Sinar matahari merangkak malas ke atas genting yang lembap. Pagi tampak sempurna jernih. Awan bergerak pelan di atas perkampungan. Suara motor dan klakson penjual sayur sesekali terdengar. Kandang-kandang burung tergantung rapi di bawah tralis besi, di halaman sebuah rumah. Burung-burung murai aduan di dalam kandang-kandang itu mulai berkicau, sahut-menyahut dengan lincah.
“Apa kau dengar kabar tentang virus mematikan itu, Bob?” kata Joni, seekor murai berwarna hitam.
Bob, murai cokelat yang kandangnya berada di sebelah kandang Joni pun menjawab, “ya. Aku tau kabar itu dari televisi yang disetel semalam.”
“Lalu bagaimana nasib kita, Bob?”
“Nasib apa?” kata Bob santai, sembari menyibak-nyibak bulunya.
“Ya kita,” jawab Joni.
“Ya apa hubungannya kita dengan virus itu?”
“Ya tentu saja ada. Banyak.”
“Misalnya?” kata Bob yang masih santai menikmati sinar matahari pagi.
“Jika virus itu sudah selesai menyerang manusia,” kata Joni yang cemas, “kudengar kabar bahwa hewan, terutama burung, juga bisa terserang.”
“Lalu?”
“Kok lalu?!” kata Joni, kesal dengan jawaban Bob. “Dengar, Bob. Kalau manusia saja bisa mati karena virus itu, apalagi kita?”
“Ya, kalau mati memang kenapa?” jawab Bob yang masih santai berjemur.
“Kok kenapa? Ya kau pikir sendiri sajalah. Pagi-pagi sudah bikin kesal. Bikin gatal bulu-buluku saja!”
“Mati sudah ada yang ngatur, Jon,” jawab Bob.
“Siapa yang ngatur?”
“Ya ada. Kau tak akan percaya. Kita beda pemahaman soal itu.”
“Bob, kawanku tersayang,” kata Joni, “dengar, ya. Situasi ini bukan soal percaya tidak percaya. Ini soal fakta!”
“Fakta apa?”
“Kok fakta apa? Ya fakta bahwa kita juga bisa ikutan mati! Meninggal! Mampus!”
“Tanpa virus itu, kematian juga akan tetap datang cepat atau lambat,” kata Bob, sembari mematuk-matuk kroto di wadah yang baru diisi.
“Ya, memang. Tapi aku sih tidak mau mati kena virus,” kata Joni, “terserah kalau kau mau.”
“Mau apa?”
“Halah! Ngomong sama buluku sajalah,” kata Joni, “susah ngomong sama entitas kurang berpendidikan seperti kau, Bob.”
***
Air dari semprotan plastik mulai membasahi bulu-bulu Bob dan Joni. Ini waktunya mereka mandi pagi.
“Kau dan aku,” kata Bob, “kita bisa mati karena air ini, kedingingan. Bisa juga mati karena kroto basi, keracunan. Bisa juga mati kena petir, sial. Bisa juga mati karena memang sudah tua, sudah waktunya. Lalu kenapa takut mati karena virus?”
“Tentu saja itu kasus beda,” jawab Joni. “Virus itu bisa membunuh manusia dalam waktu singkat.”
“Bukannya bagus kalau sekaratnya singkat? Kita jadi tak lama-lama sakitnya,” kata Bob. “Lagipula belum ada bukti, kan, bahwa ada burung mati kena virus itu?”
“Jangan sampai ada korban, Bob. Sebisa mungkin kita cegah!”
“Memang bisa?” kata Bob. “Manusia saja gagal.”
“Setidaknya kita tetap harus berusaha,” jawab Joni. “Belajarlah dari kesalahan manusia.”
“Gimana caranya?”
“Pasang sarung kandang tiap waktu, jangan kibas bulu yang basah ke burung lain, jangan berkicau terlalu dekat, dan jangan sepelekan gejala,” kata Joni menjelaskan dengan artikulasi kicau yang fasih seperti iklan layanan masyarakat di televisi yang semalam ia tonton.
