Inilah sosok dua komandan kakak-beradik, Manus dan Malitara, yang berhasil mempertahankan kawasan Loes hingga awal tahun 1979. Walaupun TNI telah berhasil menguasai kawasan Atabae dan sekitarnya sejak 1975, kawasan Loes tidak bisa dilewati TNI hingga tahun 1979. Alhasil perjalanan darat pasukan TNI dari Atabae ke Liquica dan Dili sempat terhambat selama beberapa tahun dan mereka harus melalui jalur laut dan udara.
Sebelumnya, lima orang wartawan asal Australia yang dibantai oleh TNI di Balibo dalam perjalanan mereka dari Dili ke Balibo sempat berhenti di Loes dan mereka memberikan bantuan obat-obatan kepada para serdadu Fretilin yang bermarkas di Loes. Manus sempat mengingatkan kelima wartawan tersebut agar dua di antara mereka melakukan peliputan di daerah Loes saja, dan membiarkan ketiga teman lainnya pergi meliput di kawasan perbatasan. Manus berkata demikian karena merasakan firasat buruk terhadap keselamatan mereka di daerah perbatasan. Namun, mereka bersikeras untuk melanjutkan perjalanan ke Balibo, dan kisah mereka berakhir tragis. Sebelum berangkat ke Balibo, kelima wartawan tersebut juga mengadakan peliputan di kawasan Loes, tetapi sayang video dokumentasi mereka tidak sempat ditayangkan dan hilang bersama kelima wartawan asing tersebut.
Pada saat invasi TNI 7 Desember 1975 di Dili, Maun Boot José Alexandre “Xanana” Gusmão bersama beberapa petinggi Fretilin berada di Kompanhia Tata-Bei selama beberapa hari. Salah satu petinggi Fretilin yang bersama mereka bernama Juvinal Inacio (Menteri Keuangan). Sebelum Maun Boot Xanana Gusmão bertolak ke Dili melalui jalan pintas Vatuvou-Ana, ia sempat berkata kepada para komandan yang berkumpul di Kompanhia Tata-Bei.
“Inimigu invade ona Dili, ami tenki fila fali ba buka tuir Comite Central Fretilin agora muda fali ba iha nebe ona?” (Musuh telah menginvasi Dili melalui jalur udara, kami harus kembali ke Dili untuk mencari markas besar Fretilin, sekarang pindah ke mana?)
Waktu itu Kompanhia Manus dan Kompanhia Bubu-Api belum dibentuk, semua komandan berkumpul di Tata-Bei, termasuk Komandan Humberto, Komandan José Benivides, Komandan Manus, dan yang lainnya. Komandan Manus pernah mengenyam pendidikan kemiliteran “Tropaz” bersama Maun Boot Xanana di CI. Taibessi, Dili, pada zaman Timor Portugis. Perjuangan Manus dan Malitara tak terlepas dari bantuan beberapa komandan lainnya, seperti Komandan Alexandrino Chaves (Komandan Kompanhia Bubu-Api yang bermarkas di Pantai Vatuboro), Komandan Jetuli dan Amerco (kakak-beradik yang bermarkas di daerah Rambo), Komandan Armindo Lobo “Besilau” dan Carlos Alberto (kakak-beradik yang bermarkas di Lissa-Dilla), Antoninho Brites “Nixon” (Komandan Kompanhia Tata-Bei bermarkas di Tapo-Manulu).
Kisah Menarik Beberapa Serdadu Pemberani Fretilin
1. Tarcisio, komandan peleton pemberani yang membunuh banyak TNI di daerah Vatuboro ditangkap saat dirinya kehabisan peluru. Matanya dicungkil oleh TNI karena ia tidak bisa dibunuh dengan peluru. Dan karena tidak tahan dengan beratnya siksaan yang dilakukan oleh TNI, akhirnya ia menyerahkan keris sakti miliknya kepada TNI untuk dihunuskan ke dadanya hingga tewas.
2. Mau-Bete, sang penembak jitu yang banyak melumpuhkan personil TNI, khususnya para marinir TNI yang berlabuh di Pantai Vatuboro. Pertempuran di Vatuboro sering memakan banyak korban sehingga helikopter TNI sering mondar-mandir untuk mengangkut jenazah anggota TNI yang tewas.
