Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Kisah Pecundang dalam Arus Revolusi

Rizki Muhammad Iqbal

3 min read

“Kehidupan manusia dipersatukan bukan oleh kebebasan, tapi oleh ketakutan.”

Kutipan ini adalah salah satu kata-kata dalam percakapan tokoh pada novel Pecundang, karya Maxim Gorky. Mungkin novel ini sedikit banyak menengarai Revolusi Bolshevik pada 1917. Buku ini sempat dilarang terbit oleh kekuasaan Tsar, namun berhasil beredar secara bebas ketika kekuasaan sedang kosong akibat persitiwa besar yang dikenal sebagai “Minggu Berdarah” di St. Petensburg.

Maxim Gorky sendiri merupakan seorang penulis sosialis yang cukup berpengaruh pada masa-masa revolusi di Rusia. Tidak heran mengingat bahwa pada zaman tersebut sastra memang digunakan sebagai alat propaganda yang cukup efektif dalam meningkatkan kesadaran massa terhadap politik.

Tokoh utama dalam novel ini—Yevsey Klimkov—memiliki sikap berbeda dalam menghadapi persitiwa-peristiwa besar tersebut. Yevsey menjadi bagian dari kaum belia yang miskin pada insting politik dan tidak cukup memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang tegas. Namun hal ini bukan tanpa sebab.

Yevsey adalah seorang anak yatim piatu yang ditinggal mati oleh ayahnya saat masih berumur empat tahun karena ditembak oleh jagawana; sedangkan ibunya mati di ladang secara mendadak. Dari sini dapat dipahami bahwa latar belakang Yevsey adalah anak dari petani miskin yang hidup di desa. Dia hidup bersama Paman Piotr dan anaknya—bernama Yashka. Hampir setiap hari Yevsey kecil mendapati dirinya diperlakukan secara tidak pantas oleh saudaranya tersebut. Pemukulan dan perundungan selalu menghiasi hari-harinya. Bukannya melawan, Yevsey justru selalu mengingat perkataan Yashka, “…jangan khawatir, itu tidak akan berlangsung selamanya.” Pada masa-masa ini, satu-satunya keinginan Yevsey adalah adanya suatu tatanan kehidupan yang baru—di mana dia bisa diterima secara baik oleh lingkungannya.

Mungkin beberapa kejadian yang pernah dialami oleh Yevsey di masa kecil cukup memengaruhi kepribadiannya saat dewasa. Apalagi dia adalah tipikal orang yang menelan mentah-mentah setiap perkataan dari orang yang diseganinya, yakni Paman Piotr ataupun orang-orang yang dalam pandangannya terlihat karismatik. Ketika dia dikirim ke kota, ada satu nasihat yang dipegang oleh Yevsey untuk menjalani kehidupannya ke depan.

“Inilah bagaimana kau harus hidup—lakukan apa yang diperintahkan, kemudian menyendirilah. Hati-hati dengan orang-orang yang tegas. Satu dari sepuluh orang yang tegas berhasil, dan sembilan bekerja keras.” Hingga dewasa, Yevsey menjadi pribadi yang selalu patuh terhadap perintah, tidak peduli dia harus mengenyahkan nurani dan pikirannya sendiri.

Pernah suatu kali terjadi kebakaran besar di lumbung milik petani kaya di desanya. Ketika orang-orang melihat kejadian ini sebagai sesuatu yang menegangkan karena kobaran api hampir menyapu seluruh bagian di desa, Yevsey justru melihatnya dengan perasaan kagum.

“Betapa mereka bergabung bersama sebagai teman. Jika saja mereka hidup seperti itu sepanjang waktu, jika saja selalu ada kebakaran,” ucap Yevsey kecil pada pamannya. Namun, pamannya justru tidak mampu memahami sudut pandang Yevsey yang distingtif.

Ketika Yevsey dewasa, dia tumbuh menjadi seorang penakut. Setelah berbagai kejadian di sepanjang hidupnya, Yevsey terjebak dalam situasi di mana dia dijadikan agen mata-mata yang bernaung di Departemen Keamanan. Ketika seseorang telah menjadi mata-mata, dia tidak memiliki pilihan yang lain selain tunduk pada otoritas yang memerintahnya. Jika menolak, maka siap-siap akan ada moncong senapan yang menodong wajahnya.

