Kadang menerjemah, kadang memasak.

Kisahku dengan Puisi dan Puisi Lainnya

Ilham Romadhan

1 min read

Lapalissade

aku berhenti
dalam tubuhku kau berontak
agar tetap mengenangmu

tetiba kurasakan diri ini seolah
awan tebal; memilih tetap
tinggal atau segera tanggal

cintaku matahari, katamu.
lebih bisa dirasakan bila jauh

sepasang matamu menyihir paksa aku jadi penyelam—dan
kau tahu aku tak pandai berenang

kelak jangan salahkan aku atau menyesal
bila di dasarmu, seseorang tak hendak pulang

Suatu Entah Kau Akan Mengerti Mengapa Aku Gagal Bunuh Diri

Aku belajar mengingatmu dengan cara mengabaikan. Tetapi kau

Bekas ciuman paku di dinding

Pintu dan masker. Keduanya ada semata untuk menyembunyikan surga;
Wajah indah dan bibir yang pintar menerbitkan senyum paling purba—atau mutiara.

Aku penuh menginginkanmu. Tetapi penuh
tetapi. Aku tidak berani membayangkan kau guling yang jatuh dan nyaman di lengan seseorang—atau sepatu yang merasa menemukan kaki paling pas.

Sebagai yang rawan sedih dan mudah patah hati
Aku tidak punya kekuatan membunuh diri sendiri tanpa cukup alasan berarti.

Sejam Sehabis Sakit

puisi-puisimu sumbang; antara kehilangan dan kekecewaan mencintai kekasih seseorang

kuakui kaupintar menyembunyikan kesedihan
tetapi indraku tidak cukup lemah untuk sekadar menangkap
gema luka-luka di sekujur puisimu

ceruk panjang penuh kekosongan terentang
di pundak masa lalu dua orang yang gagal menjadi sepasang
setiap percakapan hanya omong kosong

kau dan aku (untuk menolak disebut kita)
sibuk menghidangkan perdebatan
tentang isi rumah
sambil pura-pura melupakan banyak hal yang mestinya dibicarakan

masih tersisa banyak kebohongan, juwita,
izinkan aku menyebut panggilan itu sekali ini,
atau selamanya jika merasa kemunafikan telah menelantarkan kita

(20 Ramadan 1442 H)

Menyaksikan Matahari Kita Terbit

Aku ingin kata kerja pertama yang kukerjakan adalah mengingat;
wajahmu.

Di sampingmu, kulihat cinta
lebih menampakkan dirinya sebagai peminta dari pemberi.

Sisa-sisa rembulan kabur saat aku lebur di matamu
Cuaca sedang tidak tenang hari ini.
Tetapi mata itu matahari yang tidak hendak kuusir

Nanti terasa juga sore tak pernah selesai dan hari akan selamanya pagi;
kau saksikan matahari tidak terbit, kecuali kita di sana bersama puisi.

Kisahku Dengan Puisi

Untuk bahagia, aku hanya perlu menuju matamu sebagai tawanan
Tentu (kau boleh membayangkan)
Aku bersama Ashabul Kahfi yang berharap
Hari esok masih sepertiga abad yang singkat.

Entah lusa atau kapan, mungkin
Aku tak lagi menulis puisi
Bergeser ke popok bayi dan jatah makan pagi hari
Di mana puisi sama-sekali tidak menyelamatkanku dari omelan bini
Di mana kata-kata adalah lansia yang merepotkan
Berjalan menghadap kebuntuan, puisi menatapku sebagai darah segar
Sungguh pun menulis, kala itu
Hiburan paling menjengkelkan.

(Awal 2020)

Ilham Romadhan
Ilham Romadhan Kadang menerjemah, kadang memasak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email