3. Maukuru, serdadu Fretilin yang gugur di depan markas Manus bersama beberapa orang TNI yang menyerang markas Manus. Maukuru adalah satu-satunya serdadu yang terjaga pada malam ketika para serdadu lainnya sedang tertidur lelap. Bunyi senjata Maukuru membangunkan para serdadu yang tertidur, lalu terjadilah pertempuran yang hebat berdurasi sekitar 24 jam. Namun sayang, bunyi senjata Maukuru saat itu adalah bunyi untuk yang terakhir kalinya karena sebuah peluru milik TNI langsung menembus kepalanya.
4. Victor, serdadu pemberani yang maju bersama Manus untuk menyerang Kecamatan Maubara. Ia gugur di daerah Dubua-lara, Maubara, dalam pertempuran selama 12 jam. Sehari sebelum pertempuran, ia sempat dilarang oleh Manus untuk ikut bertempur, tapi keberaniannya untuk membela negeri tercinta Timor Leste membuat dirinya sulit untuk dikendalikan saat itu.
5. José Gringgo, milisi Fretilin pemberani yang berbadan kekar dan tinggi. Pada saat penyerangan ke Atabae José, Gringo menjabat sebagai Comandante Secção. Ia gugur di kawasan Megir-Atabae ketika maju bersama Manus untuk menghadang TNI di daerah tersebut. Jose Gringgo berusaha menghadang laju tank milik TNI dengan sebuah granat karena ia kehabisan peluru. Namun, karena ia salah melemparkan granat tersebut, akhirnya ia tertembak dan gugur.
6. João Baptista, serdadu pemberani yang pernah kecewa terhadap Komandan Manus lantaran dua kali permintaannya untuk menembak pesawat bronco milik TNI AU di Sungai Loes ditolak oleh Manus dengan alasan pesawat tersebut terbang terlalu tinggi, percakapan João Baptista dengan Manus seperti berikut ini:
“Komandante, a posi se.” (Komandan, mohon izin untuk menembak.)
“Lobo ke u du rae rae.” (Biarkan pesawat itu mendekat)
“Komandante, kau limu glata se.” (Komandan, tangan saya sudah gatal)
“Lobo ke u du pita snit.” (Biarkan pesawat itu lebih dekat lagi).
Namun, pesawat tersebut malah berbalik arah dan kembali ke arah Cailaco.
7. Isidoro, serdadu Fretilin yang bermarkas di Kompanhia Bubu-Api, ia pernah menembaki sebuah pesawat milik TNI AU yang terbang rendah di Pantai Vatuboro. Pesawat yang ditembaki langsung mengeluarkan asap, dicurigai pesawat tersebut jatuh di Pantai Lauhata, Liquica. Namun, info yang beredar di kalangan masyarakat saat itu adalah bahwa pesawat tersebut jatuh karena kehabisan bahan bakar.
8. Maubusa Kabosu, pengawal jarak dekat Manus. Pada saat penyerangan ke Maubara, tepatnya daerah Dubua-Lara (Vatu ha’e), Maubusa Kabosu tidak terlibat, hal ini disebabkan pada saat mereka melakukan acara ritual, ada tanda-tanda buruk pada Maubusa Kabosu dan Victor (lihat kisahnya di nomor 4). Walaupun demikian, Kabosu dipercaya oleh Manus dalam hal penyerangan jarak dekat berkat keahliannya melempar Granat. Kabosu juga menceritakan bahwa sejak pertempuran tahun 1975 hingga 1979, ada sekitar 300 lebih Pasukan TNI yang terbunuh dan itu belum termasuk yang luka parah dan meninggal di rumah sakit militer. Sumber lain juga mengatakan bahwa setelah kawasan Loes direbut pada tahun 1979, jumlah personil TNI yang gugur menyentuh angkah 1000 personil.
9. Kalungga, seekor kuda milik Komandan Manus yang dilatih khusus untuk pertempuran jarak menengah dan jauh. Ketika Manus menjabat sebagai Komandante Intervensaun sekaligus Segundo Comandante Brigada Xoque untuk kawasan Loes dan sekitarnya, Kalungga dan 50 ekor kuda lainnya dipakai untuk memburu militer Indonesia yang mencoba menyeberangi sungai Loes. Kuda-kuda tersebut sangat mengerti keadaan perang, apabila terdengar bunyi senjata dalam jarak menengah atau jarak jauh, kuda-kuda tersebut, khususnya Kalungga, tidak bisa dikendalikan oleh orang lain kecuali oleh Sang Komandan, begitu Sang Komandan berada di atas punggungnya, Kalungga akan berpacu bak kecepatan peluru menuju sumber bunyi tembakan.