Bob melihat Joni dengan tatapan heran, “dari mana kau tau cara-cara itu? Ngarang?”
“Yah,” kata Joni, “itulah bedanya burung bersetifikat yang sering juara dan burung kampung kacangan, Bob. Level pemahaman kita beda.”
“Sialan…,” Bob mendengus kesal sembari mengibaskan tubuhnya yang basah. “Burung anjing!”
***
Sinar matahari terasa semakin hangat, ketika Lastri, seekor prenjak liar, hinggap di atas genting dekat dengan kandang Bob dan Joni.
“Kalian lihat Alek lewat sini, tak?” kata Lastri. “Aku mencarinya. Dia belum pulang ke sarang sejak semalam.”
“Kebetulan kami baru keluar, Tri,” jawab Bob, “ dan tidak lihat Alex lewat sini.”
“Mungkin cari betina baru,” kata Joni terkekeh, meledek Lastri yang memang sering ditinggalkan pasangannya.
“Hush! Jangan ngawur kau, Jon! Alek itu kawanku juga. Aku tau betul gimana dia. Se-humble itu orangnya,” kata Bob, menjawab ledekan si Joni.
“Kalau bukan main gila,” kata Joni, “jangan-jangan ada hubungannya dengan virus itu?”
“Hush! Sudah jangan dengarkan dia, Tri,” kata Bob.
“Maksudnya virus yang sedang ramai di televisi itu?” kata Lastri memastikan.
“Iya, Tri,” kata Joni, “kami sedang ngobrol soal virus itu. Kau, Alek, dan anak-anakmu juga harus jaga diri. Kudengar virus itu sangat berbahaya.”
“Jangan terlalu percaya, Tri,” sanggah Bob. “Apa pun yang keluar dari mulut si Joni kebanyakan cuma konsep.”
“Konsep gimana?!” tanya Joni yang tak terima pendapatnya disepelekan.
“Ya konsep. Abstrak! Tak ada bukti empiris, kan?” jawab Bob. “Katanya kau burung terpelajar, masa gitu saja tak paham? Please educate yourself, lah, Jon!”
“Kau yang terlalu skeptis, Bob!”
“Kepanikanmu itu yang terlalu berlebihan, Jon!”
Lastri tampak bingung melihat dua burung dalam kandang itu beradu kicau. Alih-alih mendapat petunjuk, ia malah melihat perdebatan dua burung aduan itu.
“Sudah, sudah…,” kata Lastri. “Ada atau tidak ada virus, aku memang harus jaga diri tiap waktu. Dari pemangsa, dari cuaca, atau dari nasib apes. Aku sudah terbiasa berada dalam bahaya.”
“Apa kubilang…,” kata Bob, “Lastri saja sependapat denganku.”
“Tapi ini fakta!” kata Joni yang masih berusaha meyakinkan kawan-kawannya.
“Sudahlah, kalian ini pagi-pagi sudah ribut,” jawab Lastri. “Aku pergi dulu, deh. Tidak ada petunjuk nanya ke kalian.”
“Ke mana? Hati-hati lho… banyak virus,” kata Joni.
“Tadi, kan, dia sudah bilang mau cari si Alek,” kata Bob, meledek pertanyaan si Joni.
“Iya, aku tahu, Bob!” kata Joni, kesal pada Bob yang kerap menyela kicauannya. “Maksudku, mau carinya ke mana?”
“Ya ampun! Sudah, sudah…, kalian ini,” kata Lastri yang mau tak mau harus memisahkan lagi kicauan dua burung itu. “Begini saja…. Kalau Alek lewat sini, tolong sampaikan bahwa aku sedang cari makan. Suruh Alek cepat pulang. Anak-anak kutinggal di sarang. Mereka kelaparan, aku harus cari makan.”
Lastri pun mengepak sayap-sayap kecilnya, terbang meninggalkan Joni dan Bob di kandang mereka.
