminta dari pemberi.
Sisa-sisa rembulan kabur saat aku lebur di matamu
Cuaca sedang tidak tenang hari ini.
Tetapi mata itu matahari yang tidak hendak kuusir
Nanti terasa juga sore tak pernah selesai dan hari akan selamanya pagi;
kau saksikan matahari tidak terbit, kecuali kita di sana bersama puisi.
–
Kisahku Dengan Puisi
Untuk bahagia, aku hanya perlu menuju matamu sebagai tawanan
Tentu (kau boleh membayangkan)
Aku bersama Ashabul Kahfi yang berharap
Hari esok masih sepertiga abad yang singkat.
Entah lusa atau kapan, mungkin
Aku tak lagi menulis puisi
Bergeser ke popok bayi dan jatah makan pagi hari
Di mana puisi sama-sekali tidak menyelamatkanku dari omelan bini
Di mana kata-kata adalah lansia yang merepotkan
Berjalan menghadap kebuntuan, puisi menatapku sebagai darah segar
Sungguh pun menulis, kala itu
Hiburan paling menjengkelkan.
(Awal 2020)