Seorang perempuan, istri dan ibu purnawaktu

Kidung Rahayu

Ifaikah Kalidin

3 min read

Suatu ketika Ibu bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di Bulan. Cerita yang sama juga dituturkan oleh Nenek, yang juga diceritakan oleh Ibu dari ibunya Nenek.

Konon, perempuan itu mengasingkan diri dari bumi dan dari manusia yang mendiaminya. Ia akan tampak ketika bulan purnama menuju gerhana. Kau tahu kenapa ia menjauh ke sana? Sebab kidung yang tak henti ia senandungkan serupa rapalan mantra, menarik jiwa-jiwa manusia menuju lara yang sama, seperti yang ia rasakan.

***

Rambut panjang adalah mahkota bagi perempuan. Jika Anda berambut pendek, Anda belumlah memiliki mahkota atau menjadi selayaknya perempuan. Perempuan pertama kali dilihat dari atasnya, bukan bawahnya. Bagian atas ini tentulah meliputi wajah dan rambutnya. Paras yang cantik tidak selalu menarik para lelaki tetapi rambut yang panjang sudah tentu menjadi pertimbangan. Apalagi jika ia pandai merawat rambutnya hingga selegam arang, sehalus sutra, palek katopak (rambut bergelombang seperti lekukan/untaian daun ketupat), serta cakap menyanggul rambutnya, menghiasnya dengan ronce melati dan kembang kantil.

Tidaklah dapat dikatakan perempuan pula, jika tak cakap bersolek, mengenakan sarong dan kebaya dengan tepat. Saya katakan tepat sebab cukup banyak perempuan yang menganggap remeh-temeh perkara ini. Saat mengenakan sarong, misalnya. Anda harus tahu motif, kelir (warna), dan akan digunakan pada acara apa. Motif bunga, cocok digunakan sehari-hari. Motif burung, lambang kehidupan, pantang dipakai saat berduka.

Di samping itu, penting mengetahui letak tumpal sarong ketika menggunakannya. Bagi paraben (gadis perawan, belum menikah) harus diposisikan di bagian belakang, sebaliknya bagi yang sudah menikah diposisikan di depan. Perihal tumpal sarong ini sudah menjadi pengetahuan umum, para kacong (bujang) yang kebelet nikah, cukup melihat tumpal sarong paraben yang dia kehendaki, lalu datang melamar. Jikalau perempuan tak tahu posisi sarong, maka sungguh tidak melek pengetahuan dirinya.

Saya katakan pula, bahwa sudah selayaknya ia memiliki kemampuan memasak, meramu jamu dan urusan rumah tangga lainnya. Sebab kelak ketika ia sudah bersuami dan beranak, ialah yang akan mengurusnya. Perkara yang satu ini menjadi pertimbangan tidak hanya bagi lelakinya saja, akan tetapi juga oleh calon mertua serta kerabatnya. Malang sungguh jika perempuan hanya bisa macak (berdandan) tanpa bisa melayani lelaki dengan sebaik-baik kemampuannya.

Jika perempuan sudah memiliki standar di atas, dia lebih mudah dilirik dan dipinang. Sayangnya, ada satu hal yang membuat standar di atas tidak berguna, yaitu ketika dihadapkan pada tatanan sosial antara si perempuan dan laki-laki. Pertimbangannya kira-kira seperti ini: Perempuan dari kalangan jelata hanya boleh dipinang oleh lelaki dari kalangan yang sama. Jikalau ada keluarga bangsawan menghendakinya, perempuan tersebut haruslah memiliki standar yang lebih baik dari yang telah saya sebutkan tadi. Memang hal ini jarang sekali terjadi karena keluarga priayi lebih suka menikahkan anak-anaknya dengan kerabat sendiri atau handai tolan yang memiliki derajat yang sama atau yang sudah jelas bebet, bobot dan bibitnya.

Pernikahan perempuan dan lelaki sesama bangsawan juga dikehendaki oleh rakyat. Keluarga bangsawan menempati posisi yang sama tingginya dengan pemuka agama dalam tatanan sosial. Mereka dihormati sekaligus dibanggakan karena sumbangsih leluhurnya di masa lalu. Oleh karena itu, keturunannya haruslah calon terbaik untuk memimpin rakyat. Sekaligus sebagai salah satu cara melanggengkan trah bangsawan di daerah kekuasaannya. Akan tetapi, saya menduga ada hal lain mengapa pernikahan perempuan jelata dengan lelaki bangsawan ditabukan. Saya pikir ada kecemburuan sosial antar rakyat maupun sesama kalangan bangsawan jika pernikahan semacam itu terjadi.

Seperti yang terjadi pada seorang raden yang mewarisi darah agung Kerajaan Medang Kawulan, kerajaan dari tanah Jawa yang menjadi cikal bakal adanya kerajaan Madura.