Pada kejadian di Atabae, ada beberapa anggota TNI yang gugur bersama José Gringgo, khususnya para anggota TNI yang berjalan mengawal tank pertama yang melaju paling depan. Di tempat yang berbeda, Komandan Malitara dengan anak buahnya ditugaskan untuk menjaga Sungai Loes dari serangan musuh. Setelah gagal merebut Atabae, Manus dan kelompoknya berusaha merebut kembali Kecamatan Maubara pada awal tahun 1977, tetapi gagal karena Manus tertembak di kawasan Dubua-Lara (Sekitar 2 km arah barat Benteng Maubara). Manus harus dilarikan kembali ke Loes untuk pengobatan tradisional (hingga saat ini sebuah peluru masih bersarang di paha kirinya).
Mendengar bahwa Komandan Manus terluka parah, maka TNI yang bermarkas di Atabae dengan cepat menyerang Kompanhia Manus. Manus yang terluka parah menyerahkan tanggung jawab kepada sang adik, yakni Komandan Malitara, untuk menghadang serangan TNI ke markas Manus. Namun sial bagi Komandan Malis, ia juga terkena tujuh tembakan di kepala dan satu tembakan di kaki (sampai saat ini bekas tembakan masih terdapat di kepala dan wajah Malis). Pertempuran yang berlangsung selama 24 jam tersebut membuat TNI terpukul mundur dan kembali ke Atabae.
Banyak anggota TNI yang gugur di depan markas Manus. Dua buah helikopter milik TNI dari Atabae dikerahkan ke Guiço untuk mengevakuasi korban dari pihak TNI. Saat itu beredar informasi bahwa Komandan TNI yang memimpin penyerangan tersebut juga ikut tertembak di depan markas Kompanhia Manus. Tidak ada angka pasti berapa anggota TNI yang gugur di Loes secara keseluruhan, tetapi menurut pengakuan Manus dan para komandan lainnya, angka kematian TNI di Loes cukup tinggi (dihitung dari tahun 1975-1979).
Ada informasi dari sumber yang berbeda, khususnya masyarakat Atabae yang berdomisili di sekitaran daerah Raerobo. Mereka mengatakan bahwa saat penyerangan ke Markas Manus di daerah Guiço, ada sekitar 40 sampai 50 mayat yang diangkut ke Raerobo kemudian diterbangkan ke Dili dan Atambua (termasuk beberapa orang partisan, hansip, dan TBO).
Setelah Kompanhia Manus diserang, Komandan Malitara dipanggil oleh Komandan Sektor Sebastião Doutel Sarmento dan Xefe Estado Maior Domingos Ribeiro untuk diinvestigasi kejadian tersebut. Namun, bekas tembakan yang memenuhi kepala dan wajah Malitara membuat mereka kebingungan, dan malah bertanya:
“Tansa mak Kilat ida o kaer nee rahun hotu maibe o nia ulun la rahun?” (kenapa senjata yang kamu pakai hancur oleh tembakan musuh namun kepala kamu masih utuh?).
Setelah menyaksikan kejadian tersebut, Komandante Malitara mendapat kepercayaan untuk menggantikan posisi Komandan Alexandrinho Chaves di Kompanhia Bubu-Api yang bermarkas di Pantai Vatuboro, dan Komandante Alexandrinho menempati posisi baru, yakni Asistente Produsaun. Sedangkan Komandan Manus menjadi Komandan Movel yang bertanggung jawab atas wilayah Guiço hingga daerah Dair, tetapi Manus sering dipanggil untuk membantu pertempuran di Fatubessi-Ermera. Sampai di sini, penulis berharap bisa mendapatkan informasi yang lebih akurat lagi mengenai jumlah anggota TNI yang gugur di Loes, khususnya dari para veteran Seroja yang menginvasi Timor Portugis melalui jalur darat.
Dengan semangat juang yang tinggi, para komandan dan serdadu Fretilin yang bermarkas di Loes dijuluki TNI dengan sebutan “Rusia, alias Si Mata Putih”. Istilah ini diberikan kepada Manus dan kawan-kawan karena TNI mencurigai adanya orang-orang Uni Soviet yang membantu mereka di kawasan tersebut, sehingga sulit bagi TNI untuk menerobos kawasan Loes. Kakak-beradik ini akhirnya tertangkap di kawasan Li’o daerah Guiço pada tanggal 14 Februari 1979. Akhirnya Manus dijebloskan ke penjara di Balide dan Colmera, lalu diasingkan ke Pulau Atauro hingga tahun 1984, sedangkan Malis dipenjara di Liquica.
