Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Kisah Rubah

Rafael Yanuar

4 min read

Konon, saat gerimis gugur pada siang yang terik, saat tiada satu pun awan menaungi, di tempat yang tidak terlampau jauh, sepasang rubah sedang melangsungkan pernikahan.

“Rubah sungguh makhluk yang aneh. Kabarnya, mereka dapat berubah menjadi apa pun sekehendak hati dan dapat mengelabui siapa pun semudah menarikembuskan napas,” kata kakek saat aku masih belia—sebuah jarak waktu yang tak lagi terjangkau, kecuali dengan ingatan—semoga Tuhan yang Maha Pengampun menjaga jiwanya dalam kedamaian.

Tentu aku tidak percaya pada kata-katanya dan menganggapnya dongeng belaka, sampai pada suatu hari, ketika bermain di kedalaman hutan, aku melihatnya dengan mata kepala sendiri: iring-iringan pengantin di jalan setapak, di antara rumpun bambu yang mengilap bermandikan gerimis. Sepasang lelaki dan perempuan melangkah pelan dengan topeng putih menutupi kepala. Jejaknya tenang dan lembut, bagai enggan menyentuh tanah.

Di samping mempelai laki-laki, mempelai perempuan menyeret gaun pengantinnya yang berkilauan ditimpa cahaya. Rambutnya yang panjang dan indah, tanpak serasi dengan mantila yang berayun malas seiring geraknya yang sunyi.

Di belakangnya, para tamu, dengan wajah berhias topeng yang sama, hanya saja sedikit lebih sederhana, berbaris dua-dua. Gemerincing lonceng yang jernih mengiringi segenap jejak yang tertinggal. Satu langkah, lonceng berbunyi. Satu langkah lagi, bunyi lonceng lagi. Antreannya begitu panjang, entah sampai mana. Mengular jauh, tak terlihat ujungnya.

Lampion kecil di tangan masing-masing pengunjung, memijarkan cahaya merah yang pias di bawah siraman matahari dan hujan. Hijau hutan, biru langit, putih, dan merah—perpaduan warna yang begitu serasi, tapi juga sekaligus ganjil.

Meskipun meriah, satu-satunya kesan yang tertangkap justru sebaliknya—hening. Atau senyap, lebih tepatnya. Tak ada suara yang terdengar, kecuali derik geming yang dibisikkan alam. Bahkan langkah kaki pun tiada tapaknya. Alangkah mengherankan! Cuaca menyengat begitu hangat dan benang-benang gerimis terus menerus menyulam udara, namun tak terlihat lelehan keringat maupun renjis hujan yang merembes di baju mereka. Semuanya kering dan bersih, tanpa tersentuh noda.

Dengan tangan, aku menutup mulutku erat-erat dan berharap tidak ditemukan. Seraya duduk seranggung di belakang pohon, aku bernapas selampas dan senyenyai mungkin. Di bajuku yang kuyup karena peluh, hujan gerimis menggetarkan bulu-bulu lembutnya, meninggalkan kesejukan yang empuk, bagai sentuhan tangan nenek yang pulen saat subuh menyambut. Angin mendesah lirih di telingaku, seolah mengeluhkan detik yang berlalu begitu laun. Daun-daun berbisik ditimpa pendar siang yang berseri senda. Mendadak, di dalam kepalaku, bergema suara tawa yang gaib, namun galib. Gaung girang yang jauh itu, aku yakin berasal dari iring-iringan yang sekarang berada di hadapanku; perayaan yang tidak semestinya aku hadiri.

Samar terdengar kicau burung saling bersahutan. Sekalipun sudah menengadah, mencari di antara pucuk, aku tidak mampu menangkap wujudnya. Tapi aku tahu ada sekawanan burung di sana. Seolah ingin membalas celotehnya, ranting-ranting menabuh daun-daun hingga menciptakan irama yang teratur. Seekor elang terbang berputar tanpa suara di ketinggian dan menghilang secepat dia datang. Jangkrik dan cicada berderik mengiringi siang yang bening.

Saat kakiku mulai terasa pegal, aku teringat pesan kakek bertahun-tahun silam di pendopo yang sejuk, “Jika kamu tak sengaja menghadiri pernikahan rubah, jangan sampai ada yang melihatmu, baik kedua mempelai maupun yang lain. Bergeminglah, tanpa suara, hingga hujan benar-benar berhenti. Atau kamu akan dibawa ke alam mereka.”

Tapi nenek malah tertawa, “Mereka justru akan mengantarmu pulang.”

Entah mana yang benar. Tapi aku tidak berani mengambil risiko.

***

Semenjak bermula ingatan, aku sudah tinggal bersama kakek dan nenek di desa. Aku tidak tahu siapa ibu yang mengandung dan melahirkanku. Kakek selalu menolak menjawab, dan mengalihkanku pada dongeng-dongeng yang seolah tak ada habisnya, sementara nenek hanya berkata, ayah-bundaku berada di tempat yang jauh. Jika saatnya tiba, dia berjanji menceritakannya, tapi dia tak pernah melakukannya, mungkin karena entah bagaimana dia tahu, dia tidak perlu. Sebenarnya aku tidak menyesali apa pun, karena kehidupanku cukup menyenangkan, dan aku juga memiliki banyak teman. Hampir tidak ada hal yang seharusnya aku keluhkan.