Sang Raden jatuh cinta pada seorang perempuan jelata. Hasrat untuk meminang perempuan jelata itu telah membuat geger keraton Madura hingga Jawa. Sebabnya, Sang Raden adalah putra mahkota yang ditasbihkan menjadi raja selanjutnya. Sudah tentu niat tersebut seperti mencoreng muka keluarganya sendiri, bahkan keraton lain pun merasa tersinggung. Seolah ia tak mengindahkan keberadaan putri-putri keraton yang standar kecantikannya di atas rata-rata, dan sudah tentu baik bebet, bobot dan bibitnya.

Lalu siapakah perempuan jelata yang membuat putri keraton merasa terhina dengan keberadaannya?

***

Jika Drupadi lahir melalui pertapaan Prabu Drupada kepada Sang Pencipta, seorang perempuan jelata bernama Rahayu dikisahkan lahir dari rahim seorang pertapa perempuan. Akan tetapi ada juga desas-desus yang mengatakan jika perempuan yang melahirkan Rahayu adalah jelmaan siluman, sehingga anaknya, dalam hal ini Rahayu, mewarisi kemampuannya melihat dan meramalkan masa depan.

Tak heran jika kemudian Rahayu dikenal sebagai cenayang, dan tak heran pula jika Raden Arya ingin meminangnya, tidak sebagai gundik, tetapi menjadi istrinya yang sah dan diakui oleh keluarga keraton.

Raden Arya yang rupawan dan berbudi luhur itu telah kena pelet Rahayu. Begitulah desas-desus yang kemudian santer terdengar.

Terlepas dari rahim siapa ia dilahirkan, Rahayu adalah salah satu ciptaan Tuhan dengan paras sempurna, tak ubahnya paras seorang dewi yang turun dari langit.

Pada awalnya pinangan Raden Arya pada Rahayu ditentang keluarga keraton. Namun, besarnya kasih Sang Raden ternyata mampu membawa Rahayu menginjakkan kaki di keraton dan menjadi istri sah Raden Arya.

Banyak yang iri, sekaligus mengakui diam-diam dalam hati, jika pasangan Raden Arya dan Rahayu sebetulnya sangatlah serasi.

Jauh di langit sana, barangkali Tuhan pun cemburu melihat ketulusan hati keduanya. Tuhan seolah ingin menguji seberapa sungguh dan lekatnya cinta kasih Raden Arya dan Rahayu. Tuhan pun memutuskan untuk memberi jarak, di mana satu sama lain tak dapat saling mengunjungi. Jarak antara yang hidup dan mati.

Pada sebuah perburuan, Raden Arya tewas diterkam hewan buruannya. Jiwanya terlepas dari jasad, dibawa ke nirwana tempat para dewa berada. Serapah telah menjadi tulah. Rahayu dianggap membawa musibah.

Tak ada yang menandingi kesedihan Rahayu. Tapi siapa yang peduli? Bukankah lantaran perempuan itu, seorang raden yang agung tewas di usianya yang masih teramat muda. Perempuan itu telah membawa petaka dan duka di seluruh pulau Madura. Semua jari telunjuk mengacung padanya.

***

Bulan putih merintih di tepi telaga
Seorang wanita jelata

mengidung penuh lara

Menepi, menyepi. Kedukaan Rahayu tetap tak terhenti. Kedukaannya menjalar ke setiap hati, di sepanjang hari dan tak kenal diri. Kedukaannya menjadi petaka kedua bagi dirinya sendiri.

Tidak ratusan purnama,
merindumu sudah
sejak bulan serupa sabit
hingga ia menuju gerhana.
Tahukah kamu bagaimana sakitnya?

 

Banyak yang menyebut bahwa Rahayu telah kehilangan dirinya. Jiwanya telah dibawa pergi ruh jahat yang selama ini memantrai Raden Arya. Oleh karenanya, siapapun yang mendengar kidungnya, akan merasakan kehilangan dan kegilaan yang sama.

Maka, Rahayu terasing dari tanah yang ditinggalinya. Di mana kakinya dipijak, tak satu pun yang sudi menerimanya. Bumi telah menolak dirinya sehingga Tuhan menempatkannya di semesta yang berbeda. Semesta yang mengekalkan diri dan kedukaannya.

Rahayu, cebbeng raddin.
Cinta macam apa yang membuat jasadmu hidup tetapi jiwamu redup?

 

***

 

Catatan penulis:

Cerita ini terinspirasi dari sastra lisan Madura, Embok Randeh Kasehan, yang pernah diceritakan Nenek. Konon katanya ia seorang perempuan tua dengan tongkat dan tinggal di bulan. Ia hanya tampak ketika bulan purnama.

 

Editor: Ghufroni An’ars

 

Ifaikah Kalidin
Ifaikah Kalidin Seorang perempuan, istri dan ibu purnawaktu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email