Sepulangnya dari Atauro, Manus tidak pernah luput dari pantauan TNI, sehingga beberapa kali ia kembali ditangkap dan disiksa di penjara-penjara di Liquica dan Dili. Banyak penyiksaan yang Manus alami, khususnya di dalam penjara Liquica, Balide, dan Colmera Dili, hingga mengakibatkan gigi bagian depan Manus patah. Gigi Manus ditendang oleh seorang anggota Kopassus bernama Suroto di ruang penyiksaan Kotis, Colmera Dili (bersebelahan dengan Kantor Pengadilan Dili).
Manus terakhir kali ditangkap pada tahun 1995 oleh satuan tim dari Kopassus yang berseragam sipil. Untungnya supir yang mengendarai mobil secara sembunyi-sembunyi melaporkan penangkapan itu ke mendiang Pastor Rafael di Liquica, sehingga Manus tidak sempat dibawa ke Colmera Dili untuk yang ketiga kalinya. Manus dibebaskan oleh Pastor Rafael saat akan diberangkatkan ke Dili. Supir berjiwa patriot yang melaporkan kejadian tersebut bernama Maun Crispim (seorang pemuda pro-kemerdekaan asal Liquica) yang dipaksa Kopassus untuk berangkat ke Loes untuk menjemput secara paksa mantan Komandan Manus. Maun Crispim sering bercerita tentang kejadian mengerikan tersebut.
Baca juga:
Pada awal tahun 1999, tepatnya 27 Januari 1999, rumah Manus dihancurkan oleh milisi Besi Merah Putih, dibantu oleh TNI dari Koramil Maubara. Manus dan keluarganya mengungsi ke Liquica, sedangkan Malis dan keluarganya mengungsi ke kawasan Açulau-Ermera. Namun, rumah yang dihuni di Liquica dibakar oleh milisi Besi Merah Putih dan TNI dari Koramil Maubara pada tanggal 5 April 1999, atau sehari sebelum penyerangan milisi dan TNI ke Gereja Liquica.
Kemudian, Manus dan keluarganya berhasil meloloskan diri ke Dili pada tanggal 4 April, tetapi dua orang anaknya tidak sempat melarikan diri dan memilih mengungsi ke Gereja Liquica. Di Dili, keluarga ini berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk menghindari pencarian yang dilakukan oleh milisi dan TNI dari Koramil Maubara. Hingga pada 30 Agustus 1999, Manus dan keluarga mengadakan pencoblosan suara di TPS Farol, bersama-sama dengan beberapa orang pengungsi dari Liquica. Setelah pencoblosan, mereka kembali mengungsi ke Dare untuk menunggu hasil jajak pendapat.
Di balik pahitnya kisah di atas ada sebuah kisah yang penulis anggap sangat kocak, yakni ketika Manus dan anak buahnya tertangkap di kawasan Loes. Waktu itu, tidak ada yang bisa berbicara bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak pernah dipelajari oleh mereka. Jangankan dipelajari, mendengar pun belum pernah, Oleh karena itu, mereka saling bertanya, “nanti kalau ditanya kita bicara bagaimana?” (maksudnya bicara pakai bahasa apa), pada saat mereka masih kebingungan, ayah Manus dan Malis menjawab, “nanti bilang aja Konisua atau Oaio Gojaima” (Konichiwa dalam bahasa Jepang artinya “hallo atau hi“, sedangkan Ohayo Gozaimashu dalam bahasa Jepang artinya “selamat pagi“).
Manus pun mencoba untuk mempraktikkan bahasa Jepang-nya, tetapi aksen bahasa Tokodede-nya (bahasa lokal Maubara) malah sangat kental, sehingga terdengar sangat menggelitik. Kebetulan ayah mereka berdua pernah menjadi pekerja rodi waktu invasi Jepang ke Timor Portugis pada Perang Dunia II, sehingga sang ayah juga mengerti beberapa kosakata Bahasa Jepang. Namun, sebelum proses investigasi dimulai, Manus mengingatkan semua anggotanya dan masyarakat yang mengikutinya dengan pesan: “Bila nanti kalian ditanya macam-macam oleh Militer Indonesia, kalian bilang saja, ‘kami tidak tahu apa-apa, semua yang kami lakukan adalah atas perintah Komandan Manus.'”