Rumah kakek dibangun di pinggir jalan desa, dekat dengan hutan yang senantiasa diselimuti kabut saat malam menjelang. Kerap, aku merasa terhubung dengan hutan itu—seperti ada suara di kepalaku yang menyuruhku datang. Dan aku memang sering berkunjung. Sepulang sekolah, aku biasanya menghabiskan hari dengan memancing, atau sekadar bermain-main, di sungai berair jernih yang letaknya tidak terlalu jauh di sudut jenggala. Aku juga suka tidur di batang pohon yang ditinggali keluarga tupai, serta duduk dalam naungan dedaunan seraya membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan kakek. Kadang, teman sepermainan juga ikut bersamaku. Pada suatu Minggu, kami menemukan gubuk bekas pertapa di kedalaman hutan dan menjadikannya markas rahasia. Di belakangnya, ada kolam berair terjun yang biasanya kami renangi.

Tapi, aduh, sampai kapan iring-iringan ini berlangsung? Harus berapa lama lagi aku menunggu? Bukannya berhenti, hujan malah menderas. Dibuai gerimis yang berangsur ritmis, rasa kantuk mulai menguasaiku. Bagai dininabobokan lantunan walsa dengan nada yang lunak, tak henti-hentinya mataku ingin terkatup. Aku perlahan-lahan duduk dan meluruskan kaki, berusaha mencari posisi nyaman dengan bersandar di batang pohon. Iring-iringan di belakangku belum terlihat ujungnya, tapi aku nyaris tak lagi peduli. Rasa letih mengalahkanku.

Saat hampir jatuh dalam lelap, aku merasakan tangan yang hangat mengelus kepalaku. Sesosok perempuan berambut panjang memandang heran. Meski wajahnya tertutup topeng, aku dapat merasakan tatapan tajam menembus jantung. Aku mengatup erat-erat mulutku, berusaha menahan teriakan—dan mengambil aba-aba untuk berlari. Tapi kakiku tak mau digerakkan. Aku bergidik saat dia duduk merungguh di hadapanku. Rambutnya yang panjang tergerai luruh di bahunya. Dia menaruh lenteranya di tanah dan mengatup bibirku dengan telunjuk. Masih tanpa suara. Setiap geraknya hening, bagai penari mengayunkan tarian yang seirama dengan alam.

Jangan bicara. Suara yang lembut bergema di kepalaku—seperti hatiku sendiri yang bicara.

Jangan bergerak juga. Jangan sampai terlihat siapa pun.

Aku yang tadinya begitu ketakutan, perlahan-lahan mulai tenang merasakan kehadirannya yang diikuti wangi gaharu. Dia melepas topeng putih yang dikenakannya dan aku melihat wajahnya yang indah tak terlukiskan kata-kata. Tanpa bicara, dia menutupi wajahku dengan topeng itu, lalu menarikku dalam pelukannya, dan membuatku kaget setengah mati.

Aku tahu dia memelukku dengan erat, sangat erat hingga tangannya bergetar, tapi aku tak mampu merasakan suhu tubuhnya. Tidak ada dingin ataupun panas yang menjalar dari tubuhnya ke tubuhku. Hanya padat yang hampa. Karena tidak ada lubang di topeng ini, aku tak mampu melihat apa yang terjadi di sekitar. Tapi, saat aku membalas pelukannya, aku merasakan air mata jatuh di pipiku. Dan sekalipun tak ada suara, aku mendengar teriakan lirih yang menyentuh kesadaranku.

Pelukan itu berangsur-angsur mengendur seiring keberadaannya yang menjauh. Aku menggapai-gapai udara, tapi nihil. Tak ada siapa pun di dekatku. Duduk di belakang pohon dengan rasa pedih yang teramat dalam, aku terisak. Aku yakin, saat melepas topeng ini, iring-iringan itu sudah menghilang. Begitupun dia. Jadi aku tetap bergeming, seraya mengingat pelukannya yang tanpa kehangatan itu. Dan jatuh terlelap sambil mendekap tubuh sendiri.

***

Entah sudah berapa lama aku hanyut dalam tidur yang nyenyak saat kakek membangunkanku. Dengan kulit tangannya yang kasar dan pecah-pecah, dia menyentuh pipiku perlahan.

Aku membuka mata dan memandang sekeliling. Cahaya matahari jatuh miring di belakang, menebarkan selendang jingga yang berayun menyelimuti pepohonan. Aku menoleh untuk melihat jalan setapak di sisi sungai—kosong, tak ada iring-iringan, dan tak menyisakan apa pun, seolah perayaan tadi tak pernah ada. Aku meraba-raba wajahku dan menyadari telah kehilangan sesuatu.

“Ada apa, Nak?” kakek mengelus rambutku dan mengajakku pulang. “Tidurmu nyenyak sekali.”

“Kakek melihat topengku?”

“Topeng?”

“Yang aku kenakan saat tidur.”

“Tidak ada topeng saat kakek menemukanmu.”

“Mungkin mimpi,” aku menunduk melihat bayang-bayang memanjang di depanku.

“Mungkin mimpi.”

Tentu saja bukan mimpi. Dan bukan pula kenyataan. Tapi aku tak mau banyak bicara. Aku menggenggam tangan kakek dan pulang meninggalkan matahari yang hampir terbenam. Suara azan menggema saat kami memasuki desa. Aku tersenyum memandang langit yang berkilau sehabis hujan.

Akhirnya aku tahu, kakek dan nenek sama-sama benar. Bagaimana mungkin aku melupakannya? Bukankah dulu ibu pernah melingkupiku—memelukku dengan ekornya yang lembut?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email