***
“Memang sulit berdialog dengan makluk-makluk yang daya intelektualnya rendah. Selalu meremehkan fakta,” kata Joni bergumam sendiri. Ia mengeluhkan sikap burung-burung di sekitarnya yang tak begitu peduli pada informasi yang ia sampaikan.
“Apalagi si Lastri. Seekor burung liar yang hidup hanya untuk mengasuh anak-anak dan pejantan yang kabur-kaburan. Hidup hanya mengandalkan sayap-sayapnya, tanpa pernah terlintas untuk menggunakan kepalanya. Otot tanpa otak tak akan ada artinya dalam situasi seperti ini. Hidup liar tanpa perlindungan. Mana bisa burung seperti dia menghargai makna kehidupan. Kaum-kaum rentan!”
“Konsep! Kau terlalu berlebihan, Jon,” kata Bob, tak terima dengan kicauan si Joni. “Kalau kau memang prihatin pada hidup si Lastri, mengapa tidak kau tolong dia?”
“Mana mungkin?” sanggah Joni. “Jangan naif! Kita ditakdirkan untuk menjadi hewan yang spesial di kandang-kandang ini, Bob. Nasib yang menentukan derajat kita. Kita mendapat makan tanpa perlu susah payah mencari dan mengorbankan nyawa. Kita mendapat perlindungan dan perawatan setiap hari. Dengan fasilitas seperti ini pun masih ada kemungkinan untuk kita bernasib sial. Sedangkan Lastri, hidup dalam takdir yang jauh berbeda dengan kita, dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuknya kecuali memberikan empati. Mau tidak mau, suka tidak suka, Lastri dan keluarganya adalah kaum yang paling rentan dalam situasi ini. Kau yang seharunya bersyukur, Bob. Jangan bersikap seolah hidupmu tak berarti.”
Di tengah kicauan burung-burung yang semakin intens itu, Pak Rustam tergopoh-gopoh lari dari halaman belakang rumahnya membawa kandang burung kesayangannya, si Paul. Burung murai jagoannya itu tergeletak tak berdaya di dasar kandang. Tak tampak lagi tanda-tanda napas dari bulu-bulunya yang terawat baik.
Tinggal piagam dan piala-piala kemenangan yang berjejer rapi di ruang tamu, saksi bisu prestasi Paul sepanjang hidupnya. Pak Rustam pun tak kuasa menangisi kematian Paul yang amat mendadak dan tak jelas musababnya itu. Joni dan Bob melihat tragedi itu dari kandang masing-masing. Tiba-tiba mereka berhenti beradu kicau. Hanya ada keheningan panjang, sebelum akhirnya Joni angkat bicara dengan nada panik!
“Kau lihat, Bob! Bahkan Paul, yang hidup lebih layak dibanding kita pun mati!” Joni terbang hilir mudik dengan panik, menabrak-nabrak jeruji kandangnya sendiri. Berkicau keras kepada Bob yang ada di sampingnya.
“Belum tentu karena virus itu, Jon!”
“Ah! Kau sudah gila, kalau masih tak percaya padaku! Kita tidak boleh mati, Bob. Jangan pedulikan Lastri lagi. Dia bisa membawa virus untuk kita.”
“Tenanglah, Jon! Kepanikanmu berlebihan sampai lupa diri begitu. Kita semua sama-sama burung. Hanya burung. Kita bisa mati kapan saja. Bukan hanya karena virus itu.”
“Tidak, Bob! Kau sudah gila! Kita tak boleh kalah oleh virus!” kata Joni yang semakin panik di dalam kandangnya. “Tidakkah sekarang kau sadar, Bob?!”
Dua kandang itu masih tergantung di bawah tralis besi. Satu burung panik menabrak-nabrakkan diri ke jeruji besi kandangnya sendiri. Satu burung lainnya diam tak bergerak atau berkicau barang sebentar. Di tengah halaman rumah, seorang manusia berlutut menangisi kematian burung kesayangannya yang lain. Sementara itu, burung-burung liar terlihat terbang melintasi langit pagi yang sempurna jernih.
TAMAT
Metro,
30 Agustus 2021