Khayalan Bulan Juni dan Puisi Lainnya

Diana Rahayu

1 min read

Tak Ada di Mana pun

Aku seperti tak ada di mana pun
Semua tempat adalah pintu ajaib menuju ketiadaan
Tawa mereka adalah batu yang melempari dadaku
Ucapan mereka adalah pakaian yang tak pas di badanku
Seperti suara debur ombak di pantai samudera asing
Hening ini tak ada yang paham. Suaranya mendenging panjang setiap tengah malam.
Riuh segala kemudian suara hilang.
Aku tak menemukan siapa pun, kecuali diri yang perlahan rubuh. Hilang kukuh
Sunyi berkidung panjang di tengah malam
Aku duduk diam di kursi di meja makan sendirian
Tak ada yang bisa diajak berbincang
Tidak film, lagu, maupun buku
Aku tak ada di mana pun
Aku tak menemukan siapa pun

Tuanku Tuhan

Tidak!
Teriaknya dengan putus asa
Mengacungkan telunjuk ke atas entah pada apa
Aku sudah meminta dengan sungguh dan tabah tapi doa-doaku melayang serupa jelaga

Mataku berurai air, biar. Menangisi yang menjadi takdir, itu pun biar
Sampai kapan sabar ini mesti kukandung
Sementara hidup tak menunggu siapa pun yang lunglai
Menahun mimpi dihidupi menggelepar sekarat menunggu usai
Gigihku berjuang, cepatku mengejar, yakinku berkobar
Semua itu bukan apa-apa saat tiba di ujung babak aku terpental, lagi

Tuanku, Tuhan
Suaramu terdengar gemetar dan parau memanggil Tuhan dengan kesungguhan
Mata basahmu mencari-cari sebuah bentuk dengan risau di ketinggian

Tak ada
Demikian sedu-sedanmu bertambah kencang sampai malam digusur fajar
Dan kau mendapati hidup memaksamu bangun sekali lagi

Menepi

Kemarilah, duduklah
Mari bicara tentang senja yang memantul syahdu di permukaan samudera
Warna semesta favorit kita, jingga

Duduklah, menepilah
Sejenak berhenti dengarkan angin sebagai lagu
Mengikat diri pada hal-hal yang membuatmu berhenti menginginkan
Beberapa hal akan jatuh pada tempat di waktu yang tepat
Tak peduli sekeras apa pun larimu
Sepayah apa pun usahamu
Semua terjadi pada saatnya, tak pernah lebih awal apalagi terlambat

Hari Terbaik

Aku memilih hari ini, hari terbaik dalam hidupku
Persetan dengan masa depan, terlalu banyak waktu kubuang mencemaskan waktu yang belum tentu datang
Aku akan menyetir ke ujung kota berangkat jam sembilan
Tiba sebelum jam enam
Menyewa kamar murah untuk tidur semalam
Lalu menemani diriku jalan-jalan sepanjang pantai sampai merasa lapar

Aku akan mendengarkan musik instrumental sambil membaca buku di pinggir pantai seharian
Di bawah rindang pohon hala sampai bosan

Hari ini hari terbaik dalam hidupku
Mengayuh sepeda sewaan sepanjang jalan dengan pemandangan lautan
Menyusuri perkebunan pohon kelapa
Merasai angin yang menampar dan menerbangkan rambut sedemikian rupa
Kurentangkan tangan seolah bisa kupeluk dunia
Aku tak akan pulang sebelum jam delapan malam

Kuberhenti di depan sebuah kedai kopi sepi
Pemiliknya seorang pria tua muram yang hidup dipenuhi kenangan orang-orang yang telah lama pergi
Memeluk rindu seorang diri
Kami tak pernah bertukar obrolan meski sekadar basa-basi
Seolah dia paham, kedatanganku untuk menepi
Bukan melibatkan diri pada diskusi apa pun dengan siapa pun

Hari ini hari terbaik dalam hidupku, kurasa begitu.

Khayalan Bulan Juni

Minggu sore kedua di bulan Juni yang muram
Awan serupa bulu domba hitam berputar-putar di langit melakukan ritual
Seingatmu, Juni tak pernah sebasah ini
Kemarau tak lagi menemukan posisi, hujan bulan Juni tak setabah puisi Sapardi

Kau duduk di kursi lipat menghadap jendela bertirai putih
Pagi yang damai setelah terbaring dua malam karena demam
Menekuri halaman buku di pangkuan
sambil mendengar lagu-lagu Cigarettes After Sex sebagai musik latar
Terkadang, musik memulihkan luka lebih cepat dari yang kita kira
Dan hujan bulan Juni amat tekun turun dari sore hingga malam

*****

Editor: Moch Aldy MA

Diana Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email