Dan benar saja, ketika investigasi dimulai, semua anggota dan masyarakat dibebaskan, kecuali Manus dan Malis. Mereka langsung disiksa dan dijebloskan ke penjara. Beberapa kali Manus melewati masa sulit, tetapi selalu luput dari upaya percobaan pembunuhan.
Berikut adalah pembicaraan awal ketika Manus tertangkap. seorang komandan TNI mulai bertanya berkali-kali kepada Manus:
“Apakah benar Anda adalah Komandan Manus?”
Pertanyaan ini diulang dua kali karena komandan TNI tersebut tidak yakin bahwa yang sedang berada di hadapannya adalah Komandan Manus yang dikenal sangat ganas dan berbahaya di kawasan Loes (tiap kali pertempuran, Manus tidak pernah membungkuk apalagi bergulingan di tanah. Ia selalu berdiri tegap dan kadang menembak dari atas kuda). Lantaran info yang beredar di Atabae menyebutkan bahwa Komandan Manus adalah orang Rusia bermata putih, sementara yang sedang berada di hadapannya malah bermata hitam.
Karena tidak percaya, Komandan TNI tersebut mencoba menelepon ke Atabae bahwa Komandan Manus sudah ditangkap, tapi dia tidak bermata putih, melainkan bermata hitam. Kebetulan di Atabae ada keluarga Komandan Manus bernama Manuel Maia. Ia meminta agar Komandan TNI tersebut menyerahkan telepon (HT) ke Manus agar ia bisa berbicara langsung dengan Manus. Saat berbicara dengan Manus, Manuel Maia mengatakan pada Manus:
“Sakana, Haruka sira fihir didiak O nia matan nee, tanba hau dehan bebeik ba sira katak Manus nee ema Timor Oan maibe sira la fiar, sira dehan iha Loes laos ema Timor Oan mak iha neeba maibe ema Russia.” (Suruh mereka (TNI) menatap baik-baik mata kamu, karena sudah berkali-kali saya katakan bahwa di kawasan Loes tidak ada orang Rusia tapi mereka tidak percaya.” Kemudian Manus tersenyum sambil berkata kepada Sang Komandan TNI tersebut, “eu sou Comandante Manus.“
Ada sebuah kisah lagi yang membuat Manus sangat kaget hingga tak bisa berkata-kata, yakni saat seorang perwira TNI bernama Sunardi berjalan mendekati Manus dan secara blak-blakan membeberkan kisah Manus dan Komandan Alexandrinho Chaves saat mereka berdua masih “jomblo” di Dili. Bahkan, dia tahu dengan sangat jelas tempat di mana mereka biasa nongkrong, bekerja, bahkan tempat tinggal mereka. Berikut ini adalah kata-kata yang dilontarkan oleh Sunardi:
“Molok funu hahu ami iha nee tiha ona, ami hatais lipa, haklili kohe, mama malus, faan roupa la’o tama sai bairo, hau hatene uluk ó nee Policia, Alexandrinho Chaves imi nain rua hela iha Formosa, depois mak o muda ba hela fali iha Bebora, ikus liu muda ba Maloa, Alexandrinho nia namorada mos hau kuñese. Imi la kunhese ami maibe ami kunhese imi.” (Sebelum perang dimulai, kami sudah ada di sini, kami berpakaian dan berperilaku ala orang pribumi sehingga gerak-gerik kami tidak dicurigai, saya tahu kamu adalah seorang polisi yang tinggal bersama-sama dengan Alexandrinho Chaves di Formosa, kemudian kamu pindah ke Bebora lalu menetap di Maloa). Manus terdiam membisu mendengar pengakuan Sunardi yang sangat detail dan fasih berbahasa Tetun tersebut.
Setelah tertangkapnya Manus dan Malitara beserta anak buahnya, jalur darat dari Atabae menuju Dili kembali dibuka pada tahun 1979. Sekadar informasi tambahan, pada pertengahan tahun 1976, Manus dan anak buahnya pernah diajak oleh Floriano Chaves untuk mundur ke Centro Lestre (Sektor tengah dan timur) untuk bergabung dengan kelompok Komandan José Cirillo “Maubrani”, tetapi Manus menolak. Ketika Floriano Chaves ingin beranjak dari kawasan Loes, Manus sempat mengingatkan dia untuk mengurungkan niatnya.