Yevsey selalu patuh untuk memata-matai setiap orang yang diduga sebagai kaum revolusioner dan melaporkannya secara cermat, meskipun hal ini bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Dia menyadari bahwa rezim Tsar adalah penindas, namun dia tidak memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang tegas. Dia hanya meyakini bahwa dirinya hanya menjalankan perintah dari yang berwenang, sesuai dengan nasihat dari Paman Piotr.

Latar belakang dari buku ini adalah berbagai peristiwa yang menimpa sebagian besar rakyat Rusia. Bencana sosial dan ekonomi melanda semua rakyat yang miskin akibat kekalahan perang Rusia dengan Jepang. Selain itu, rezim Tsar Nicholas II juga turut menyengsarakan rakyat melalui kebijakannya yang sewenang-wenang. Maka orang-orang—terutama kelas pekerja—mencoba untuk menekan petisi pada penguasa mereka. Secara umum, buku ini menggambarkan pertentangan kelas seperti yang digambarkan oleh Karl Marx melalui “perjuangan kelas”, termasuk konflik antara majikan dengan pembantu.

Di masa itu, agen kepolisian adalah boneka-boneka tidak berakal yang akan melakukan segala risiko untuk mempertahankan status quo dari kekuasaan Tsar. Bahkan pimpinan dari Departemen Keamanan yang bernama Sasha berulang kali melakukan doktrinasi antagonisme mengenai kaum revolusioner sebagai pengkhianat negara—antek-antek Jepang. Sasha menegaskan bahwa mereka harus menjaga sistem kekuasaan Tsar yang suci. Kekuasaan yang dimiliki Tsar diyakini sebagai pemberian dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Keyakinan semacam ini pernah digagas oleh Max Weber mengenai “otoritas tradisional”, yakni bahwa kekuasaan yang sah diturunkan melalui keturunan kerajaan. Semua tindakan yang bermoral adalah kepatuhan terhadap seorang raja. Namun, hal ini mengalami pertentangan dengan kemajuan sistem berpikir masyarakat, di mana kebutuhan material (ekonomi) menjadi superstruktur dari tatanan sosial-budaya. Kekuasaan otokrasi yang telah berkuasa lama terlalu bebas untuk melakukan korupsi tanpa memedulikan rakyat kecil yang menderita. Dari kesengsaraan dan kesadaran kolektif, maka revolusi akan hadir dengan sendirinya.

Ketika kaum revolusioner mulai melakukan pertemuan yang masif, Yevsey masih saja berada dalam posisi dilematik: apakah dia akan tetap menjalankan perannya sebagai agen mata-mata atau bergabung dengan kaum revolusioner sesuai dengan nuraninya?

Histeria massa yang begitu besar mengambil-alih kekuasaan revolusioner untuk menggulingkan rezim Tsar, meskipun banyak dari mereka yang ditembak mati. Polisi dan mata-mata juga berusaha semaksimal mungkin untuk mengacaukan aksi massa itu. Bahkan teman Yevsey meninggal karena dipukuli setelah diketahui oleh massa sebagai agen mata-mata.

Yevsey tidak mampu melakukan sesuatu apa pun—entah itu menolong temannya, menjadi bagian dari kaum revolusioner, atau menjalankan perannya sebagai mata-mata. Ditambah lagi dia dihantui  perasaan bersalah setelah hanya terdiam melihat temannya dikeroyok secara keji hingga mati sia-sia.

“Siapa sebenarnya pemberontak sejati?” pertanyaan-pertanyaan ini selalu mengisi pikiran-pikiran Yevsey. Akibat trauma masa lalu yang memungkinkannya untuk selalu mematuhi perintah, dia tidak mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak dan pikirannya yang tidak konvensional. Alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan keyakinannya saat kecil, Yevsey justru dihancurkan oleh ketakutannya sendiri. Dirinya dikuasai oleh ketidakberdayaan dan keputusasaan yang akut sehingga dia memilih untuk menelentangkan tubuhnya di atas rel kereta api—perasaan baru yang dialaminya bersamaan dengan getaran rel kereta api yang mencabiknya dari bumi.

 

Editor: Ghufroni An’ars

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email