Kedekatan Manus dengan Floriano Chaves membuat Manus menempati beberapa posisi penting, sampai-sampai Manus rela melepaskan seorang anak buah kepercayaannya untuk mengawal Floriano Chaves. Sebelum berpisah, Manus berpesan kepada pengawal tersebut “Molok ó nia Tio (Floriano Chaves) mate, ó tenki mate uluk.” (Pastikan sebelum pamanmu (Floriano Chaves) gugur, kamu harus lebih dulu mati). Informasi mengenai kematiannya masih simpang siur. Ada informasi yang mengatakan bahwa ia tertembak di Buikaren (Viqueque) saat sedang mandi. Namun, kebenaran berita tersebut masih diragukan. Perlu diketahui bahwa Floriano Chaves adalah salah satu tokoh pendiri Partai ASDT/Fretilin bersama beberapa tokoh penting lainnya.
Penulis berharap ada mantan veteran Seroja yang dulu pernah terlibat dalam pertempuran dan penangkapan Komandan Manus dan adiknya di Loes, dan bisa menceritakan versinya agar tidak terjadi kesalahan informasi.
Berikut ini adalah nama-nama serdadu Fretilin yang bermarkas di Kompanhia Manus:
1. José Lino dos Reis alias Manus alias Manu-Kiak semo nafatin
2. Emilio “Serawe” (2′ Comandante)
3. Thomas S.Nunes “Malis Kaitara”
4. Dasilelo
5. Daniel “Manu-Meta”
6. Manuel Silva “Saruntu”
7. Elves “Mau-Dato”
8. Acaçio
9. João Baptista “Mada-Ulu”
10. Alarico “Xamana”
11. Aquiles
12. Maubusa “Kabosu”
13. Manuel “Batu-Buti”
14. Mau-Loe
15. Bakasa
16. Bau-Ana “Lari-Lari”
17. Gilberto
18. Loro-poku
19. Abilio “iro dasa”
20. José Gringgo (Martir)
21. Victor (Martir)
22. Maukuru (Martir)
23. Doti – Ana (Martir)
Dan masih ada banyak lagi yang tidak sempat disebutkan di sini.
Jabatan yang pernah disandang oleh Komandan Manus, antara lain:
1. Komandan Peleton (CIA 42) sekaligus sebagai penanggung jawab medis atau kesehatan Falintil untuk zona Maubara yang berpusat di Kompanhia Tata-Bei. Jabatan sebagai penanggung jawab medis diserahkan secara langsung oleh Bapak Presiden Nicolau Lobato.
2. Komandan Instructor di Companhia Keta bok
3. Komandan Kompanhia Manus sekaligus sebagai Komandan Kavaleri untuk zona Centro Fronteira Norte dan juga sebagai Wakil Sekretaris Zona Maubara (1976)
4. Wakil Komandan Brigada Choque (Pasukan Intervensi Gerak Cepat) untuk zona Loes dan sekitarnya. Dan ini adalah jabatan terakhirnya sebelum tertangkap dalam operasi Skylight atau yang lebih dikenal dengan istilah Aniquilamento.
5. Pada Masa Masa Clandestine, tepatnya pada tahun 1993, Manus pernah menjabat sebagai Sekretaris Zona Maubara, posisi ini diberikan oleh Komandan Nino Konis Santana, namun karena penangkapan dan siksaan yang terus dialami oleh Manus, akhirnya posisi sebagai sekretaris zona diambil alih oleh sepupu Manus yang bernama Feliz da Costa “Anin Buras”. Sementara Manus menempati posisi Wakil Sekretaris Zona hingga masa Referendum 30 Agustus 1999.
Keterangan singkat mengenai kode: MANUS adalah singkatan dari MANU KIAK SEMO NAFATIN, yang dalam bahasa Indonesia berarti “burung yang terbang tanpa lelah”. Sedangkan MALITARA atau MALIS KAITARA, memiliki arti “senyuman berduri”.
Sumber :
1. José Lino Reis “Manus” (Alm.)
2. Thomas “Malitara”
3. Emilio “Serawe”
4. Leonel de Carvalho “Maubuti”
5. Manuel Maia (Alm.)
6. Abilio “iro dasa”
7. Paulina da Silva (istri Alm. Manus)
8. Masyarakat Loes
Editor: Prihandini N, Ghufroni An’ars